Ruang Buku

Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia

 

Melihat dari Kaca Mata Haidar Bagir

#1
Oleh: Krisna Wijaya

“… Kegagalan akademisi siswa bukanlah akibat tidak adanya/kurangnya upaya oleh sekolah, melainkan justru akibat ‘ulah’ sekolah itu sendiri.”

~ John Holt dalam How Children Fail

 

Semua medan kehidupan adalah sekolah. Karena sesungguhnya, manusia bak benih, yang menyimpan segenap kesempurnaan dalam dirinya. Lemparlah begitu saja di tanah yang subur, siram seperlunya, rawat dengan penuh cinta, ia akan jadi tumbuhan yang segar, rimbun, dan mengeluarkan banyak bunga indah, serta buah-buahan bermanfaat yang berlimpah. Tak ada, memang, sekolah yang lebih baik dari lingkungan kehidupan yang baik. Tak ada sekolah yang bisa menggantikan sekolah kehidupan.

 

Mengamati kembali produk lulusan dari dunia pendidikan, kita lihat kenyataan sehari-hari, maka mudah dikatakan bahwa setiap masalah – baik itu ketidakdisiplinan, korupsi, konflik dan kekerasan, ketidakbahagiaan – semuannya itu dapat dirunut sehingga kita temukan rendahnya kualitas pendidikan sebagai pangkalnya.

 

Kalau diberi kesempatan sebagai penyelenggara jaringan sekolah di berbagai wilayah di Indonesia, beliau ingin membangun sekolah yang, bukan saja para gurunya cuma menjadi fasilitator dalam belajar siswa, tapi justru sekolah itu sendiri secara keseluruhan menjadi fasilitator. Yakni, sekolah yang anak-anaknya bebas memilih apa yang mau dipelajari dengan tetap mendapat arahan dan bimbingan dari sekolah. Kalaupun ada mata pelajaran yang diwajibkan oleh sekolah, maka itu sebatas ilmu-ilmu dasar yang setiap orang butuh untuk menguasainnya seperti bahasa, matematika, sains, dll. Selebihnya, waktu dan kesempatan yang ada digunakan untuk belajar peserta didik sesuai dengan minat dan kecerdasan potensi masing-masing. Sebagaimana paradigma kecerdasan majemuk yang dicetuskan oleh seorang psikolog bernama Howard Gardner, di mana kecerdasan tidak hanya dinilai dari intelligence quotient (IQ) semata. Sia-sia saja apabila IQ tinggi tanpa adanya produktivitas bukan sebagai kecerdasan yang baik. Konsep kecerdasan majemuk ini merupakan salah satu bentuk perlawanan terhadap penilaian kecerdasan yang hanya berdasarkan skor standar tes IQ.

 

Alhasil, setiap sekolah bahkan di satu kelas, setiap anak memiliki Individualized Educational Program (IEP)-nya masing-masing. Selama ini IEP hanya berlaku untuk anak-anak dengan kebutuhan khusus tertentu atau anak-anak dengan disabilitas tertentu – betapa pun belakang istilah “disabilitas” sudah diganti dengan difabilitas (dari kata “difability”, yang merupakan kependekan dari ungkapan “diferent ability”). Karena sesungguhnya setiap anak itu unik, dia punya minat, jenis kecerdasan, dan keterbatasan yang berbeda-beda. Dengan diberikan ruang-ruang pilihan untuk memilih kurikulumnya sendiri dan tetap dalam arahan serta bimbingan sekolah, maka besar kemungkinan mereka bisa menjadi versi terbaik sesuai dengan potensi mereka masing-masing.

 

Bukan hanya karena mereka akan bisa berkembang sesuai kecerdasan mereka, tapi juga karena mereka akan belajar dengan penuh hasrat (passion). Lebih dari itu, mereka akan belajar dalam keadaan senang dan tidak berada dalam sebuah tekanan tuntutan. Terlebih lagi orang yang belajar dengan senang, akan belajar dan mampu menyerap pengetahuan dengan lebih baik. Termasuk dalam prasyarat anak belajar dengan senang, adalah tiadanya tekanan-tekanan untuk harus berhasil, di tengah ancaman tes-tes beruntun yang dibebankan atas diri mereka. Apalagi jika tesnya bersifat terstandarisasi. Belajar tanpa tekanan dan dalam suasana menyenangkan inilah yang akan membentuk daya kreativitas peserta didik. Karena mereka akan berani, bahkan excited, untuk mencoba hal-hal yang baru, tanpa kekhawatiran dianggap gagal.

 

Sayangnya, model sekolah saat ini cenderung menyeragamkan siswa, juga menekankan dengan tes-tes terstandarisasi, sehingga menjadikan sekolah tidak menyenangkan dan menggairahkan. Oleh karena itu, sebagian orang menawarkan alternatif-alternatif: seperti Ivan Illich dengan Deschooling Society-nya di tahun awal 1970-an, yang ingin mengubah secara radikal paradigma persekolahan; atau Susan Bauer dengan Rethinking School-nya di tahun 2018, yang ingin menawarkan mengenai belajar tanpa institusi sekolah (home schooling); dll.

 

Namun setiap alternatif yang hadir selalu menuai kritik di dalamnya. Deschooling Society atau Rethinking School dianggap tidak realistis karena fenomena kedua orang tua bekerja belakangan makin lazim, belum lagi kenyataan bahwa banyak orang tua yang tidak memiliki kemampuan atau kesiapan untuk menjadi pendidik bagi anak-anaknya. Karena alasan itulah banyak orang tua yang menyerahkan pendidikan anak-anak mereka ke institusi pendidikan seperti di sekolah.

 

Dengan segala perjalanan perubahan bentuk institusi pendidikan yang berusaha untuk menjadi lebih baik lagi, saat ini institusi pendidikan sekolah memang masih belum bisa menemukan versi terbaiknya untuk menjadi tempat terbaik dalam mendidik manusia. Kita masih terus berupaya mencari dan memformulasikan tentang bagaimana dan seperti apa institusi pendidikan yang baik, dengan cara mengkritik, mengevaluasi, dan menginovasi secara terus-menerus. Agar suatu saat nanti sekolah kita akan pulih menjadi tempat yang sehat untuk mendidik siswa untuk menjadi manusia-manusia yang merdeka, yang masih memelihara atau mengembangkan spiritualitasnya sampai setinggi-tingginya, yang dapat menorehkan prestasi dengan potensi yang dimilikinya masing-masing, dan dalam kapasitasnya untuk memberikan kontribusi positif sebesar-besarnya bagi lingkungan yang di dalamnya ia hidup dan berada.

 

Researcher at Centre for Islamic Education and Contemporary Studies (CIECS)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *