Reformasi Pendidikan!
Membaca Kacamata Pendidikan Dr. Adian Husaini #1
Oleh: Krisna Wijaya
Pembahasan ini dimulai dari sebuah acara Round Table Discussion (Diskusi Satu Meja) yang diadakan oleh Lembaga Pengkajian MPR RI, pada tanggal 24 Oktober 2017. Tema yang diangkat dalam kesempatan itu adalah “Mencerdaskan Kehidupan Banngsa: Pendidikan Nasional Menurut UUD 1945”.
Beberapa pakar dan pemerhati pendidikan juga turut hadir dalam acara tersebut, seperti Prof. Dr. Nasaruddin Umar, Prof. Dr. Satrio Soemantri Brodjonegoro, Prof. Dr. Anwar Arifin, Prof. Dr. Arief Rachman, termasuk Dr. Adian Husaini yang hadir pula sebagai narasumber dalam acara tersebut.
Memperhatikan berbagai pemaparan dan gagasan yang disampaikan dalam acara diskusi tersebut, Dr. Adian Husaini menyimpulkan bahwa ada begitu banyak masalah mendasar dalam dunia pendidikan di Indonesia. Bahkan, di antara pemateri yang hadir, ada yang berkesimpulan, bahwa pendidikan kita telah gagal. Walaupun tidak semua yang hadir sepakat mengenai kesimpulan tersebut karena kita juga harus mengakui bahwa di beberapa aspek, pendidikan kita telah menuai keberhasilan.
Dalam kesempatan yang singkat itu, beliau menyampaikan mengenai pentingnya reformasi pendidikan nasional yang berbasis kepada UUD 1945. Dalam Pembukaan UUD 1945 dan pasal 31 UUD 1945 telah disediakan pijakan kokoh dalam upaya merumuskan sistem pendidikan nasional yang baik dan ideal.
Pada Pembukaan UUD 1945 telah jelas berbunyi, “Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur…. ,” memuat konsep aqidah ahlu-unnah wal-jamaah di dalamnya.
Selain konsep tersebut, ada beberapa konsep penting lainnya yang terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945. Konsep-konsep tersebut seperti konsep negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, konsep kemanusiaan yang adil dan beradab, konsep kepemimpinan hikmah, dan perjuangan dalam mewujudkan keadilan sosial.
Selain Pembukaan UUD 1945, pada pasal 31-nya juga menegaskan, bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Hal itu kemudian dipertegas lagi dalam UU No 20/2003 tentang Sisdiknas dan UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi yang menegaskan lagi mengenai tujuan pendidikan nasional adalah untuk membetuk manusia beriman, bertakawa, dan berakhlak mulia.
Ketiga hal tersebut (beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia) kemudian dipertegas dan diperinci lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang Standar Kompetensi Lulusan (Permendikbud No. 20 tahun 2016).
Jadi, membahas mengenai pendidikan, sejatinya UUD 1945 dan berbagai peraturan di bidang pendidikan telah menekankan bahwa aspek iman, takwa, dan akhlak mulia begitu diperlukan dalam pendidikan. Apabila rumusan ideal itu diterapkan, bisa jadi kondisi kita saat ini tidak mungkin seperti sekarang (korupsi di mana-mana, pembunuhan, kekerasan seksual, pemimpin tidak adil, dll). Lantas, mengapa kondisi pendidikan, masyarakat, dan negara kita masih seperti ini?
Dr. Adian Husaini berpendapat bahwa hal itu disebabkan karena adanya pemahaman, penafsiran, dan mungkin juga perumusan konsep-konsep pendidikan beserta pengaplikasiannya yang belum sesuai dengan nilai yang terkandung dalam UUD 1945.
Oleh karena itu, salah satu langkah yang bisa ditempuh untuk memperbaiki hal itu adalah dengan mereformasi sistem pendidikan, di mana pemerintah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menerapkan berbagai sistem pendidikan.
Reformasi itu juga bisa berbentuk deregulasi dalam berbagai bidang pendidikan. Hal itu dilatarbelakangi karena pendidikan memerlukan kecintaan, kekreativitasan, dan kemerdekaan. Serta kunci utamannya adalah perbaikan kualitas pendidik.
Dalam kesempatan diskusi tersebut, ketua umum PGRI, Prof. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd. juga menyampaikan pandangannya mengenai perlunya kemerdekaan dan kedaulatan guru. Kemerdekaan dan kedaulatan guru ini perlu diperhatikan sebagai bentuk perhatian kepada pahlawan tanpa tanda jasa yang memegang peran sentral dalam pembangunan bangsa melalui jalur pendidikan.
Salah satu informasi penting yang harus digarisbawahi dalam kesempatan diskusi ini adalah pemilihan istilah “akhlak mulia” dalam UUD 1945 dan UU Sisdiknas. Pemilihan istilah “akhlak mulia” ini telah melalui perdebatan yang panjang oleh Tim Perumus UU Sisdiknas. Namun kenapa sekarang pemerintah fokus kepada “karakter” dan bukannya “akhlak”? Padahal istilah “akhlak” telah dipakai resmi dalam Konstitusi dan UU Sisdiknas.
Apabila berpedoman pada UUD 1945 dan UU Sisdiknas, pemerintah maupun pemangku kebijakan seharusnya mengembangkan konsep pendidikan akhlak dan bukannya pendidikan karakter. Karena dalam Islam, konsep ini telah jelas pedomannya, jelas teladannya, dan jelas dasarnya. 14 adab yang lalu, Rasulullah SAW. Diutus untuk menyempurnakan akhlak dan menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Di samping itu, merujuk kembali kepada UUD 1945 dan UU Sisdiknas serta Permendikbud No. 20/2016, seyogyanya tidak boleh ada lagi pendikotomian antara pendidikan Islam dengan pendidikan nasional. Kaitannya dengan guru, pemerintah perlu memberikan kemerdekaan dan kedaulatan kepada guru untuk menjalankan perannya dalam pendidikan.
Kembali mengingat keluhan Prof. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd. kepada detikcom, “Mereka digaji Rp 200 ribu-Rp 300 ribu gimana mau bicara kompeten. Lalu mereka yang mengabdi puluhan tahun ini untuk bisa dikatakan kompeten harus lulus dengan passing grade sekian, sungguh tidak masuk akal,” Jumat (17/9/2021).
Mencermati berbagai gagasan yang disampaikan dan bicarakan dalam acara Round Table Discussion ini, Dr. Adian Husaini memahami kuatnya harapan akan adanya reformasi pendidikan itu benar-benar diperlukan, agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang hebat di masa depan. Karena kualitas pendidikanlah yang akan menentukan masa depan Indonesia.
Di akhir, sepertinya kita harus kembali mengingat ungkapan Muhammad Natsir bahwa, “Kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh sekelompok guru yang ikhlas berbuat untuk bangsannya.”