Mempertanyakan Arah Pendidikan Kita #3
Refleksi Singkat Kaca Mata Anies Baswedan
#3
Oleh: Krisna Wijaya
Jangan bangga dengan cerita masa lalu
Namun gelisahlah dengan keadaan masa depan
~ Anies Baswedan
Munculnya gap antara seorang anak yang dilabeli bodoh dan cerdas salah satu kemungkinan terbesarnya adalah disebabkan oleh ‘ulah’ institusi pendidikan yang justru berperan mematikan potensi perkembangan peserta didik. John Holt dalam bukunya How Children Fail menyampaikan, “… kegagalan akademis siswa bukanlah akibat kurangnya upaya dari sekolah, melainkan justru akibat ‘ulah’ sekolah itu sendiri.” Kecenderungan sekolah dalam menyeragamkan siswanya, juga menekan dengan tes-tes terstandarisasi, sehingga menjadikan sekolah tidak menyenangkan dan menggairahkan yang berakibat kepada matinya potensi unik yang dimiliki oleh masing-masing peserta didik.
Daya nalar, daya fikir, daya kritis yang hal itu mengarah pada aspek kreativitas dan inovasi justru porsinya begitu terbatas dalam dunia pendidikan kita. Mutu pendidikan berasas “daya hafal” masih menjadi yang utama dalam proses pembelajaran. Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) telah jelas disebutkan, “Tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Tujuan ini mengandung arti bahwa mau berperan menjadi apapun seorang peserta didik di masa depan, nilai-nilai yang terkandung dalam Sisdiknas harus tetap ada dalam diri setiap individunya.
Bukankah Sisdiknas tidaklah membatasi tentang peran atau profesi yang diperbolehkan dipilih oleh peserta didik di masa depan? Sisdiknas tidak mewajibkan semua peserta didik menjadi seorang guru di masa depan atau Sisdiknas tidaklah mewajibkan seluruh peserta didik menjadi TNI atau Polisi di masa depan. Mimpi dan cita-cita peserta peserta didik dikembalikan kepada diri masing-masing, sebagai catatan peran atau profesi apapun itu yang dicita-citakan oleh peserta didik, setidaknya nilai-nilai yang terkandung di dalam Sisdiknas harus tetap dipegang kuat-kuat dalam pribadi masing-masing peserta didik.
Lantas dengan kebebasan memilih cita-cita dan impian itu, mengapa porsi pembelajaran di sekolah masihlah sama rata? Bukankah hal seperti ini akan menumpulkan potensi unik dari masing-masing peserta didik?
Lantas bagaimana dengan sekolah kejuruan, bukankah mereka berfokus kepada penjuruan minat dan bakat peserta didik?
Baiklah, kita anggap saat ini institusi pendidikan sudah menerapkan sistem pembelajaran kejuruan sesuai minat dan bakat, namun apakah penjuruan di institusi pendidikan kita telah berorientasi kepada “pendidikan proyeksi masa depan”, atau sebatas “pendidikan bekal pekerjaan”?
Ini merupakan PR besar bagi segenap penyelenggara pendidikan di Tanah Air kita. Apakah pendidikan kita itu berorientasi mempersiapkan masa depan atau membekali peserta didik sebatas sebagai bekal mencari pekerjaan di masa depan.
Beliau kembali mengingatkan agar segenap penyelenggara institusi pendidikan tidak bangga dan bersenang hati dengan cerita masa lalu. Barangkali memang bisa dikatakan pendidikan pada tahun 90-an bisa saja dikatakan berhasil dengan indikasi lulusannya saat ini menjadi orang-orang yang membawa peran besar di Indonesia, namun ada satu hal yang harus kita ingat, kita hidup bukan hanya tentang menyanjung sejarah masa lalu kan? Kita hidup untuk mengambil nilai dari kisah mereka untuk dijadikan bekal dalam menghadapi perubahan masa depan. Sebagaimana Prof. Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya Api Sejarah Jilid 1, beliau menuliskan pada awal bukunya bahwa, “Perhatikanlah sejarah kalian untuk kehidupan masa depan,” artinya sejarah tidak berhenti pada tahap dikenang, diketahui, dan diceritakan saja. Sejarah hadir sebagai pembelajaran untuk menghadapi perubahan di masa mendatang.
