kurikulum
Ruang Buku

Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia #6

Melihat dari Kaca Mata Haidar Bagir

#6

Oleh: Krisna Wijaya

 

Mengingat kembali sudah dirasa lebih tepat langkah yang diambil oleh pemerintah ketika pada tahun 2004 memperkenalkan paradigma baru mengenai kurikulum nasional berbasis kompetensi sebagai perbaikan bagi kurikulum sebelumnya yang berbasis subject matter (materi subjek atau mata pelajaran yang diajarkan di sekolah).

 

Dengan makna lain, pada kurikulum terdahulu tujuan instruksional sebuah mata pelajaran tidak disusun terlebih dahulu dengan mempertimbangkan perumusan kompetensi siswa yang diharapkan tercipta dari pembelajaran sebuah mata pelajaran, tetapi sekedar demi menanamkan materi yang disepakati terkandung dalam sebuah mata pelajaran.

Life Skill

Di sini kita akan masuk pada salah satu konsep pembahasan penting yang harus ada dalam kompetensi pembelajaran, yaitu life skill (keterampilan-keterampilan hidup). Pemaknaan life skill ini kadang masih dimaknai semata-mata sebatas keterampilan vokasional yang diperlukan di dunia kerja semata.

 

Padahal, istilah ini seharusnya dimaknai dengan pemaknaan yang lebih luas lagi. Kita harus tahu bahwa kemampuan vokasional hanya satu bagian kecil dari konsep life skill ini. Life skill pada dasarnya mencakup semua kemampuan bagi siswa untuk kelak dapat bertahan dan berkembang dalam masyarakat yang di dalamnya ia hidup.

 

Dalam pemaknaan yang lebih sederhana, life skill adalah semua kompetensi dan keterampilan yang dibutuhkan oleh setiap orang agar bisa hidup bahagia dunia dan akhirat. Ia mencakup keterampilan personal, keterampilan sosial, keterampilan rasional, keterampilan akademis, dan keterampilan vokasional.

 

Secara lebih rinci, setidaknya ada 5 kompetensi yang terdapat dalam konsep life skill ni.

 

Pertama, kompetensi personal, meliputi pengembangan kepribadian termasuk akhlak, kepercayaan diri, kegigihan, kesabaran, dll. Dalam kurikulum 2013, kompetensi ini diperluas menjadi aspek spiritual dan disebut sebagai kecakapan spiritual.

 

Kedua, kompetensi sosial, yang terkait dengan keterampilan hidup dalam masyarakat. Termasuk di dalam kompetensi ini adalah sikap empati, tenggang rasa, kesiapan berkorban, serta kemampuan berkomunikasi. Dalam kurikulum 2013 ini disebut sebagai kecakapan sosial.

 

Ketiga, kompetensi rasional. Hal ini terkait dengan kemampuan berpikir secara logis dan sistematis, di samping kemampuan memecahkan persoalan, berpikir kritis dan kreatif.

 

Keempat, kompetensi akademis, terkait dengan penguasaan pengetahuan bidang-bidang tertentu yang menjadi spesialisasi seseorang. Kompetensi ketiga dan keempat ini dalam kurikulum 2013 disebut sebagai aspek pengetahuan.

 

Kelima, kompetensi vokasional yang merupakan keterampilan teknis yang harus dikuasai oleh peserta didik dalam bidang tertentu. Dalam kurikulum 2013 disebut dengan aspek keterampilan.

 

Dari berbagai kompetensi di atas, akhirnya kita akan memahami bahwa kurikulum yang benar bertujuan menyiapkan anak didik untuk meraih kesejahteraan dan kebahagiaan hidup (well being), yang seharusnya menjadi tujuan puncak segenap proses pendidikan.

 

Dengan pemahaman yang tepat dalam memahami makna kompetensi yang sesungguhnya sebagai bagian dari kurikulum, maka diharapkan akan terus memelihara perspektif, baik di kalangan pemangku kebijakan dalam penyusunan kurikulum, insan pendidikan, para guru dan pendidik, mengenai tujuan ataupun jengkal demi jengkal proses kegiatan belajar-mengajar yang tepat (appropriate).

Menyempurnakan Kurikulum

 

Penyempunaan ini bisa saja dimaknai dengan pengurangan. Kembali mengingat bahwa selama ini kurikulum pendidikan di Indonesia termasuk yang paling padat di dunia, maka dirasa perlu dilakukan seleksi dan pengurangan kuantitas pembelajaran dan mengalihkannya pada kualitas pembelajaran.

 

Di sisi lain, bukan menjadi sebuah kemustahilan untuk melakukan penambahan-penambahan tertentu dalam hal adanya bahan-bahan ajar yang sejalan dengan kekhasan-kekhasan dalam sistem pendidikan di sekolah masing-masing.

 

Berdasarkan hal itu, sistem evaluasi dan penilaian di sekolah kitapun seharusnya juga mengacu kepada kompetensi-kompetensi yang telah disebutkan di atas. Secara praktis hak ini menunjukkan bahwa bukan hanya  kurikulum tidak mesti mengikuti buku teks yang selama ini telah diterbitkan dan dipakai di institusi pendidikan kita, namun evaluasi dan penilaian hasil belajar pun tidak boleh terikat dengan aspek-aspek konvensional yang terdapat dalam buku tersebut.

 

Tes tertulis misalnya, yang harusnya hanya menjadi salah satu alat evaluasi disamping  portofolio siswa, praktik, proyek, dll. Dengan kata lain, tes akhir untuk mengukur kemampuan siswa tidak hanya dititik beratkan pada aspek kognitif semata, namun aspek afektif dan psikomotorik juga mendapat penekanan yang sama atau justru lebih besar.

 

Researcher at Centre for Islamic Education and Contemporary Studies (CIECS)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *