revolusi
Ruang Buku

Reformasi Pendidikan #2

Oleh: Krisna Wijaya

 

Optimis

“Negara Indonesia ini merupakan negara yang besar bila ditinjau dari aspek wilayah dan keberagaman yang ada di dalamnya, namun masalah yang dimiliki negara ini lebih besar dari pada besarnya negara ini sendiri,” ungkap Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi dalam agenda pidato akhir tahun INSISTS beberapa tahun yang lalu.

 

Pernyataan itu memang tidak bisa dipungkiri apabila kita melihat fakta realitas lapangan yang terjadi saat ini. Sebagian kalangan bahkan ada yang memandang pesimis pada keadaan masa depan bangsa Indonesia. Permasalahan-permasalahan tersebut, apabila ditelusuri maka akan didapati rendahnya kualitas pendidikan sebagai pangkal masalahnya (Bagir, 2020). Oleh karena itu, kita harus benar-benar memperhatikan kualitas pendidikan untuk upaya perbaikan generasi masa depan.

 

Sebab, dunia pendidikan memegang peran sentral dalam penentu kemajuan suatu bangsa dan pembentukan para pembangun bangsa (national builders) dalam upaya pembangunan bangsa (UU Pembangunan Nasional, 2014). Negara yang besar adalah negara yang dibangun sekaligus memberikan perhatian khusus pada masalah dan dinamika pendidikan, karena kemajuan suatu negara sangat dilandasi oleh keadaan dan kualitas pendidikan dalam suatu negara tersebut (Lubis dkk, 2021).

 

Kaitannya dengan konteks permasalahan masyarakat Islam, Imam al-Ghazali menganalisis bahwa akar masalah yang menimpa masyarakat Islam disebabkan oleh rusaknya para ulama karena permasalahan kerusakan ilmu pengetahuan. Prof. al-Attas juga menganalisis permasalahan yang melanda umat Islam disebabkan oleh loss of adab yang berakar dari confusion of knowledge sebagai akibat dari ilmu pengetahuan yang berasal dari peradaban Barat.

 

Dalam magnum opus-nya, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, beliau juga menjelaskan dengan jelas bahwa kebingungan intelektual (intellectual confusion) ini terjadi akibat dari peniadaan wahyu sebagai konsep fundamental dalam bangunan worldview yang berperan sebagai pandangan hidup (al-Attas, 2005).

 

Oleh karena itu, sudah saatnya atau memang harus segera dilakukan upaya evaluasi secara holistik mengenai sistem pendidikan kita saat ini, dalam berbagai aspek dan jenjang pendidikan. Di sisi lain, kita juga sepatutnya untuk bersyukur karena memiliki konstitusi yang secara tegas menyebutkan tujuan pendidikan nasional adalah untuk membentuk manusia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia (Undang-Undang No. 20 Tahun 2003).

 

Juga, bukan sebuah kebetulan semata jika para perumus Dasar Negara Kesatuan RI bersepakat akan dipilihnya istilah “Kemanusiaan yang adil dan beradab” sebagai salah satu dari dasar negara. Istilah adil dan beradab ini bukan hanya istilah yang lahir ketika kemerdekaan bangsa Indonesia telah diraih semata, namun juga telah dipraktikkan beratus-ratus tahun sebelum datangnya penjajah pada sebuah lembaga pendidikan yang bernama “Pesantren” (Husaini, 2020).

 

Dari lembaga pesantren inilah di kemudian hari lahir banyak ilmuan-ilmuan dan tokoh bangsa. KH Wahid Hasyim, misalnya, salah satu perumus Dasar Negara, adalah produk dari lembaga pendidikan pesantren yang menguasai berbagai disiplin keilmuan sekaligus kemampuan dalam kemampuan dalam kepemimpinan.

 

Merujuk kepada rumusan “Kemanusiaan yang adil dan beradab itu”, sudah saatnya atau memang harus segera diupayakan oleh para pemerhati pendidikan maupun para pemangku kebijakan untuk menelaah kembali konsep adab ini untuk kemudian diinternalisasikan ke dalam dunia pendidikan. Dalam sejarah peradaban intelektual Islam, konsep adab ini menempati posisi yang sangat penting dalam keberadaannya.

 

Imam al-Bukhari misalnya, menuliskan kitab yang membahas konsep adab ini dengan judul kitab Adabul Mufrad. Imam al-Mawardi menulis karyanya mengenai adab ini dengan judul Adab ad-Dunya wal-Din, dan sebagainya. Hingga akhirnya pada abad modern ini, konsep pendidikan adab ini secara komprehensif telah dijabarkan dan dikonseptualisasikan oleh Prof. al-Attas dalam Konferensi Internasional Pendidikan Islam pertama di Mekkah, 1977.

 

Gagasan konsep adab ini kemudian diaplikasikan dalam institusi pendidikan yang didirikannya, yaitu ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization) di Kuala Lumpur (Husaini, 2020). Meskipun sejak 2002, al-Attas telah diberhentikan dari ISTAC, namun gagasan pemikirannya semakin luas dipahami dan diperjuangkan.

 

Di antara tokoh-tokoh yang memperjuangkannya seperti Wan Mohd Nor Wan Daud yang berjasa besar meneruskan, dan mengembangkan gagasan al-Attas serta menerapkannya di berbagai institusi pendidikan yang ada di Malaysia (Husaini, 2020). Salah satu bentuknya adalah pendirian CASIS-UTM (Center fot Advanced Studies on Islam, Science, and Civilisation – Universiti Teknologi Malaysia).

 

Dalam karyanya yang lain, uraian mengenai adab ini juga al-Attas jabarkan sebagai, “ recognition and acknowledgement of the reality that knowledge and being are ordered hierarchically according to their various grades and degrees of rank, and of one’s proper place in relation to that reality and one’s physical, intellectual and spiritual capacities and potentials. (alAttas, 1980)”

 

Intinya, konsep adab ini bukan hanya berkaitan mengenai adab literatur klasik seperti adab makan dan minum semata, namun dalam kaitannya menjawab permasalahan ilmu pengetahuan modern saat ini adalah sebagai kemauan dan kemampuan seseorang untuk meletakkan sesuatu pada tempat dan porsinya, sesuai harkat dan martabat yang telah Allah tetapkan.

 

Bersambung …

Researcher at Centre for Islamic Education and Contemporary Studies (CIECS)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *