Tauhid dan Relasinya sebagai sebuah Worldview
Oleh: Krisna Wijaya
Sebuah Refleksi
Tidak mungkin ada peradaban besar di muka bumi ini yang dibangun tanpa keyakinan dasar (basic belief) sebagai pondasi utamanya. Sebaliknya, setiap peradaban di muka bumi ini pasti memiliki keyakinan dasarnya masing-masing. Berbagai keyakinan dasar yang dimiliki oleh suatu peradaban tersebut kemudian berakumulasi menjadi sebuah pandangan dunia (worldview).
Konsep worldview inilah yang kemudian menjadi cara pandang kehidupan setiap orang yang kemudian berdampak kepada perilaku yang dilakukannya. Berbagai persoalan dan kegiatan yang dipahami dan didasarkan pada prisma pandangan hidup tersebut mencakup masalah apapun, baik politik, ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya. Termasuk di dalamnya adalah pandangan dan kegiatan yang bersifat keilmuan, meliputi pemahaman akan makna ilmu, penentuan objek-objek kajiannya, serta pemilihan cara mencapai ilmu tersebut.
Islam merupakan sebuah agama peradaban yang memiliki ciri khas basic belief-nya berdasarkan dengan tauhîd. Tauhid ini adalah keyakinan mengenai Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang tidak beroknum dan bersekutu, yang merupakan sumber segala suatu dan karenanya paling layak dan berhak untuk diagungkan.
Keyakinan demikian berkembang menjadi prisma pandangan hidup tauhîdî yang melihat kehidupan dalam prinsip-prinsip kesatuan. Dari pandangan hidup Tauhidi ini, konsep ilmu yang secara alamiah tumbuh dan matang dalam Islam dicirikan dengan keterhubungan akan konsep Tuhan, memperhatikan aspek dunia-akhirat, serta menerima adanya satu nilai yang bersandarkan kepada wahyu sebagai final keputusan.
Pandangan yang berelasi dengan Tauhid ini pernah dijelaskan oleh Ustadz Anton Ismunanto[1] ke dalam 3 tahap proses tahap integrasi sebagai berikut:
- Pertanyaan dasar apakah kamu ber-Tauhid?
Pertanyaan ini ditunjukkan kepada kaum muslimin secara umum. Tentunya setiap orang yang merasa memiliki iman dalam hatinya akan menjawab “Iya” untuk pertanyaan ini. Hal ini setidak-tidaknya sudah diwakilkan ketika kita bersyahadat mengenai “Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah”
2. Pertanyaan kedua, apakah Tauhidmu berdasarkan ilmu?
Menjawab pertanyaan kedua ini tidak semudah menjawab pertanyaan yang pertama. Ketika seseorang ditanya mengenai apakah dia bertauhid? Barangkali dia akan menjawab “Iya”, namun apabila pertanyaannya berubah, apakah Tauhidnya itu dibangun atas dasar ilmu? Maka tidak setiap orang bisa menjawabnya pertanyaan ini.
Hal ini sebagaimana dalam QS. Az-Zumar ayat 9;
… هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ …
“… Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?….”
3. Pertanyaan ketiga, apakah Tauhidmu yang berdasarkan ilmu itu membentuk cara pandangmu terhadap segala sesuatu hal?
Pada tahap ini, beliau mempertanyakan, apakah orang yang mengaku bahwa konsep Tauhid dalam dirinya yang dibangun atas pondasi ilmu itu mempengaruhi sudut pandang dan perbuatannya terhadap segala sesuatu?
Artinya tingkatan tertinggi dari tahap ini adalah ketika Tauhid yang dibangun atas dasar ilmu itu kemudian memberikan pengaruh kepada cara pandang dan perbuatannya sehari-hari. Atau dalam pemaknaan yang lain adalah ketika Tauhid ini menjadi sebuah dasar worldview, maka segala sesuatu hal akan dinilai dari timbangan Akidah Tauhid untuk mengetahui realitas hakikat kebenaran yang tidak hanya dinilai oleh indra empiris semata.
Hal ini kemudian digambarkan oleh salah satu cendikiawan muslim Indonesia, Hamid Fahmy Zarkasyi[2] dalam bukunya “Minhaj” memberikan gambaran realita mengenai begitu fundamentalnya pandangan ini untuk menilai sesuatu sampai pada tahap aspek metafisik di belakangnya, serta menerima adanya satu nilai yang final bersandar kepada wahyu.
Beliau menjelaskan cara pandang itu sederhananya seperti ketika seseorang Mukmin melihat daging kambing, ia akan melihat dari dua sisi; pertama sisi benda daging itu dan kedua status kehalalan daging tersebut yang bersifat metafisik. Orang non-Muslim tidak melihat halal-haram daging itu, namun yang dilihat hanyalah bagaimana daging itu dimasak dan disajikan.
Berawal dari hal sederhana ini, maka worldview berasaskan pada konsep Tauhid ini harus diaplikasikan secara holistik dalam kehidupan seorang yang beriman, baik saat dirinya melihat uang, tanah, rumah, pekerjaan, bahkan dirinya sebagai manusia harus dilihat dengan cara pandang ini untuk menemukan realitas makna akan esensi sesuatu yang tidak hanya dilihat oleh empiris semata.
Di samping itu, kajian mengenai worldview ini menjadi semakin penting karena beberapa alasan:
Pertama, berbagai identitas melebur tanpa batasan yang jelas di era globalisasi ini, maka suatu bangsa atau peradaban tidak lagi dapat diukur berdasarkan tradisi, nilai-nilai sosial, atau gaya hidup. Tolok ukur yang dapat mengatasi hilangnya atau leburnya identitas itu adalah melalui worldview.
Kedua, dengan teori worldview, persamaan dan perbedaan antara Islam dengan peradaban lain dapat dibedakan secara konseptual ketimbang ideologis.
Ketiga, dengan menyadari perbedaan worldview antar peradaban, maka benturan peradaban (clash of civillization) itu dapat direduksi menjadi kesadaran akan adanya pluralitas peradaban yang saling menghormati tanpa harus menganut doktrin pluralisme, multikulturalisme, dan relativisme di dalamnya.
Dari berbagai pembahasan diatas, untuk lebih menegaskannya, maka kita bisa kembalikan kepada esensi worldview yang dijelaskan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam bukunya “Prolegomena to the Metaphysics of Islam” bahwa worldview Islam itu bukan sekedar pandangan akal manusia terhadap dunia fisik atau keterlibatan manusia di dalamnya dari segi historis, sosial, politik, dan kultural semata. Tapi mencakup aspek dunia dan akhirat, di mana aspek dunia harus terkait secara erat dan mendalam dengan aspek akhirat, sedangkan aspek akhirat harus di letakkan sebagai aspek final.
Dengan demikian dapat kita ketahui mengenai begitu fundamentalnya asas Tauhid dalam sebuah worldview. Visi untuk menyemaikan peradaban Islam akan terwujud ketika worldview ini telah diaplikasikan secara holistik dalam tataran kehidupan umat Islam di dunia, terkhusus di Indonesia.