Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia #5
Melihat dari Kaca Mata Haidar Bagir
#5
Oleh: Krisna Wijaya
Problem Pendidikan Karakter dalam Kurikulum
Pendidikan merupakan salah satu penentu kemajuan bangsa dan pembentuk para pembangun bangsa (National Builders) dalam upaya pembangunan bangsa (Nation Building). Pendidikan sendiri terdiri dari berbagai unsur penunjang seperti guru, sekolah, sarana dan prasarana, kurikulum, dll.
Membahas mengenai kurikulum sejatinya tidak bisa dilepaskan dari hal-hal yang berkaitan mengenai tujuan dari dibuatnya kurikulum tersebut. Tujuan ini menjadi sesuatu yang penting karena setiap sekolah akan membutuhkan kurikulum dan setiap kurikulum yang baik di samping memperhatikan aspek isi, proses, evaluasi, juga perlu menjabarkan dan merumuskan dengan jelas mengenai tujuan-tujuan (objectives) yang hendak dicapainya.
Perumusan tujuan kurikulum ini penting agar segenap unsur-unsur di dalamnya dapat saling mendukung dalam sebuah kesatuan yang sistematis untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Tujuan kurikulum sendiri sebenarnya telah jelas tercantum dalam UU Sisdiknas, yakni: “… agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.” Telah jelas disebutkan bahwa pengembangan sikap atau watak (attitude atau character) serta akhlak mulia (budi pekerti/moral) merupakan aspek sentral dalam tujuan kurikulum pendidikan di Indonesia.
Menjernihkan Matriks Karakter
Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) sendiri telah menyusun sebuah matriks yang terdiri dari 18 unsur karakter di dalamnya. Dr. Haidar Bagir sendiri berpendapat bahwa pemerintah masihlah kurang tepat dalam memilih komponen karakter yang menjadi unsur dasar dari konsep pendidikan karakter dalam kurikulum.
Selain mempertanyakan mengenai unsur-unsur yang menjadi komponen matriks pendidikan karakter, strategi dalam penyelenggaraan pendidikan karakter dan moral ini, khususnya dalam aspek kegiatan ekstrakulikuler, masih setia pada modus-modus konvensional seperti pramuka di dalam sekolah, pembuatan karya tulis, olahraga, dll.
Pentingnya pengorinetasian pendidikan karakter dan nilai moral pada ranah afektif dan psikomotorik, menuntut keterlibatan peserta didik dalam kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan langsung seperti kegiatan-kegiatan penyantunan anggota-anggota masyarakat yang membutuhkan, dialog-dialog dan kegiatan pelayanan sosial kemasyarakatan yang dilakukan oleh peserta didik di lingkungan masyarakat dengan berbagai latar belakang yang berbeda, dan berbagai kegiatan lainnya yang melatih dan mengembangkan semangat cinta kasih dan pengorbanan.
Menggarap Semua Ranah
Muatan pendidikan karakter dalam kegiatan kurikuler, kokurikuler, dan ekstrakulikuler harus dilakukan secara integratif dan bukan hanya pada pelajaran agama atau PKN (Pendidikan kewarganegaraan) saja. Terdapat perdebatan apakah pendidikan karakter ini perlu dijadikan mata pelajaran tersendiri atau tidak. Kalaulah menjadi sebuah mata pelajaran tersendiri, maka hendaknya kita sadar bahwa aspek kognitif pendidikan karakter dan moralitas bukanlah satu-satunya, bahkan bukan merupakan aspek terpenting dalam pendidikan karakter itu sendiri.
Pembelajaran yang sudah ada, selain untuk sekadar pengajaran unsur kognitif pendidikan moralitas dan karakter perlu didukung dengan suatu kesadaran bahwa strategi pengajaran mesti bersifat konkret dan praktis, dari pada bersifat teoritis. Pada aspek evaluasi pun juga harus lebih bersifat autentik – yakni benar-benar mengevaluasi kompetensi secara holistik sekaligus praktis – ketimbang melalui evaluasi melalui jenis-jenis akademis dan teoritis seperti metode pan and papet test.
Di samping hal itu, kembali mengingat SDM mayoritas guru agama masih membutuhkan banyak peningkatan mutu seperti dalam hal sikap, pengetahuan, dan ketrampilan, terkhusus di daerah yang jauh dari sumber daya yang memadai. Dr. Haidar Bagir sendiri berpendapat bahwa pembelajaran agama cukup dibatasi pada 2 sampai 3 jam pelajaran saja.
Beliau berpendapat bahwa penambahan jam pembelajaran ini dikhawatirkan justru diisi dengan hal-hal yang menjadikan kesadaran beragama siswa melulu bersifat legal-formalistik yang nantinya cenderung intoleran: termasuk perdebatan fiqih dan teologis yang menanti di ujungnya.
Penulis sendiri tidak sependapat dengan pemikiran Dr. Haidar Bagir pada poin ini. Kalau melihat dari pembagian waktunya, ada pembagian waktu antara jam mata pelajaran dan jam istirahat. Dalam satu jam pembelajaran pun pasti berbeda-beda waktu dari sekolah dasar, sekolah menengah pertama maupun sekolah menengah ke atas. Namun bila kita melihat perbandingan antara banyaknya waktu pembelajaran mapel agama atau pendidikan agama Islam antara sekolah umum dengan madrasah akan sangat berbeda jauh
Sekolah umum hanya memiliki dua jam mapel PAI sekali dalam seminggu. Sedangkan di madrasah mapel PAI masih dipecah menjadi lima mapel yaitu aqidah akhlak, fiqih, sejarah kebudayaan Islam, Qur’an hadits dan bahasa arab. Sehingga tiap-tiap mapel PAI tersebut juga mendapatkan jam masing-masing dalam setiap pertemuannya dalam seminggu.
Porsi pembelajaran PAI di sekolah umum ini tentu harus diperhatikan meskipun masih dipengaruhi oleh berbagai faktor lain yang juga mempengaruhi keberhasilan pembelajaran PAI di sekolah, namun porsi ini juga menjadi hal yang penting untuk diperhatikan.
Terlepas dari faktor penentu keberhasilan yang lain seperti kualitas guru, materi, dll. kita perlu mempertanyakan tentang bagaimana bisa mencetak para penerus bangsa yang agamis kalau jam pelajaran PAI di sekolah hanya 2 jam saja?
Dr. Haidar Bagir juga berpendapat bahwa pendidikan karakter bisa diselenggarakan dengan melalui pendidikan seni (estetika). Selain sebagai sarana kerehatan jiwa dan pikiran, serta mengembangkan daya imajinasi dan kreatif, pendidikan estetik juga bisa menjadi sarana dalam menanamkan karakter dan moralitas pada peserta didik.