Ruang Buku

Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia #3

Membaca Kaca Mata Pendidikan Haidar Bagir

#3

Oleh: Krisna Wijaya

 

Pendidikan yang Memanusiakan

Berbicara mengenai pendidikan, ratusan konferensi diadakan, lebih banyak lagi penlitian-penelitian dan perumusan gagasan-gagasan dilakukan demi menemukan formulasi pendidikan yang paling tepat untuk bisa menjawab segala tantangan perkembangan zaman. Tak terkecuali dengan Howard Gardner, seorang ahli pendidikan dari Harvard yang memiliki perhatian terhadap dunia pendidikan ini juga turut andil dalam menyumbangkan ide-ide besarnya.

 

Pada tahun 1983, Gardner mencetuskan teori kecerdasan majemuk atau multiple intelligences dalam bukunya berjudul Truth, Beauty, and Goodness Reframed: Educating for the Virtues in the Twenty-First Century. Ia mengemukakan melalui bukunya bahwa kecerdasan bukan kemampuan tunggal melainkan beberapa kemampuan intelektual yang relatif tak terkait satu sama lain. Semula dalam teori multiple intelligence-nya, ia mengajukan 7 jenis kecerdasan, yaitu kecerdasan logis-matematis, kecerdasan verbal-linguistik, kecerdasan spasial, kecerdasan musikal, kecerdasan kinestetik, dan kecerdasan intrapersonal. Kemudian di tahun 1998, Garner mengajukan tambahan kecerdasan lain, yaitu kecerdasan naturalis, dan kecerdasan spiritual-eksistensial.

 

Melalui bukunya, ahli pendidikan dari Havard ini seakan-akan seperti menyesali pemikiran-pemikiran pendidikannya yang terdahulu karena sebelumnya ahli pendidikan ini cenderung melihat pendidikan sebatas pada ranah biologi dan ekonomi sesuai dengan sudut pandang yang paling dominan di masa-masa modern saat ini. Gagasan yang dikemukakan oleh Gardner mengenai teori multiple intelligences memang sangat manusiawi, namun Dr. Munir Charib, Dr. Haidar Bagir, dan ahli pendidikan Indonesia lainnya merasa bahwa teori yang dikemukakan oleh Gardner ini masih mempunnyai perspektif materialistik dan pragmatis. Hal ini ditunjukkan dengan pembahasan manusia yang belum menyentuh sudut pandang ‘manusia’ dan ruang lingkup keberadaan manusia secara hakikatnya. Seperti pada persoalan untuk apa manusia diciptakan, apa yang harus dilakukan dan kemana manusia akan kembali. Namun berlepas dari perdebatan yang ada, gagasan Gardner setidaknya memberikan gambaran bahwa pendidikan tidak sebatas dilihat dari perspektif materialistik dan pragmatis semata, namun harus dilihat dalam pandangan yang lebih luas tanpa meniadakan aspek spiritualis di dalamnya.

 

Tujuan Pendidikan

Secara ringkas, tujuan dari sebuah pendidikan adalah untuk mengaktualkan potensi manusia sehingga menjadi manusia sejati. Perlu ditegaskan bahwa manusia bukanlah Artificial Intelligence, betapa canggih sistemnya. Manusia tidak hanya dilihat dari sisi fisik dan kemampuan berpikir saja, manusia juga makhluk yang memiliki jiwa dan hati sebagai aspek penyempurnanya. Oleh karena itu, tujuan pendidikan bukan hanya diorientasikan untuk pengembangan kemampuan fisik dan kemampuan berpikir semata, bahkan sebatas kemampaun praktis kerja di lapangan, namun juga dengan kemampuan kejiwaan sekaligus rohaniah manusia.

 

Unsur-Unsur Kurikulum

Membahas mengenai kurikulum, bentuk kurikulum yang ideal sejatinya harus tetap memberikan ruang yang menekankan kepada pengembangan kemampuan rohaniah, yaitu dengan merumuskan kegiatan-kegiatan pembelajaran spiritual yang berorientasi pada pembelajaran vertikal kepada Sang Pencipta. Hal itu ditunjukkan dengan selain kegiataan observasional-saintifik, perlu untuk dibarengi dengan kegiatan refleksi intelektual filosofis dan etetis yang meliputi penanaman dan pengembangan budi pekerti luhur, pengembangan akhlak sosial, dll.

 

Selain aspek rohaniah, kemampuan imajinatif – yang terkait erat dengan daya kreatif – harus benar-benar diberikan ruang dalam proses pembelajaran. Hal ini juga berkorelasi dengan apa yang sering disampaikan oleh Bpk. Anies Baswedan mengenai proyeksi pendidikan abad 21 haruslah memunculkan aspek kekreatifan dalam pembelajarannya. Berpikir kreatif sebebas-bebasnya bukan dalam artian pembelajaran bersifat liberal atau bahkan menjadi sekuler. Akan tetapi, dengan tetap dalam koridor pengawasan yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku, peserta didik diberikan ruang untuk berpikir sekreatif-kreatifnya.

