moderat
Hamid Corner

Islam Moderat dan Wasathiyyatul Islam

Oleh: Krisna Wijaya

Sebuah Refleksi #1

Berbeda dari konsep moderat yang ditawarkan oleh Barat, Islam tidak membutuhkan konsep moderat yang mereka tawarkan karena Islam hadir di muka bumi ini sudah membawa konsep wasathiyyahnya sendiri

Kamis, 20 Januari 2021, Center for Islamic and Occidental Studies (CIOS) Universitas Darussalam Gontor mengadakan acara Special Lecture dengan mengangkat tema “Wasathiyah dan Moderasi Beragama” yang dibersamai langsung oleh Rektor Universitas Darussalam Gontor, Prof. Dr. K.H. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.A.Ed., M.Phil.

 

Dalam kesempatan kali ini, tema Wasathiyah dan Moderasi Beragama kembali diangkat karena menjadi salah satu isu nasional yang sedang hangat di tanah air. Beliau menegaskan bahwa tantangan pemikiran saat ini tidak hanya berbicara dalam ranah teoritis semata, namun kini telah bertransformasi ke dalam ranah yang lebih bersikap praktis.

 

Pada tahun 2004 misalnya, kita masih berbicara teori seputar feminisme, kesetaraan gender, dll. Namun saat ini telah berganti wajah menjadi praktik LGBT. Dahulu kita masih berbicara mengenai  pluralisme yang ditinjau dari pembagiannya secara teologis maupun sosiologis dalam ranah kajian akademik, namun sekarang sudah berbentuk praktik sholawatan di Gereja, berdoa bersama seluruh agama, dll.

 

Dari gejala-gejala di atas, beliau menyampaikan bahwa saat ini ada sebuah istilah yang diperkenalkan oleh masyarakat Barat kepada dunia, terkhusus umat Islam. Istilah yang berusaha mereka kenalkan sekaligus hegemonikan kepada dunia ini adalah isu mengenai konsep moderat dalam beragama.

 

Isu inilah yang kemudian bergulir menjadi sebuah isu nasional dan menjadi fokus perhatian berbagai kalangan di tanah air kita, terkhusus oleh pemerintah Republik Indonesia. Pasalnya, pada bulan September 2021 lalu, pemerintah menetapkan bahwa anggaran program Moderasi Beragama untuk tahun 2022 adalah sebesar RP 3,2 Triliun dari yang awalnya hanya sebesar 400 Miliar.

 

Hal ini disampaikan oleh Ketua Komisi VIII DPR RI, Yandri Susanto, pada acara Malam Peluncuran Aksi Moderasi Beragama yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia, Rabu (22/9/2021) malam. Jumlah ini menunjukkan bahwa anggaran program moderasi beragama tahun 2022 bila dibandingkan dengan tahun 2021 adalah naik sebesar delapan kali lipat.

 

Jumlah akomodasi dana sebesar ini membuktikan bahwa program moderasi beragama di negara ini merupakan program yang sangat penting hingga masuk ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

 

 

Mendudukkan Sebuah Makna

Pada kesempatan ini, beliau memulai dengan menegaskan arti kata moderat terlebih dahulu. Mendudukkan makna moderat ini menjadi penting karena saat ini kita sedang berada di zaman di mana “makna” itu sedang diperebutkan pemaknaannya. Artinya, otoritas dalam membentuk suatu makna itu bisa dilakukan oleh siapa saja asalkan dia memiliki sebuah kuasa untuk melakukannya.

 

Kita juga harus mengingat ketika makna suatu kata berganti dan berubah dari makna aslinya, maka boleh jadi karena adanya intrusi pandangan hidup asing (intrusion of worldview) yang berusaha menghegemoni pandangan yang dituju. Dapat juga disebabkan oleh pergeseran nilai budaya pemegang makna itu sendiri.

 

Oleh karena itu, beliau memulai dari mendudukan makna kata moderat terlebih dahulu karena setiap kata mengandung makna, setiap makna mengandung konsep, dan setiap konsep dihasilkan oleh sebuah worldview tertentu. Worldview inilah yang kemudian menjadi asas fundamental dalam pembangunan suatu peradaban.

 

Kembali kepada makna moderat, lebih parahnya lagi, kata moderat yang mereka ciptakan ini kemudian mereka maknai sesuai dengan pemaknaan yang juga mereka standarisasi sendiri.

 

Setelah menciptakan maknanya, mereka dengan sifat merasa superioritasnya menegaskan bahwa apabila seseorang ingin dikatakan bersikap moderat, maka dia harus melakukan perbuatan yang menurut masyarakat Barat merupakan bentuk praktik sesungguhnya dari konsep moderat tersebut.

 

Rasa-rasanya konsep moderat yang Barat sosialisasikan kepada dunia ini memiliki corak hegemoni di dalamnya. Teori hegemoni yang dicetuskan oleh Gramsci ini bermaka suatu kekuasaan atau dominasi nilai-nilai kehidupan, prinsip-prinsip religius dan politik, hubungan-hubungan sosial, makna intelektual, moral, dan kebudayaan kelompok yang dilakukan oleh subjek yang berkuasa objek yang tidak/kurang memiliki kekuasaan. Subjek yang menempati posisi superioritas di sini dapat kita pahami sebagai “Peradaban Barat”.

 

“Kalau Anda ingin menjadi moderat maka Anda harus mengikuti praktik konsep moderat yang dikenalkan oleh masyarakat Barat,” Tutur Prof. Hamid dalam acara Special Lecture. Hal ini tentu menunjukkan kepada kita tentang betapa superioritasnya kekuasaan peradaban Barat saat ini.

 

Di samping itu, Barat juga berusaha memberi tahu bahwa timbangan benar atau salahnya dalam bersikap moderat akan ditentukan oleh mereka. Hal inilah yang memunculkan kemungkinan terjadinya suatu hegemoni yang kemudian disusul dengan proses dekonstruksi di dalamnya. Konsep moderat yang belum lama ini hadir berusaha mendominasi dan menyingkirkan konsep wasathiyyah yang telah Islam hadirkan 14 abad lamanya.

 

Bukankan konsep moderat yang Barat tawarkan baru ada di masa Postmodern belum lama ini? Bukankah konsep wasathiyyah dalam Islam telah lebih dahulu hadir di dunia ini 1400 tahun yang lalu dan telah memberikan bukti tentang betapa adilnya konsep wasathiyyah Islam ketika dihadapkan pada kondisi masyarakat Arab yang begitu plural kala itu ? Berbeda dengan konsep moderat yang keberadaannya justru memunculkan potensi terbentuknya masalah-masalah yang baru yang jauh lebih besar daripada keberadaan konsep itu sendiri.

 

Oleh karena itu, memahami dan mendudukkan perbedaan konsep antara Islam moderat dan wasathiyatul Islam merupakan sebuah keharusan agar kita tidak salah dalam bersikap moderat yang sesuai dengan nilai-nilai keislaman tanpa mengusung konsep relativitas atau bahkan pluralisme kebenaran di dalamnya.

 

Bersambung …

 

 

Baca Juga wibiart

Researcher at Centre for Islamic Education and Contemporary Studies (CIECS)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *