Ruang Opini

Berprestasi Itu …

Oleh: Krisna Wijaya

 

Kalaulah diberikan kesempatan untuk membuat instrumen tolok ukur sebuah prestasi, maka akan kupilih instrumen bernama kehidupan. Sebuah instrumen yang tidak hanya distandarisasi oleh persyaratan akademik semata, namun distandarisasi dengan kententuan dan nilai-nilai kebermanfaatan sepanjang kehidupan itu dijalani.

 

~

Tidak ada orang tua yang tidak menginginkan anaknya untuk bisa berprestasi dalam proses pembelajarannya. Prestasi belajar secara teoretis memang dipahami sebagai hasil dari pengukuran terhadap peserta didik yang meliputi faktor kognitif, afektif, dan psikomotorik setelah mengikuti proses pembelajaran yang diukur dengan menggunakan instrumen tes atau instrumen yang relevan. Sayangnya, dipengaruhi oleh kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan yang ada, justru menyebabkan perubahan realitas makna dalam memaknai sebuah prestasi. Yaitu hanya sebatas apa yang nampak berbentuk angka dalam rapor atau nilai yang tinggi dalam sebuah kompetisi dan ajang yang bergengsi saja.

 

Sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi, bahwa ketika suatu makna berubah dari makna aslinya, bisa saja hal ini disebabkan oleh invasi pemahaman atau pandangan hidup suatu peradaban lain kepada peradaban yang tertentu. Hal itu terjadi dalam dunia pendidikan kita. Pandangan hidup materialisme telah menggeser pandangan dalam memaknai hakikat dari berprestasi. Sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Dr. Adian Husaini dalam sebuah seminar tentang pendidikan bahwa, “ Segala urusan diukur dengan cara pandang kebendaan termasuk persoalan pendidikan. Sadar atau tidak pendidikan mulai berubah menjadi mesin industri yang hanya menghasilkan materi semata.”

 

Alhasil, pola pandang yang seperti itu pada akhirnya akan merubah dan membatasi makna “berprestasi” sebatas hasil dan capaian yang bisa dirasakan dan dinilai berdasar empiris indera semata.

 

 

Berprestasi dengan Angka

Di akhir semester, di akhir tahun, atau di akhir kelulusan, kita sering menjumpai atau menjadi objek pertanyaan tentang berapa nilai ujiannya? Bahkan dalam tataran institusi pendidikan sarjana pun juga sama. Berapa IPK nya? Cumlaude atau tidak? Dll. Di sisi lain dominasi “angka” sebagai instrumen untuk menggambarkan tingkat prestasi ini juga terjadi pada segala aspek pengukuran hasil kompetisi dan ajang perlombaan yang yang ada.

 

Dalam hal olah pikir, prestasi terbaik adalah yang memiliki hasil tertinggi dalam menjawab setiap pertanyaan yang diujikan. Dalam olahraga, prestasi terbaik adalah yang terbanyak mencetak gol atau yang tercepat dalam berlari, dll.

 

Pandangan seperti ini yang pada akhirnya membentuk sudut pandang bahwa nilai yang bagus adalah bentuk dari kesuksesan dan nilai yang kurang bagus adalah bentuk dari kegagalan.

 

Dalam olah pikir misalnya, seorang anak yang nilai akademiknya tinggi serta memenangkan berbagai ajang perlombaan yang diikutinya sampai akhirnya dia dicap sebagai anak berprestasi oleh sekolahnya. Akan tetapi, di sisi lain dia melawan dan membentak guru ketika dinasihati. Apakah ini sebuah prestasi?

 

Dalam olahraga misalnya, seorang anak yang mencapai garis finish terdepan dalam ajang kompetisi lari sprint dianggap sebagai anak berprestasi oleh sekolahnya. Akan tetapi, di sisi lain dia membangkang atas perintah orang tuanya. Apakah ini sebuah prestasi? Serta permisalan yang lainnya.

 

Al-Ustadz Yongki Suyoto (Mentor Program Kaderisasi Ulama UNIDA Gontor) memberikan permisalan dalam tataran institusi perguruan tinggi bahwa seorang wisudawan yang lulus dengan Indeks Prestasi Komulatif (IPK) 4.0 Summa Cum Laude dicap sebagai mahasiswa teladan dan berprestasi, namun dia melakukan zina bersama pacarnya. Apakah ini sebuah prestasi?

 

Berkaitan mengenai realitas prestasi dalam berbentuk angka ini, al-Ustadz Yongki Suyoto menyampaikan bahwa, “ Salah satu kerancuan matematika adalah penggunaannya yang digunakan untuk membaca realitas kebenaran alam yang ada,” artinya matematika digunakan untuk membaca realitas kebenaran dari fenomena alam yang terjadi. Padahal tidak semua realitas kebenaran bisa dibaca dan digambarkan secara sempurna melalui angka-angka semata. Ada saatnya di mana realitas kebenaran itu tidak bisa dinilai dan digambarkan dengan angka-angka dan hanya bisa dibaca dan dipahami dengan mata hati yang dibingkai dengan kacamata iman saja.

 

Ujung-ujungnya permasalahan tersebut sebagaimana yang dianalisis oleh Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi adalah tentang masalah ilmu pengetahuan. Salah satu akar masalah yang sedang kita hadapi ini sesungguhnya terletak pada masalah di sekitar ilmu pengetahuan. Jadi, seseorang itu salah dalam mencari dan memahami hakikat ilmu yang sebenarnya. Kesalahan seseorang dalam memahami ini akhirnya berimbas kepada kesalahan dalam memahami makna “berprestasi” yang sebenarnya.  Sebagai contoh seperti berikut:

 

Saya menyekolahkan anak saya agar berprestasi dengan nilai yang tinggi di sekolahannya. Akan tetapi, dia tidak terpikir tentang bagaimana sikap anaknya ketika berbicara dengan gurunya. Apakah dia sopan terhadap gurunya atau tidak?

 

Saya menyekolahkan anak saya agar lulus menjadi mahasiswa terbaik di Fakultas Kedokteran. Akan tetapi, dia tidak terpikir tentang kenyataan bahwa anaknya berzina dengan pacarnya atau tidak? Dan permisalan yang lainnya.

 

Permisalan di atas menunjukkan betapa cacat dan sempitnya makna prestasi yang dipahami.

 

bersambung …

Researcher at Centre for Islamic Education and Contemporary Studies (CIECS)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *