Berprestasi Itu … #2
Oleh: Krisna Wijaya
Pola pandang seperti itulah yang menyebabkan pergeseran paradigma prestasi hanya sebatas bersifat materi semata. Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi kembali menjelaskan bahwa, “Ilmu untuk materi adalah kesalahan, itulah yang disebut dengan Lost of Adab.” Adab di sini bukan diartikan sebagai adab makan dan minum, namun Adab itu adalah kombinasi dari Iman, Ilmu, dan Amal.
Ketika ilmu itu tidak menambah kepada keimanan, maka sejatinya ilmu tersebut adalah sebuah kesalahan. Beliau kembali sampaikan, “Maniz dada ilman wa lam yazdad hudan lam yazdad minallahi illa bu`dan,” artinya adalah “Siapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah petunjuk atau imannya, maka ia akan makin jauh dari Allah.”
Maknanya adalah bahwa ilmu harus menambah keimanan kepada Allah. Sebuah ilmu apabila dipelajari justru menjauhkan iman dalam diri kita berarti ilmunya salah. Beliau juga menyampaikan bahwa,”Orang Islam telah terperdaya dan secara tidak sadar menerima pengertian ilmu yang dianggap sama dengan pengertian dalam kebudayaan Barat yang materialistis.” Inilah yang terjadi. Kasus suap, korupsi, pelanggaran hukum, ujung-ujungnya adalah penggunaan ilmu untuk sesuatu yang tidak sesuai dengan Worldview Islam.
Permasalahan itu juga terjadi dalam tataran lebih praktis dalam dunia pendidikan tentang pemahaman akan makna sebuah prestasi. Anak-anak kita, orang-orang tua kita, semua tanpa sadar dipaksa menerima makna berprestasi yang orientasinya adalah bersifat materialistis.
~
Berprestasi sebagai Manusia
Prestasi itu bukanlah sesuatu yang susah untuk didapatkan. Dia bukan hanya hasil dari suatu proses perjuangan semata, namun prestasi telah ada di dalam diri kita masing-masing. Lelah rasanya kita memaknai prestasi sebatas pada ranah duniawi semata. Prestasi bisa saja didapatkan pada ranah akademik maupun non akademik, akan tetapi bukan hanya hasil yang nampak pada pandangan indera saja yang menjadi poin penting esensi sebuah prestasi.
Bagi kalian para pelajar yang mengerjakan soal ujian di sekolahan. Hasil dari mengerjakan ujian dengan mendapatkan nilai yang bagus, rangking yang tinggi, ataupun menjadi juara umum memanglah penting dan bisa dikatakan sebagai sebuah prestasi. Akan tetapi, lebih dari pada itu, menjaga prosesnya agar tetap menuai keberkahan, kebaikan, dan kebermanfaatan dalam bentuk menjaga kejujuran, bersungguh-sungguh tanpa sekadar belajar secara dadakan, mengikhlaskan niat dalam mengerjakan soal ujian dalam upaya meraih hasil terbaik adalah prestasi yang sesungguhnya.
Bagi kalian mahasiswa agen perubahan. IPK kalian yang tinggi, nilai yang bagus, predikat Cumlaude adalah tanda sebuah prestasi akademik yang diraih setelah melewati sebuah ujian. Akan tetapi, yang lebih penting dari hal itu adalah sebuah proses bernama kejujuran dalam ujian, kesungguh-sungguhan dalam mengerjakan, niat hati yang ikhlas, dll. Semua hal itu adalah prestasi yang semestinya lebih diperjuangkan dari pada hasil yang nampak secara formal akademik semata.
Percuma seseorang dengan nilai tinggi, namun dia pembohong. Percuma seseorang berstatus juara umum dengan nilainya, akan tetapi sikap dan perilakunya menunjukkan betapa tidak akademisinya dia. Percuma seorang wisudawan bertitel Summa Cumlaude sempurna dengan IPK 4.0 dan bergelar mahasiswa teladan, tetapi di belakang dia berzina dengan lawan jenis. Percuma seorang yang cerdas serta memenangkan berbagai kompetisi, namun keilmuannya tidak menambah kedekatan dirinya kepada Sang Pencipta.
Dari berbagai pembahasan ini, sudah sewajarnya kita mulai mempertanyakan tentang “Apa makna berprestasi yang sesungguhnya?”
