Islam Moderat dan Wasathiyyatul Islam #2
Oleh: Krisna Wijaya
Mendudukkan Makna Moderat
Memahami dan mendudukkan perbedaan konsep antara Islam moderat dan wasathiyatul Islam merupakan sebuah keharusan agar kita tidak salah dalam bersikap moderat yang sesuai dengan nilai-nilai keislaman tanpa mengusung konsep relativitas atau bahkan pluralisme kebenaran di dalamnya.
Kaitannya dengan konteks keindonesiaan, sejumlah buku pedoman moderasi beragama pun telah dikeluarkan oleh pemerintah. Buku Moderasi Beragama yang disusun pada masa Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin pada tanggal 8 Oktober 2019 dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas pada 22 September 2021 misalnya.
Lebih jelasnya, makna moderat dalam buku “Moderasi Beragama” yang diterbitkan oleh Kemenag RI yang diberi prolog oleh Lukman Hakim Saifudin misalnya. Kemenag berusaha menjelaskan bahwa, “Moderat dalam beragama berarti peraya diri dengan esensi ajaran agama yang dipeluknya, yang mengajarkan prinsip adil dan berimbang, tetapi berbagi kebenaran sejauh menyangkut tafsir agama.” (lihat hal. 14 buku Moderasi Beragama).
Kalimat “tetapi berbagi kebenaran” ini tentu menimbulkan kerancuan dan bias makna di dalamnya. Kita akan bertanya-tanya, apa makna berbagi kebenaran dalam buku moderasi beragama karya Kemenag ini? Oleh karena itu, untuk menguraikan masalah ini, kita perlu menguraikan makna moderasi beragama yang sesuai dengan nilai-nilai worldviw Islam.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata moderat dapat dimaknai sebagai pengurangan kekerasan dan penghindaran terhadap sifat ekstrim akan suatu hal tertentu. Apabila dikatakan, “Orang itu bersikap moderat”, maka kalimat itu mengandung makna bahwa orang itu bersikap wajar, biasa-biasa saja, dan tidak ekstrim.
Selanjutnya, apabila ditinjau secara studi linguistik bahasa Inggris, kata moderation sering digunakan dalam pengertian average (rata-rata), core (inti), standard (baku), atau pun non-aligned (tidak berpihak). Kata tidak berpihak ini tentu merupakan kata padanan yang menarik untuk kemudian dipertanyakan maksud dan kejelasan lanjutannya.
Prof. Hamid lantas mempertanyakan, bagaimana bila dihadapkan dengan sebuah kebenaran? Apakah tetap tidak berpihak? Bila seseorang yang dihadapkan dengan sebuah kebenaran (Islam) dan dia tidak berpihak dengannya, maka dia sudah teracuni pikirannya dengan paham relativisme.
Bagi mereka yang membenarkan teori relativisme yang berujung pada pandangan pluralisme kebenaran agama, mereka berpendapat bahwa moderasi agama harus dipahami sebagai sikap agama yang seimbang antara pengamalan agama sendiri (eksklusif) dan penghormatan kepada praktik beragama orang lain yang berbeda keyakinan (inklusif).
Kaum pro-pluralisme seakan-akan mengajak, apabila ingin dianggap moderat, maka kita harus merespon tantangan wacana perbedaan agama-agama dengan kacamata inklusif dan pluralis. Artinya, kita harus meyakini bahwa tidak ada sebuah agama yang memegang kebenaran mutlak dalam ajarannya.
Cara pandang ini tentu sangat berbahaya bila dimaknai demikian dan juga dipraktikkan demikian dalam keyakinan beragama kita. Di samping itu, moderasi beragama juga bisa dipahami sebagai sebuah cara pandang, sikap, dan perilaku untuk selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak adil, dan tidak ekstrim dalam beragama.
Kata “adil” dalam pengertian KBBI dapat dimaknai sebagi suatu sikap yang tidak berat sebelah/tidak memihak, sikap yang berpihak kepada yang benar/berpegang kepada kebenaran, ataupun tidak sewenang-wenang.
Kata tidak berpihak yang dijelaskan oleh KBBI-pun pada akhirnya juga menimbulkan pertanyaan, bagaimana bila dihadapkan dengan sebuah kebenaran? Apakah akan tetap bersikap netral dengan tidak memihaknya?
Di samping itu, Makna “berpihak kepada yang benar” pun juga menjadi sesuatu yang ambigu, kebenaran seperti apakah yang harus dipihak di sini?
Dari sedikit pemaknaan di atas, kita harus mulai mempertanyakan sebagai seorang muslim yang cerdas mengenai apa makna moderasi beragama yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam dengan tanpa mengadopsi konsep relativisme bahkan sampai dengan pluralisme kebenaran di dalamnya?
Untuk menjawab hal itu, Prof. Hamid menjelaskan berbagai macam makna moderat dari berbagai sudut pandang yang berbeda-beda dalam pemaknaannya.
Moderat Anti Syariah
Dari berbagai sudut pandang dalam memahami makna moderat, ada juga yang beranggapan bahwa syariah – dengan semua aturan yang Allah turunkan kepada hamba-Nya (umat Islam), baik terkait akidah, ibadah, muamalah, adab, maupun akhlak, termasuk di dalamnya ajaran yang bertentangan dengan kebebasan (kebebasan apa yang mereka maksud? Apakah kebebasan dalam arti melepaskan diri dari belenggu agama? Yang berujung kepada sekulerisasi? Atau apa?) dan kesetaraan (kesetaraan yang diperdebatkan pun juga tidak jelas, apakah kesetartaan yang mereka maksud adalah penyamaan hak 50:50 antara laki-laki dengan perempuan? Atau yang mana?) serta memberi hukuman yang sadis dengan puncak mengajarkan jihad berperang – tidaklah moderat.
Maka dari itu, tidak ada satupun yang membela syariah (menurut mereka) bisa dianggap sebagai moderat karena bertentangan dengan kebebasan, kesetaraan, dan berpotensi kepada jihad peperangan dalam kacamata mereka.
Bersambung …
baca juga wibiart.com
You May Also Like

BEASISWA PENDIDIKAN BAZNAS KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN TAHUN 2024
June 9, 2024
Goresan Lisan Nasihat Peradaban: Al-Ustadz Dr. Setiawan Bin Lahuri, M.A.
March 26, 2022