sekolah
Ruang Buku

Memaknai Gurunya Manusia

Membaca Kacamata Munif Chatib

Oleh: Krisna Wijaya

 

Setiap institusi pendidikan yang hebat selalu dilatarbelakangi oleh keberadaan  para pendidiknya maupun gurunya yang luar biasa. Karena sekolah yang baik selalu dijalankan oleh guru-guru yang baik pula. Hal ini juga sama dengan apa yang disampaikan oleh Bapak Anies Baswedan bahwa, “Pijakan kesuksesan seorang siswa banyak dilatarbelakangi karena kontribusi guru yang telah mengajarnya.”

 

Bagaimana tidak? Betapa banyak ahli yang lahir disebabkan oleh motivasi guru saat diajar di bangku sekolah dasar dan menengah. Bahkan, persentase terbesar maju mundurnya kualitas pendidikan ditentukan oleh kualitas seorang guru.

 

Kualitas guru di sini salah satunya ditunjukkan dengan pandangan seorang guru yang yakin bahwa setiap anak adalah istimewa dengan keistimewaannya masing-masing.

 

Refleksi Dua Orang Sahabat

Dr. Munif Chatib dan Dr. Haidar Bagir selain bersahabat juga memiliki kesamaan sebagai sama-sama pemerhati pendidikan. Tak jarang keduannya memiliki kesamaan gagasan mengenai sumbangsihnya dalam memajukan dunia pendidikan. Walaupun ada juga perbedaan pada aspek-aspek tertentu, namun secara umum keduannya tetap bisa bersinergi dalam berkontribusi untuk memajukan dunia pendidikan.

 

Membaca buku “Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia” karya Dr. Haidar Bagir dan buku “Gurunya Manusia: Menjadikan Semua Anak Istimewa dan Semua Anak Juara” karya Dr. Munif Chatib, kita akan menemukan berbagai corak gagasan inovatif, namun masih dengan satu kesamaan corak visi di dalamnya. Di antarannya kita akan mengetahui bahwa beliau berdua sama-sama berusaha membuktikan bahwa paradigma siswa pintar dan bodoh itu sejatinya adalah relatif. Karena sejatinya tidak ada siswa yang bodoh, yang ada adalah siswa yang istimewa dengan keisimewaannya masing-masing.

 

Permasalahannya bukanlah terletak pada “Apa bakat/keistimewaan seorang anak/peserta didik tersebut?”, namun yang menjadi permasalahan adalah “Bagaimana cara membaca keistimewaan anak/peserta didik yang berbeda-beda?”. Karena mustahil menyaring serbuk kopi dengan sebuah jala ikan.

 

Memahami Kemampuan Dalam Arti Luas

Setiap peserta didik sejatinya memiliki bakat/keistimewaan yang menjadi kemampuan dasarnya untuk meraih kesuksesan. Masalah yang sering terjadi, sebagai seorang pendidik/calon pendidik adalah kita sering terjebak dalam memahami makna kemampuan tersebut dari sudut pandang yang sempit.

 

Benjamin S. Bloom membagi kemampuan menjadi tiga pembagian:

  1. Kemampuan kognitif, yang menghasilkan ketrampilan berpikir;
  2. Kemampuan psikomotorik, yang menghasilkan kemampuan berkarya;
  3. Kemampuan afektif, yang menghasilkan kemampuan bersikap.

 

Pembagian kemampuan di atas telah disempurnakan lagi oleh Howard Garnerd dengan teori kecerdasan majemuk (multiple intelligences) yang digagasnya. Walaupun teori kecerdasan majemuk masih meninggalkan “PR” bagi kita tentang permasalahan spiritualitas di dalamnya, namun secara umum teori Gardner telah memberikan paradigma baru pada dunia pendidikan bahwa kecerdasan tidak semata-mata apa yang nampak pada nilai mata pelajaran.

 

Kita sebagai guru dan orangtua – atau pun yang masih bersifat calon – sering terjebak dalam pandangan mengukur kemampuan seorang anak/peserta didik hanya dalam satu ranah saja, yaitu ranah kemampuan kognitif. Parahnya, kemampuan kognitif siswa itulah yang pada akhirnya menjadi penentu paling dominan tentang baik atau buruknya siswa atau sekolah yang ada.

 

Sebagai contoh kita bisa melihat laman LTMPT (Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi) yang menyajikan Top 1000 Sekolah Tahun 2021 Berdasarkan Nilai UTBK. Di satu sisi kita bisa bangga akan persaingan anak bangsa yang saling berlomba dalam mendapat nilai terbaik dalam proses belajarnya, namun di sisi lain kita juga menyayangkan bahwa hal itu hanya ditunjau dari aspek kognitif akademisi semata.

 

Di samping itu, kita memang harus mengakui bahwa saat ini hanya kemampuan kognitiflah yang secara nasional diakui dan dapat didokumentasikan menjadi rapor. Dari rapor inilah guru, orangtua, dan masyarakat umum selalu terjebak dalam memberikan label pada anaknya, pandai atau tidak, hanya dengan merujuk kepada lembaran rapor kognitif semata.

 

Aspek kognitif seakan-akan menduduki puncak pencapaian yang harus dituju dan diperjuangkan. Dari sini, kita harus benar-benar kembali mengingat tentang sebuah analogi bahwa “Petani kopi akan terus menerus merasa bahwa dirinya tidak memiliki kopi yang berkualitas apabila dia menyaring biji kopi dengan menggunakan jala ikan para nelayan”.

Researcher at Centre for Islamic Education and Contemporary Studies (CIECS)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *