Mengenal Gender dan Feminisme
#2
Oleh: Krisna Wijaya
Kembali mengingat bahwa pegiat feminis dalam membangun wacana gender sering memulai dengan membedakan definisi antara seks dan gender. Membedakan dua istilah yang awalnya memiliki makna serupa, yakni jenis kelamin manusia baik laki-laki atau pun perempuan. Namun, ke dua makna yang berbeda tersebut dalam pangangan kaum Feminis memiliki definisi yang baru yaitu sebagai atribut dan perilaku yang dibentuk karena konstruk sosial masyarakat yang terjadi. Istilah “gender” ini pada awalnya digunakan untuk memberikan keterangan pembagian jenis kelamin pada kata gramatikal bahasa Inggris.
Pada tahun 1955, seksolog John Money, memperkenalkan istilah sex untuk merujuk pada klasifikasi secara biologis dan memperkenalkan istilah gender untuk merujuk pada perbedaan laki-laki dan perempuan akibat dari konstruk sosial masyarakat. Akhirnya dengan gagasan rekonstruksi makna gender yang dibawakan olehnya, istilah gender mengalami perubahan makna dari yang awalnya sebatas jenis kelamin (sex) kepada peran sosial (social rule) dan akhirnya menjadi identitas gender.
Sebelum adanya gagasan John Money ini, istilah “gender” jarang sekali digunakan kecuali sebagai pembeda jenis kelamin dalam gramatikal bahasa inggris saja. Rekonstruksi makna dari gagasan John Money ini belum menyebar luas sampai tahun 1970-an, yaitu ketika teori feminism dengan masif mulai menggaungkan perbedaan antara jenis kelamin biologis dan konstruk sosial gender (Masgono, 1994).
Perubahan makna gender yang dilatarbelakangi oleh sejarah yang sarat akan nilai, ideologi, ambisi, dan kepentingan kelompok tertentu itu boleh jadi karena adanya intrusi pandangan hidup asing (intrusion of worldview). Dapat pula disebabkan oleh pergeseran nilai dalam budaya pemegang makna itu. Pergeseran itu ujung-ujungnya kembali kepada pergeseran perubahan makna “gender” dari makna aslinya yang terjadi akibat konstruk sosial di Barat.
Wacana ini telah berkembang menjadi program sosial yang didesain secara akademik dan disosialisasikan secara politis. Konsep yang menjadi basis wacana gender ini berasal dari masyarakat Barat yang telah lama mengalami problem hubungan antara laki-laki dan perempuan. Konsep itu terbentuk dari protes para wanita dalam sebuah gerakan yang mereka sebut feminism.
Hal itu bisa dibuktikan dengan lawan kata feminis adalah masculine “masculinus” atau “masculinity” tidak berarti penuh iman tapi justru strength of sexuality. Kedua hal ini merupakan hasil dari konstruk sosial masyarakat Barat postmodern yang misi utamanya adalah mengembangkan kesetaraan (equality) (Zarkasyi, 2020).
Sementara itu Persatuan Bangsa-Bangsa merespon hal ini dengan membuat instrumen internasional pertama yang menyebutkan hak kesetaraan antara laki-laki dan perempuan adalah Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada tanggal 10 Desember 1948, Majelis Umum PBB (MU-PBB) mengadopsi resolusi 217A/III tentang Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Right / UDHR).
Kemudian pada tanggal 18 Desember 1979, MU-PBB mengadopsi Konvensi Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women / CEDAW) (Farida 2011).
CEDAW inilah yang pada awalnya menjadi dasar hukum kesepakatan internasional yang akhirnya diadopsi oleh berbagai bangsa-bangsa, termasuk negara Indonesia di dalamnya. Prinsip pokok CEDAW adalah persamaan substantif, non diskriminasi dan kewajiban negara, yang merupakan kerangka untuk merumuskan strategi pemajuan hak-hak perempaun (Farida 2011).
Setelah hasil konvensi mengenai penghapusan diskriminasi terhadap perempuan itu diputuskan, Indonesia pertama kali melakukan ratifikasi terhadap CEDAW dengan terbentuknya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1984.
Implementasi yang dilakukan oleh Indonesia secara langsung diawasi oleh PBB melalui Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Indonesia dan CEDAW Working Initiative (CWGI) selaku organisasi non-pemerintah (NGO) di Indonesia terkait implementasi Konvensi CEDAW (Valentina & Dewi, 2017).
CWGI merupakan jaringan pemantauan implementasi CEDAW yang terdiri dari 10 organisasi di dalamnya. Organisasi-organisasi tersebut antara lain Kalyanamitra, Aliansi Pelangi Antar Bangsa (APAB), LBH APIK, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Jurnal Perempuan, Mitra Perempuan, Rumpun Gema Perempuan (RGP), Rahima, Solidaritas Perempuan dan Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) (Swararahiama, 2021).
Hak-hak perempuan yang diatur dalam CEDAW antara lain adalah: hak dalam ketenagakerjaan, hak dalam bidang kesehatan, hak yang sama dalam pendidikan, hak dalam perkawinan dan keluarga, hak dalam kehidupan publik dan politik (Kemenppppa, 2017).
Proses ratifikasi CEDAW ke dalam Undang-Undang (UU) sudah banyak dilakukan oleh pemerintah. Mereka berdalih memperbaiki dan merevisi UU, pada sejatinya hal ini merupakan proses hegemoni ideologi gender dengan cara mendekonstruksi UU untuk selanjutnya dirancang kembali agar berperspektif gender.
Pada akhirnya aktivis gender di Indonesia mendapat angin segar dengan dibuatnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000 tentang Keharusan Melaksanakan Pengarusutamaan Gender (PUG) di seluruh Bidang Pembangunan Tingkat Nasional Maupun Daerah (Maryam, 2012). Inpres Nomor 9 Tahun 2000 inilah yang menjadi landasaran kaum feminis dalam melebarkan pengaruhnya di berbagai aspek kehidupan pembangunan Indonesia.
Korektor: al-Ustadz al-Hafidh Nasution, MIRKH (pembimbing JR CIOS UNIDA Gontor)