Gurunya Manusia #2
Membaca Kacamata Munif Chatib
Oleh: Krisna Wijaya
“Petani kopi akan terus menerus merasa bahwa dirinya tidak memiliki kopi yang berkualitas apabila dia menyaring biji kopi dengan menggunakan jala ikan para nelayan”, analogi ini seakan-akan memberikan gambaran bahwa hanya biji kopi besar-besarlah yang pantas dianggap berkualitas. Lantas bagaimana dengan biji kopi dengan ukuran kecil? Bukankah biji kecil juga bisa memiliki kualitas yang bagus?
Permisalan di atas bisa menggambarkan mengenai keadaan dunia pendidikan kita sedang menghadapi masalah yang hampir serupa. Secara nasional, jarang sekali kemampuan selain kognitif mampu terekam menjadi sebuah kompetensi yang diakui secara nasional. Kenyataan yang ada adalah apabila seorang anak berperilaku baik, menghargai guru dalam mengajar, rajin mengikuti pelajaran, tetapi nilai ujiannya mendapat 5, pasti kita akan menyebut anak tersebut bodoh terlepas dari berbagai sikap baik yang melekat dalam dirinya.
Inilah salah satu permasalahan dalam sistem dunia pendidikan kita, dimana penilaian secara holistik masihlah belum bisa dilaksanakan secara maksimal dalam taraf nasional. Berkaca para permasalahan itu, gurunya manusia seharusnya mampu memandang kompetensi siswa dengan kacamata lebih luas berdasarkan tiga kemampuan – kognitif, afektif, dan psikomotorik – secara proporsional atau meminjam kacamata Howard Gardner dalam memandang kemampuan siswa agar mendapatkan hasil yang lebih holistik.
Terus Menjelajah Kemampuan Siswa
Perlu diketahui bahwa setiap anak merupakan masterpiece dan karya maestro dari Allah dengan segenap kesempurnaan instalasi dan keunikan di dalam dirinya. Dan perlu ditegaskan lagi bahwa Allah dengan segenap kekuasaannya, tidak pernah sama sekali menciptakan produk gagal dipentas pasar dunia. Namun mengapa banyak anak merasa gagal dan tidak mampu menjadi apa-apa? Semua itu bisa jadi merupakan indikator lemahnya Discovering Ability pada setiap anak.
Kita harus sadari bahwa menjadi gurunya manusia berarti tidak boleh berhenti untuk terus menelusuri kemampuan dan potensi dari masing-masing anak/peserta didik yang ada. Bisa dikatakan juga gurunya manusia merupakan aktivis discovering ability, yaitu menjelajah kemampuan setiap anak meskipun itu sekecil debu. Karena sekecil apapun debu yang ada, bisa jadi hal itu merupakan kesempurnaan yang telah diinstal ketika proses penciptaan dari Tuhannya.
Kemajemukan kemampuan peserta didik, walaupun ibarat perbandingan seperti air dan debu, tapi kita harus optimis bahwa debu pun bisa saja lebih baik dari air bila kita tahu manfaat dari debu dan potensi yang dimiliki oleh debu. Pertanyaannya, kapan debu bisa menjadi lebih mulia dan lebih baik dari pada air? Karena secara logika air lebih mendominasi dalam memberikan kebermanfaatan kepada manusia di berbagai sisi dibandingkan dengan debu.
Bila kita cermati, ada salah satu kondisi dimana debu menempati posisi lebih baik dan lebih mulia serta hanya bisa dilakukan oleh debu semata dari pada keberadaan air. Kondisi itu yang pada umumnya kita ketahui bersama bernama “tayamum”. Ketika tayamum inilah, keberadaan debu menempati posisi terbaik dibandingkan dengan keberadaan air. Karena tidak mungkin dinamakan tayamum bila bersuci masih menggunakan air.
