Toleransi Beragama Bukanlah Saling Menghormati
Membaca kacamata Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi
Oleh: Krisna Wijaya
“Pluralitas agama, kultur dan budaya adalah sunnatullah, tapi pluralisme adalah doktrin peradaban Barat postmodern yang mencoba membangun persamaan dari perbedaan dan bahkan cenderung menghilangkannya. Sumber utamanya adalah filsafat relativisme Nietzche, tokoh filosof Barat postmodern,” papar Prof. Hamid dalam sebuah tulisannya.
Memisahkan pluralitas perbedaan dengan pluralisme kebenaran yang menjadi produk peradaban Barat sesuai dengan tempat dan kadarnya masing-masing ini menjadi suatu hal yang penting untuk dilakukan agar kita mampu menyikapi suatu pluralitas perbedaan agama dalam bentuk toleransi tanpa mengusung pandangan pluralisme kebenaran di dalamnya.
Berbicara mengenai toleransi, hal ini telah tertuliskan dengan jelas kadar dan tempatnya dalam QS. Al-Kafirun Ayat 6 yang berbunyi:
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
Artinya: “Untukmu agamamu dan untukku agamaku.”
Ayat ini merupakan tolok ukur untuk kita memahami sekaligus menempatkan hakikat toleransi sesuai dengan tempat dan kedudukannya. Hal ini menjadi penting untuk dibahas agar kita mampu bersikap toleransi tanpa didasari oleh asas pluralisme kebenaran agama yang memandang bahwa truth claim (mengklaim kebenaran agamanya sendiri) adalah sesuatu yang dilarang.
Hal itu merupakan sebuah pandangan di mana semua harus mengakui (kebenaran) agama-agama yang ada. Tidak ada agama yang lebih benar dari agama lainnya. Sebab kebenaran itu adalah relatif, yang absolut hanya kebenaran dari Tuhan.
Prof. Hamid menjelaskan secara praktis sikap toleransi dalam kehidupan bermasyarakat adalah dengan tidak saling mengajak untuk bertukar kesempatan dalam merayakan hari besar atau hari keagaaman masing-masing. Hal ini dikarenakan batas toleransi yang telah ditetapkan dalam Islam bukanlah saling mengikuti atau merayakan suatu agama yang berbeda dengan keyakinan agama yang kita percayai.
Toleransi juga bukan tentang sebuah kebersamaan dalam melakukan aktivitas ibadah bersama di waktu dan tempat yang bersamaan tanpa menimbulkan perselisihan. Hal itu sejatinya bukanlah pengimplementasian sikap bertoleransi yang sebenarnya.
Toleransi Bukanlah Saling Menghormati
Memaknai batasan hakikat dari toleransi, sebaiknya kita merujuk kepada batasan-batasan yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an. Hal ini perlu dilakukan agar kita tidak salah memaknai dan meletakkan hakikat toleransi kepada sesuatu yang dilarang oleh agama.
Apakah ayat-ayat dalam al-Qur’an menggunakan diksi menghormati pada agama lain? Tentu jawabannya adalah Tidak. Bahkan al-Qur’an menyebutkan dengan jelas bahwa tidak ada agama yang benar di sisi Allah kecuali agama Islam. Sebagaimana yang disebutkan dalam Qur’an surat Ali ‘Imran ayat 19:
إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلْإِسْلَٰمُ
Artinya: “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam ….”
Dalam Tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah/Markaz Ta’dzhim al-Qur’an di bawah pengawasan Syaikh Prof. Dr. Imad Zuhair Hafidz, Professor Fakultas al-Qur’an Universitas Islam Madinah, ayat ini bermakna bahwa Allah mengabarkan tidak ada agama yang Dia terima dari seseorang selain agama Islam, yaitu dengan mengikuti para rasul yang diutus Allah pada setiap zaman yang ditutup dengan pengutusan Nabi Muhammad.
Al-Qur’an tidak menyatakan, “Semua agama itu benar di sisi Tuhannya masing-masing dan harus saling menghormati kepercayaan tersebut di muka bumi,” namun dengan jelas dan tegas menyebutkan mengenai Islamlah satu-satunya agama yang benar di sisi Allah.
Dari sini kita harus memahami bahwa toleransi tidak boleh dipahami dalam arti menghormati keberadaan dan kebenaran kepercayaan agama lain sebagai suatu eksistensi kepercayaan yang layak ada secara pandangan teologis. Hal ini dikarenakan dalam al-Qur’an telah menjelaskan dengan jelas bahwa hanya Islamlah agama yang benar.
Toleransi menurut beliau bukanlah dalam artian saling menghormati, namun kesadaran saling memahami dan tidak saling meggangu. Dalam istilah lain juga dapat dimaknai dengan “membiarkan”. Membiarkan apapun yang dilakukan dan dikerjakan oleh mereka yang berbeda keyakinan dengan kita. Mereka mau merayakan natal, pergi ke gereja setiap hari Ahad, dll. silakan saja. Poin pentingnya adalah tidak saling mengajak antara satu dengan yang lainnya.
Hampir seluruh masyarakat Indonesia memang berusaha menjunjung tinggi sikap toleransi beragama dalam kehidupan bermasyarakatnya, namun sebagian masyarakat justru melakukan perbuatan yang sebenarnya merupakan bentuk dari sikap intoleransi dalam beragama. Sebagai contoh orang Islam yang menghadiri undangan doa bersama di pura dan diakhiri doa bersama untuk semua agama. Permisalan lain seperti menghormati hari raya Natal dengan mengirimkan ucapan, hadiah, ataupun memakai pakaian yang berkaitan dengan hari Natal, dll.
Hal itu bukanlah sebuah bentuk dari toleransi beragama yang sebenarnya. Umat Islam kadang berlebihan dalam menunjukkan identitas bahwa umat ini adalah umat yang toleran dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang justru sebenarnya merupakan bentuk dari sikap intoleransi dalam beragama dan menyalahi aturan dalam agama.
Kalaulah toleransi ini ingin diimplementasikan dalam bentuk sikap menghormati antara dua pemeluk agama yang berbeda, maka untuk lebih memudahkan dalam memahami hal ini, beliau membagi toleransi ke dalam dua pembagian yang berbeda. Pertama, adalah toleransi dalam ranah sosial. Kedua, adalah toleransi dalam ranah teologis.
Toleransi dalam Ranah Sosial
Toleransi dalam ranah ini dimaknai sebagai menghormati penganut agama lain sebagai sebuah individu atau warga negara yang dijamin hak memeluk agamanya oleh negara. Toleransi ini adalah suatu keadaan/situasi di mana kita hidup dengan damai di antara berbagai macam pemeluk agama yang berbeda dan kita mengakui keberadaan mereka sebagai warga negara yang dijamin hak memeluk agama dan kepercayaan masing-masing.
Sebagaimana Hadits Nabi berkaitan mengenai penghormatan kepada tamu bahwa:
…وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ
Artinya, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia menghormati tetangganya.”
Pertanyaannya “Bagaimana bila tamunya nonmuslim?” apakah tetap dihormati atau tidak? Tentu jawabannya tetap dihormat walaupun dia bukan orang Islam.
Begitu juga dengan menghormati tetanggannya. Sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi bahwa:
… وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
Artinya: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya.”
Pertanyaannya “bagaimana bila tetangganya nonmuslim?” apakah tetap menyakiti atau tidak? Tentu jawabannya jangan menyakiti walaupun dia bukan orang Islam.
Kalau seorang beragama Islam menyakiti tetangganya yang nonmuslim, maka dia telah berdosa. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Rasulullah dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani disebutkan bahwa Nabi Saw pernah bersabda:
مَنْ آذَى ذِمِّيًا فَقَدْ آذَانِيْ، وَمَنْ آذَانِيْ فَقَدْ آذَى اللهِ
“Barangsiapa menyakiti seorang zimmi (nonmuslim yang tidak memerangi umat Muslim), maka sesungguhnya dia telah menyakitiku. Dan barang siapa yang telah menyakitiku, maka sesungguhnya dia telah menyakiti Allah.”
Atau dalam hadis riwayat Imam Abu Daud, bahwa Nabi Saw bersabda:
أَلَا مَنْ ظَلَمَ مُعَاهِدًا أَوِ انْتَقَصَهُ أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ أَوْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا بِغَيْرِ طِيبِ نَفْسٍ فَأَنَا حَجِيجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Ketahuilah, bahwa siapa yang menzalimi seorang mu’ahad (nonmuslim yang berkomitmen untuk hidup damai dengan umat Muslim), merendahkannya, membebaninya di atas kemampuannya atau mengambil sesuatu darinya tanpa keridhaan dirinya, maka saya adalah lawan bertikainya pada hari kiamat.”
Toleransi Dalam Ranah Teologis
Berkaitan mengenai aspek teologis, tidak ada sikap menghormati dalam artian bahwa kepercayaan tersebut (di luar Islam) layak untuk diberikan penghormatan atas keberadaannya.
Secara sosial kita memang memberikan ruang kepada pemeluk agama lain untuk menjalani ibadah mereka masing-masing dengan tidak menghina, merendahkan, atau mengganggu kepercayaan tersebut. walaupun kita berdamai dalam sisi sosial, secara teologis kita harus tetap mengingkari kebenaran kepercayaan agama di luar agama Islam.
Kembali lagi kepada Qur’an surat Ali ‘Imran ayat 19:
إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلْإِسْلَٰمُ
Artinya: “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam ….”
Kita tidak harus menghormati keberadaan keyakinan agama lain secara pandangan teologis. Kita tidak perlu respek kepada agama lain secara pandangan teologis, apalagi sikap salut akan semangat pemeluk agama lain dalam beribadah kepada Tuhannya. Bukan seperti itu bentuk toleransi yang diajarkan oleh Islam.
Toleransi kepada orang lain dalam artian menghormatinya secara keberadaan sosial sebagai suatu individu atau warga negara Indonesia yang dijamin hak dalam memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing adalah hal yang diperbolehkan. Akan tetapi, menghormati pemeluk agama lain akan kepercayaan yang dianutnya, kagum terhadap semangat beribadah mereka kepada Tuhannya, atau justru menghormati dengan memuji-muji kepercayaan tersebut sebagai sebuah kepercayaan yang baik, maka ini adalah suatu kesalahan.
Cukuplah membiarkan saja tanpa perlu memuji-muji kepercayaan tersebut.
Karena sejatinya tidak ada toleransi dalam bentuk sikap hormat akan kepercayaan lain di luar Islam secara teologis. Kalau pun sikap hormat itu ada, maka itu adalah bentuk penghormatan kepada seseorang sebagai individu atau warga negara yang dijamin hak-haknya dalam memeluk kepercayaan atau agama tertentu (selain Islam) dalam ranah sosial semata.
#disampaikan secara eksklusif pada wawancara mengenai toleransi beragama oleh Suara Hidayatullah.