Mempertanyakan Arah Pendidikan Kita #2
Refleksi Singkat Kaca Mata Anies Baswedan
#2
Oleh: Krisna Wijaya
Berbicara mengenai pendidikan maka sejatinya kita sedang membicarakan mengenai masa depan. Kembali menegaskan bahwa pendidikan sejatinya bukanlah proses menanamkan, namun lebih kepada proses menumbuhkan. Pendidikan bersifat menumbuhkan karena dalam diri setiap peserta didik telah memiliki potensi dan kemampuan masing-masing yang tidaklah sama. Potensi dan kemampuan itulah yang seharusnya dapat dilacak oleh institusi pendidikan untuk bisa menentukan formulasi pendidikan terbaik dalam proses pembelajaran terhadap peserta didik. Karena pendidikan bersifat menumbuhkan, beliau menganalogikan bahwa setiap peserta didik laksana sebuah benih biji yang memiliki potensi keunggulan masing-masing.
Pendidikan yang Menumbuhkan
Setiap peserta didik laksana seperti sebuah biji dengan berbagai kelebihan yang dimilikinya masing-masing. Perumpamaan itulah yang harus ditanamkan kepada diri setiap pendidik sedari dini agar tidak didapati kecacatan kebijakan pendidikan yang diakibatkan ketidakmampuan pendidik / penyelenggara pendidikan dalam menempatkan diri dalam membuat kebijakan yang sesuai dengan porsi kedudukan peserta didik.
Beliau kembali memberikan analogi mengenai biji bahwa seringkali kita memandang sebuah biji laksana memandang tanaman lengkap. Alhasil, ekspetasi kita yang begitu besar justru akan merusak eksistensi pertumbuhan biji tersebut. Karena sehebat apapun sebuah biji, yang namannya biji akan tetap berbentuk biji. Sebuah biji belumlah memiliki akar, dia belumlah memiliki batang ataupun daun yang melekat pada komponen tubuhnya. Sejatinya kesempurnaan sebuah biji adalah menjadi yang berkualitas pada level perkembangannya saat itu.
Permasalahan di atas bila kita artikan ke dalam dunia pendidikan yaitu mengenai proses penilaian dan evaluasi mutu pendidikan. Beliau kembali menganalogikan bahwa permasalahan yang masih terjadi adalah biji tersebut justru ditempatkan pada ekspetasi penilaian terhadap sebuah tanaman yang telah tumbuh sempurna dengan berbagai macam komponen yang menyertai kesempurnaan tanaman pada umumnya. Alhasil seberkualitas apapun biji tersebut apabila instrumen penilaiannya tidak tepat maka kualitas dari biji yang dinilai tidak akan bisa dibaca secara sempurna bahkan kemungkinan terburuk adalah kualitas biji tersebut akan dinilai cacat. Masalah seperti itu sebenarnya telah lama dirumuskan oleh berbagai ilmuan maupun para cendekiawan seperti Einstein yang mengatakan, “Everybody is a genius. But if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its whole life believing that it is stupid”. Walau telah diidentifikasi sebagai sebuah masalah sejak dini, namun nyatanya hal itu masih menjadi masalah hingga saat ini.
Salah satu upaya terbaik menurut beliau untuk bisa mengetahui porsi sekaligus penilaian pendidikan yang sesuai dengan perkembangan peserta didik sejatinya tidak bisa hanya dilakukan oleh pihak sekolah saja. Penilaian atau evaluasi terhadap mutu pendidikan jangan sampai hanya berfokus pada siswa, guru, kepala sekolah, serta orang tua secara terpisah. Keempat elemen tersebut harus menjadi satu kesatuan ekosistem dalam penyelenggaraan pendidikan siswa. Beliau juga pernah menyampaikan dalam sebuah konverensi internasional tentang Evaluasi dan Penelitian Pendidikan di Yogyakarta, 2016 yang lalu berbunyi, “Dengan evaluasi secara menyeluruh yang melibatkan ekosistem pendidikan (mencakup siswa, guru, kepala sekolah, dan orang tua) diharapkan akan terciptanya penilaian yang adil”. Ujung-ujungnya konsep Adil tidak akan bisa dilepaskan dari komponen sistem pendidikan nasional. Adil di sini tidak kita maknai sebagai sikap berada di tengah-tengah, jujur, tidak memihak, ataupun berat sebelah. Makna adil ini akan lebih tepat apabila kita kembali kepada pemaparan Prof. Naquib al-Attas bahwa keadilan di sini adalah menempatkan sesuatu sesuai dengan kondisi atau keadaan di mana ia berada pada tempat yang benar dan pantas.
“Setiap pertumbuhan biji yang baik selalu memerlukan lahan yang subur,” papar beliau setelahnya. Artinya, kualitas lingkungan akan sangat mempengaruhi perkembangan peserta didik. Lingkungan terbaik untuk proses pendidikan adalah rumah, sekolah, serta di antara rumah dan sekolah (masyarakat). Konsep lingkungan menjadi sangat penting karena hampir setiap anak mendapati lingkungan pertama dalam hidupnya adalah lingkungan keluarga. Hal ini sesuai dengan perkataan Rasulullah SAW bahwa, “Kullu mauludin yuladu alal fitroh. fa abawahu yuhawwidanihi au yunassironihi au yumajjisanihi …” artinya, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci. Maka kedua orangtua nya lah yang menjadikan mereka Yahudi, Nasrani atau Majusi … ” (HR. Bukhari).
Munculnya gap antara seorang anak yang dilabeli bodoh dan cerdas juga salah satunya dipengaruhi oleh peran lingkungan, terkhusus lingkungan keluarga. Beliau kembali menganalogikan dengan biji yang telah tumbuh dan memiliki batang. Apabila kita menginginkan batang tersebut berbelok ke kiri ataupun ke kanan, maka bukan batangnya yang kita belokkan secara paksa, namun arah dan cara pemberian rangsangannya yang direkayasa sedemikian rupa agar arah batang dapat berbelok sesuai dengan yang kita inginkan. Begitu juga dengan proses pembelajaran anak, tidak sedikit proses pembelajaran justru pada akhirnya malah mematikan potensi berkembang peserta didik karena pemberian proses rangsangan yang salah dalam proses pembelajarannya.
Bersambung ….