Perumpamaan di atas setidaknya telah memberikan gambaran kepada kita bahwa debu pun yang secara umum tidak lebih berguna dari pada air ternyata memiliki tempatnya masing-masing untuk bisa bersinar dan dikatakan berguna. Begitu juga ketika memahami dan mendudukkan peserta didik. Gurunya manusia harus memiliki kacamata holistik dalam memandang dan memahami diri dan hakikat peserta didik yang diajarnya. Tidak hanya pandangan secara empiris semata, namun juga menyertakan pandangan spiritualitas di dalamnya.
Aktivitas menjelah ini tidak hanya sekedar proses mencari untuk orientasi menemukan semata, sehingga bila tidak ditemukan yang dicari, maka aktivitas dihentikan. Akan tetapi aktivitas menjelajah ini harus didasar dengan tekad dan komitmen yang kuat untuk menemukan potensi peserta didik tersebut. Kalaulah belum menemukan, teruslah mencari sampai akhirnya menemukan potensi kemampuan peserta didik tersebut. Selain berperan menjadi pencari, gurunya manusia juga bertindak sebagai katalisator, yaitu pematik kemampuan peserta didiknya.
Mencermati ketika anak berusia golden age (0-8 tahun) mampu melakukan hal-hal yang sederhana seperti menutup pintu, membaca doa sebelum makan, dll. orang tua harus memberikan apresiasi kepadanya, seperti, “Masyaa Allah, pintar sekali, ini baru anak Ibu, dll..” Berbagai respon apresiasi yang diberikan kepada anak tersebut akan membuat anak punya memiliki rasa percaya diri bahwa usahanya diakui oleh lingkungannya. Dr. Munif Chatib menjelaskan bahwa kepercayaan diri ini seperti pedang, yang akan digunakan oleh anak apabila dia menemui tantangan dalam proses perkembangan kemampuannya.
Beliau pada berbagai kesempatan pelatihan maupun seminar sering menyampaikan kepada para guru agar mereka memiliki hobi baru, yaitu melakukan discovering ability kepada setiap siswanya. Alhasil, salah seorang guru mengirimkan salah satu hasil discovering ability pada siswanya. Berikut teks asli e-mail guru tersebut.
Salam, Pak Munif
Saya sudah melakukan discovering ability pada siswa yang saya anggap nakal dan malas. Sebut saja namanya Salim, siswa kelas III SD, dan hasilnya saya menemukan bahwa Salim punya kemampuan berikut ini:
- Salim selalu tersenyum ketika saya peringatkan untuk tidak lupa membawa pensil. Ya, dia selalu tersenyum!
- Salim mau minta maaf terlebih dahulu ketika berkelahi dengan temannya.
- Salim adalah anak yang banyak disukai temannya sebab dia ringan langkah.
Dalam dua minggu ini, saya sudah menemukan tiga kelebihan Salim, yaitu tersenyum, kerap meminta maaf terlebih dahulu, dan ringan langkah – suka membantu orang lain. Seperti yang pak munif sarankan, jika kita sudah menemukan ability siswa, berarti kita sudah menemukan pintu membuka untuk masuk ke dalam dunia siswa. Luar biasa Pak Munif. Ketika saya meminta dengan sangat kepada Salim untuk tidak terlambat lagi masuk sekolah. Dengan lembut, saya katakan, jika Salim setiap hari terlambat, yang susah adalah saya. Saya pasti dianggap guru yang gagal mendidik siswanya. Lalu, saya akan dipanggil dan diperingatkan oleh kepala sekolah. Jika Salim terus terlambat, saya bisa-bisa tidak boleh mengajar lagi di sekolah ini.
Tak terduga, Salim hanya diam menatap saya, namun matanya berkaca-kaca. Dia memegang tangan saya sambil menggelengkan kepalanya. Hanya itu saja, lalu dia menghilang dari hadapan saya.
Keesokan harinya, bahkan hingga hari ini, Salim sudah tidak pernah terlambat lagi. Benar Pak Munif, kita bisa masuk ke dunia siswa jika berhasil melewati pintu ability mereka. Sekali lagi, terima kasih![1]
[1] Munif Chatib, Gurunya Manusia: Menjadikan Semua Anak Istimewa dan Semua Anak Juara, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2019), h. 75.