Berprestasi sebagai Manusia
Membahas mengenai makna berprestasi, menurutku hal itu bukan hanya pembahasan tentang sesuatu yang diraih atau sesuatu yang berstatus sebagai “hasil” dari sebuah usaha semata. Lebih dari pada itu, berprestasi adalah tentang menjaga sebuah proses dalam rangka meraih sebuah hasil. Menjaga agar di sepanjang usaha berproses itu selalu menuai keberkahan dan kebaikan di dalamnya.
Sadar ataupun tidak, kita semua adalah manusia yang berprestasi pada dasarnya. Prestasi dasar yang kita kita miliki adalah dengan menjadi seorang manusia. Akan tetapi, menjadi manusia saja tidaklah cukup, melihat fakta tentang adanya manusia di belahan bumi sana yang lupa akan sisi kemanusiaanya, manusia yang lupa kepada Tuhannya, manusia yang tidak mengetahui “What and Why” dirinya ada di muka bumi, bahkan manusia yang berusaha membunuh Tuhannya sendiri di dalam dirinya. Semua hal itu bisa menjadi sebuah prestasi sekaligus peringatan kepada kita bahwa menjadi manusia saja tidaklah cukup.
Manusia adalah makhluk yang memiliki kesempatan lebih mulia dari malaikat atau lebih hina dari pada hewan. Terlepas dari kedua hal itu, pada dasarnya setiap manusia adalah makhluk dengan prestasi atas dasar potensi yang dimilikinya. Sebagaimana yang disampaikan oleh Dr. Haidar Bagir bahwa, “Sesungguhnya manusia bak benih, yang menyimpan segenap kesempurnaan dalam dirinya. Lemparlah begitu saja di tanah yang subur, siram seperlunya, rawat dengan penuh cinta, ia akan jadi tumbuhan yang segar, rimbun, dan mengeluarkan banyak bunga indah, serta buah-buahan bermanfaat yang berlimpah.” Oleh karena itu, syarat dasar berprestasi sebagai seorang manusia adalah dengan memahami segenap potensi yang ada dalam dirinya dan memanfaatkannya dalam kebaikan.
Instrumen tolok ukur prestasi sebagai seorang manusia tidak lagi dituliskan dalam lembaran kertas hasil penilaian oleh pihak sekolah semata, namun tolok ukur itu dituliskan dalam rapor kehidupan yang diisi oleh siapa pun orang-orang atau masyarakat terdekat yang merasakan kebermafaatan dari keberadaannya.
Berprestasi sebagai Hamba Allah
Berbicara mengenai prestasi terbaik yang dapat diraih oleh manusia, maka prestasi terbaik yang bisa diraih seorang manusia di dunia adalah menjadi hamba Allah. Di awal mula penciptaan Adam, ketika malaikat mempertanyakan mengapa manusia yang memiliki kemungkinan berbuat kerusakan di muka bumi justru dipilih untuk menjadi Khalifah?
Bukankah waktu itu Allah telah meninggikan kemuliaan manusia di antara makhluk-makhluk ciptaan-Nya waktu itu? Hal itu diabadikan dalam Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 30:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ فِى ٱلْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوٓا۟ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّىٓ أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Terjemah: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Bukankah Allah telah membela manusia di saat makhluk ciptaan-Nya bernama malaikat yang senantiasa patuh kepada-Nya, mensucikan dan memuji-Nya, serta menghormati keagungan dan kesempurnaan-Nya mempertanyakan alasan dipilihnya manusia sebagai Khalifah dengan jawaban:
…قَالَ إِنِّىٓ أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid (Imam Masjidil Haram) menjelaskan dalam kitab Tafsir Al-Mukhtashar bahwa Allah menjawab pertanyaan mereka dengan firman-Nya, “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui tentang adanya hikmah-hikmah besar di balik penciptaan mereka dan tujuan-tujuan besar di balik penetapan mereka sebagai khalifah di muka bumi.”
Akan tetapi, mengakui diri sebagai hamba Allah saja tidaklah cukup.
Perlu perjuangan untuk menjaga agar proses dalam menjalani kehidupan sebagai hamba Allah sekaligus khalifah di muka bumi ini tetap memberikan manfaat sebagaimana mestinya. Untuk menjadi lebih berkualitas dan lebih mulia daripada malaikat sebagai makhluk ciptaan-Nya yang dipilih dengan tujuan mengemban amanah sebagai khalifah di muka bumi.
Inilah prestasi kita yang sebenarnya.
Prestasi sekaligus amanah yang menyertai di belakangnya.
Oleh karena itu,
Kuatkan dirimu, rapatkan shafmu, dan mari berjuang bersama …