 

Pendidikan Manusia Vs Artificial Intelligence

Di masa modern, di mana potensi keberadaan manusia berada dalam tantangan Artificial Intelligence (AI), maka pengkajian mengenai potensi-potensi yang dimiliki manusia menjadi semakin penting untuk dilakukan. Kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) adalah simulasi dari kecerdasan yang dimiliki oleh manusia yang kemudian dimodelkan ke dalam mesin serta diprogramkan agar bisa berpikir otomatis seperti halnya manusia. Dengan kata lain AI merupakan sistem komputer yang dirancang untuk bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan yang telah diprogram oleh manusia dan membutuhkan tenaga manusia atau kecerdasan manusia dalam pelaksanaannya.

 

Pada era modern ini, seperti yg diungkapkan Jack Ma, sebagan besar lapangan pekerjaan akan direbut oleh AI. Hal ini disebabkan AI dapat menunjukkan performa yang efektif, efisien, dan jauh lebih cepat dari manusia di beberapa aspek kegiatan, karena kebebasannya dari kelemahan-kelemahan manusiawi, termasuk dalam gangguan-gangguan emosi, bias-bias kognitif, dll. Namun selalu ada pro dan kontra atas setiap isu yang ada. Terlepas dari perdebatan yang ada, AI ini bisa menjadi refleksi agar manusia selalu memaksimalkan potensinya agar keberadaannya tidak tidak tergantikan oleh keberadaan AI.

 

Akhir atau Awal Kemanusiaan?

Berbicara mengenai permasalahan ini, maka mengkaji mengenai kita perlu memulai dengan memahami apa batas-batas kemampuan manusia atau batas kemampuan dari AI. Apakah manusia saat ini sudah mencapai batasnya? Atau sedang dalam proses mencapai batas potensinya? Atau jangan-jangan masih banyak kemampuan manusia yang sebenarnya belum terlihat karena keterbatasan zaman saja? Dr. Haidar Bagir menjelaskan bahwa jangan-jangan keberadaan AI ini hanya sebatas sebuah tanda dari awal dasar potensi yang sesungguhnya dari diri seorang manusia.

 

Di zaman modern ini terdapat kecenderungan dunia ilmiah dalam mengandalkan kemampuan manusia pada dua prosedur ilmiah saja: rasional dan empiris. Prosedur empiris pada kenyataanya tidak bisa dilepaskan dari prosedur rasional. Dan kenyataanya, dalam prosedur rasional inilah AI lebih mendominasi dari pada peran yang bisa dilakukan oleh manusia. Dengan tantangan ini, apakah hanya dua hal itu saja potensi andalan manusia dalam mencapai tujuan-tujuannya sebagai manusia di bumi ini?

 

Dr. Haidar memberikan tiga permisalan kemampuan yang setidaknya sudah telah menjadi keunggulan dibandingkan dengan AI (tanpa terlalu masuk dalam-dalam ke ranah pembahasan spiritual). Kemampuan tersebut adalah intuitif, imajinatif, dan daya moral manusia yang telah menjadi daya keunggulan dibandingkan dengan keberadaan AI.

 

Membahas mengenai intuisi, dalam hal ini beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan intuisi adalah apa yang biasa disebut dengan pengetahuan apriori atau bersifat swa-bukti (self evident). Sekarang soal imajinasi Yang dimaksud imajinasi di sini adalah apa yang tak terkait dengan realitas sehari-hari, melainkan terkait dengan alam terkait (intermediate world). Rudolf Steiner menyebutnya sebagai “Pengalaman spiritual”. Sebagai contoh dalam sejarah sains seperti peristiwa ditemukannya hukum Archimedes (yang membayangkan dirinya sebagai seonggok air), ada juga teori relativitas (ketika Einstein membayangkan dirinya sebagai foton yang berada di horizon kecepatan-kecepatan). Kemampuan terakhir adalah daya moral. Penetapan moralitas dasar universal yang juga bersifat intuitif irasional yang akan menjadi sumber dorongan kehidupan.

 

Dengan memaksimalkan ketiga kemampuan itu, maka keberadaan AI bukanlah menjadi sebuah ancaman bagi manusia. Bisa saja keberadaan AI justru membuka ruang bagi lahirnya manusia-manusia sejati dengan segala kedahsyatannya.

Researcher at Centre for Islamic Education and Contemporary Studies (CIECS)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *