
Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia #2
Membaca Kaca Mata Pendidikan Haidar Bagir
#2
Oleh: Krisna Wijaya
Kembali Bertanya: Apa Tujuan Sistem Pendidikan Kita?
Bukan hanya sekali saja usaha yang dilakukan, namun ratusan usaha berbentuk penelitian telah diselenggarakan, lebih banyak lagi artikel, jurnal, dan tak terhitung lagi diskusi yang ditunjukkan untuk mengurai benang kusut teori, kebijakan, kurikulum, dan praktik pendidikan di negeri kita. Akan tetapi, nampaknya kita masih berputar-putar di tempat awal kita memulai. Perbedaan pandangan, gagasan, sudut pandang menjadikan solusi semakin keruh dan tidak berujung. Akibatnya, perpecahan dan kerancuan pun mempengaruhi berbagai aspek wilayah pendidikan seperti konten, strategi pengajaran, maupun penilaian (assessment) pendidikan. Penyelenggara pendidikan di negeri kita – mereka yang memegang wewenang terhadap pendidikan di Indonesia – sepertinya memerlukan waktu dan kesempatan khusus untuk bisa duduk bersama cendikiawan, praktisi pendidikan, dan ulama dalam rangka membahas tujuan sejati dari sistem pendidikan di negara Indonesia.
Tujuan sistem pendidikan kita sejatinya telah jelas sebagaimana yang tertuang dalam UU Sisdiknas tahun 2003 bahwa segenap proses pendidikan haruslah ditunjukkan untuk pengembangan keseluruhan potensi manusia demi mencapai kehidupan sejahtera, baik secara fisik, mental, spiritual, dan bukannya melahirkan warga negara yang baik saja (good citizen) apalagi sekadar membangun generasi yang terorientasi pada prospek siap kerja. Pendidikan seharusnya bukan hanya tentang menumbuhkan dan membekali peserta didik untuk siap terjun di dunia pekerjaan semata. Proses pendidikan haruslah ditunjukkan untuk pengembangan keseluruhan potensi manusia demi mencapai kehidupan yang bahagia dan sejahtera, baik secara fisik, mental, dan spiritual di dunia ataupun di kehidupan setelahnya.
“Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,” demikian bunyi Pasal 33 Ayat 3 UUD kita. Tujuan dari pendidikan nasional sejatinya telah jelas arah dan tujuannya, hanya saja tujuan yang telah jelas tersebut dimaknai dan diformulasikan beraneka ragam pemaknaan serta pemformulasian sesuai dengan pemahaman sudut pandang masing-masing. Alhasil, bisa saja tujuan pendidikan tersebut awalnya baik, namun tidak sesuai harapan dalam praktik dan hasilnya karena pembuat kebijakan tidak memahami tujuan pendidikan nasional atau bahkan bisa saja pembuat kebijakan memiliki pandangan yang berlawanan dengan tujuan yang telah ditetapkan. Hasilnya adalah kerancuan sebuah kebijakan yang nantinya akan menghasilkan produk-produk turunan yang bermasalah juga.
Permasalahan-permasalahan yang terjadi harus benar-benar diperhatikan dengan seksama karena dari dunia pendidikan inilah para penerus bangsa akan terlahir sebagai pemegang estafet perjuangan di masa depan. Persoalan ini bisa saja terletak pada kurangnya sosialisasi mengenai filosofi pendidikan, sebagaimana yang dikeluhkan oleh Prof. Dr. Winarno Surakhmad yang menjelaskan bahwa permasalahan pendidikan yang terjadi salah satunya disebabkan oleh kurangnya sosialisasi mengenai kandungan dari filosofi pendidikan. Akibatnya, bukan saja hal ini tidak dipahami oleh pembuat kebijakan, melainkan dapat menimbulkan kerancuan dalam pembuatan kebijakan-kebijakan yang bersifat praktik di level-level yang lebih praktis.
Problem di atas akhirnya menjadikan pendidikan berorientasi pada penekanan aspek domain kognitif dan psikomotor semata seraya mengesampingkan domain afektif dan moralitas. Moralitas ini dalam kata lain menurut Prof. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi disebut sebagai aspek domain akhlak. Lebih parah lagi, penggarapan domain kognitif dan psikomotorik dilakukan dengan strategi transfer informasi melalui teknik hafalan, dari pada memperhatikan rasa keingintahuan dan krativitas siswa. Hal ini tentu bisa berdampak pada tumpulnya potensi kemampuan unik masing-masing peserta didik. Walaupun guru telah disebut dalam Kurikulum 13 berperan sebatas sebagai fasilitator semata, namun nyatanya proses pengajaran pun dilakukan secara “diktatoral” (mendikte dan memonopoli keberaran), serta penilaian (assesment) diselenggarakan untuk semata-mata mengukur hasil pencapaian akademis-persial sesaat sambil mengabaikan proses dan cara-cara autentik yang mencakup karakter serta berbagai kecerdasan dan bakat lain yang dimiliki oleh siswa.
Membangun Kapasitas Moral dan Reflektif
Last but not least, perlunya kita tekankan mengenai pentingnya menjadikan pembangunan kapasitas reflektif dan moral individual yang sejatinya juga merupakan kunci utama dalam menjadikan individu-individu manusia sebagai warga negara yang baik, bahkan angkatan kerja yang kompetitif, tidak hanya untuk mencapai kebahagiaan fisik semata, namun juga kebahagiaan mental dan spiritual, bahkan keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara dan kesuksesan karir individu ditentukan oleh kapasitas reflektif (sekaligus aspek kreatif) dan kapasitas moral (akhlak) pribadi tersebut. Inilah yang seharusnya ditekankan dalam sistem pendidikan kita, bukannya justru menekankan pada aspek transfer informasi dengan penekanan daya hafal maupun penguasaan ketrampilan teknis-profesional yang menjadi ciri utama sistem kerancuan sistem pendidikan seperti yang menimpa sistem pendidikan kita.
You May Also Like

Pertemuan Singkat
March 14, 2024
Ngaji Pendidikan Edisi Kurikulum Merdeka
May 10, 2024