Pendidikan sebagai Proyeksi Masa Depan
Ada perbedaan besar antara “pendidikan sebagai proyeksi masa depan” dengan “pendidikan sebagai bekal pekerjaan” di institusi pendidikan kita. Beliau kembali menyampaikan, “Jangan berbangga hati dengan standar saat ini.”
Beliau contohkan dengan sebuah pertanyaan. Kalau saat ini kita menanyai anak-anak kita dengan pertanyaan, “Kalau sudah besar mau menjadi apa?”
Maka di masa depan atau mulai saat ini, pertanyaan itu kita rubah menjadi, “Kalau sudah besar mau membuat apa?”
Hal ini bukanlah tanpa sebab semata. Kebutuhan dan perkembangan abad 21 begitu cepat dan tidak disangka-sangka. Berkaca kepada realita perkembangan zaman, siapa yang mengira bahwa ponsel android akan berkembang begitu pesatnya bahkan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia yang menggantikan peran strategis Warung Telekomunikasi pada tahun 1980-2000-an. Saat ini per tahun 2021 saja Kementrian Komunikasi dan Informatika menyatakan, penggunaan internet di Indonesia sangat tinggi dengan jumlah pengguna ponsel pintar mencapai 167 juta orang atau 89% dari total penduduk Indonesia. Perkembangan versi android pun tidak kalah menarik, siapa yang menyangka bahwa android versi pertama yaitu Astro-Alpha & Bender-Beta yang dirilis pada 23 September 2008 lalu, kini Google sedang dalam tahap pengembangan android model terbaru yang dinamakan sebagai Android 12 beta preview pada tanggal 18 Mei 2021.
Dengan perkembangan teknologi yang sedemikian cepat, siapakah dalang di balik perkembangan itu? apakah orang kaya atau orang miskin? Beliau kembali menjelaskan bahwa, “Di balik perkembangan itu adalah orang yang berfikir kreatif dan membaca perkembangan masa depan.”
Adanya manusia yang gagal dan berhasil bukan masalah mampu atau tidaknya mereka, namun tentang apakah mereka mempersiapkan perubahan untuk masa depan ataukah tidak. Mempersiapkan perubahan zaman itu harus dipersiapkan melalui berbagai cara, dan salah satu caranya adalah melalui proses pendidikan.
Di masa depan, daya hafal seharusnya tidak ditempatkan pada posisi strategis dalam porsi pembelajaran peserta didik.
Di masa depan, daya kreatiflah yang seharusnya menempati posisi strategis dalam porsi pembelajaran di institusi pendidkan.
Tentu kreatif di sini tidak lantas menjadikan pembelajaran bersifat liberal atau bahkan sampai menjadi sekuler. Sesuai dengan tujuan Sisdiknas bahwa pendidikan bertujuan untuk, “… mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa …” maka aspek agama didahulukan sebelum aspek-aspek yang lainnya.
Beliau juga mengatakan bahwa, “Umat Islam sering gagal bukan karena masalah mampu atau tidak mampu, namun tentang apakah mempersiapkan perubahan untuk masa depan atau tidak mempersiapkannya,”
Oleh karena itu, sudah menjadi tugas kita sebagai penyelenggara pendidikan, baik di ranah keluarga, sekolah, ataupun masyarakat untuk menjadikan pendidikan sebagai salah satu instrumen dalam menghadapi perubahan masa depan. Jadi segala bentuk aktivitas pendidikan diusahakan berorientasi pada analisis perkiraan perubahan zaman puluhan bahkan dekade ke depan. Dan ketika gambaran masa depan itu telah diperkirakan, maka, “rekayasalah masa depan itu melalui bangku-bangku pendidikan”.