Islam Moderat dan Wasathiyyatul Islam #3
Oleh: Krisna Wijaya
Mendudukkan Makna Moderat #2
Untuk menjawab permasalahan mengenai moderasi beragama, Prof. Hamid menjelaskan berbagai macam makna moderat dari berbagai sudut pandang yang berbeda-beda dalam pemaknaannya.
Moderat ala Liberal
Kaum liberal dalam memaknai konsep moderat juga memiliki versinya tersendiri. Aspek moderat yang mereka tawarkan memiliki orientasi penyesatan generasi muda Islam untuk memahami Islam secara kafah.
Moderat yang mereka pahami di sini adalah sebuah sikap dan pandangan yang terbuka (inklusif) yang dapat menerima pemikiran Barat yang semakin deras diaruskan kepada dunia.
Sikap moderat ini memiliki kecenderungan untuk mengambil jalan tengah di mana hal ini merupakan cara musuh-musuh Islam, termasuk orang-orang liberal dalam menawarkan ide yang mereka bawa agar umat Islam menerima ide yang mereka bawakan, seperti feminisme, pluralisme, sekulerisme, dll.
Beragama secara moderat berarti beragama dengan cara menyesuaikan diri dengan kebudayaan setempat. Hal inilah yang kemudian berjung kepada pelenyapan konsep “truth claim” dalam ajaran sebuah agama.
Tidak ada lagi konsep kebenaran mutlak yang dimiliki oleh agama tertentu saja. Dengan hilangnya “truth claim” inilah, umat Islam kemudian kehilangan identitas dalam mempraktikkan moderasi beragama yang sesuai dengan ajaran dan nilai-nilai dalam Islam.
Moderat ala HAM
Pembahasan mengenai HAM ini bukanlah pembahasan yang mudah untuk diuraikan. Pasalnya, dunia saat ini sedang dihadapkan dengan masalah imperialisme model baru. Imperalisme model baru ini terwujudkan dalam bentuk penerapan HAM Barat secara universal di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Hal ini pernah ditegaskan oleh Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Qurrata Ayuni, S.H., MCDR, dalam sebuah sesi diskusi INSISTS Satruday Forum (ISF).
Beliau memulainya dengan menegaskan perkembangan konsep HAM di Barat. Berpijak pada pendapat Karel Vasak, ia membagi perkembangan HAM ke dalam tiga generasi.
Generasi pertama, merupakan perkembangan yang fokus mengenai masalah hak sipil dan politik. Beberapa hak yang menjadi fokus pembahasan pembahasan di antarannya adanya peradilan yang adil, kebebasan beragama, dll. yang pelaksanaannya lebih menghargai ketiadaan intervensi pemerintah (negative right)
Generasi kedua, merupakan perkembangan HAM dalam konteks ekonomi, sosial, dan budaya. Generasi ini berusaha memberikan kesetaraan dalam hal akses atas pekerjaan, kesehatan, sosial, dll.
Berbeda dengan generasi pertama, generasi kedua dalam hal pelaksanaannya lebih membutuhkan peran aktif pemerintah (positive right) di dalamnya. Adapun instrument hukum yang digunakan adalah International Convention of Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR).
Generasi ketiga, merupakan generasi yang dalam istilah Karel Vasak disebut sebagai generasi fraternity atau hak-hak solidaritas yang bisa juga disebut sebagai hak atas pembangunan (right to development). Generasi ini berusaha menghadirkan atau membangun hak-hak mengenai persamaan hak, hak untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan, hak menikmati hasil pembangunan, dll.
Karel Vasak dalam merumuskan periodisasi perkembangan HAM ini terinspirasi dari nilai-nilai yang lahir karena keberadaan Revolusi Perancis, yaitu, liberte, egalite, dan fraternite.
Qurrata Ayuni memberikan penegasan dalam sesi diskusi ini mengenai perbedaan konsep yang menjadi dasar terbangunnya HAM Barat dengan perumusan HAM yang ada dalam Undang-undang konstitusi Indonesia.
Salah satu point yang menjadi dasar pembeda diantara HAM Barat dengan HAM yang dirumuskan oleh para pemikir konstitusi Indonesia adalah adanya Pasal 28 J UUD 1945 yang memberikan sebuah klausul untuk memperbolehkan adanya pembatasan terhadap penerapan Hak Asasi Manusia.
Pasal ini merupakan kunci yang menunjukkan bahwa konsep kebebasan yang bersemayam dalam tubuh HAM yang ada dalam konstitusi Indonesia bukan merupakan kebebasan yang bersifat liberal – sebagaimana liberalnya konsep kebebasan di Barat – karena bersifat dapat dibatasi.
Ada setidaknya empat komponen yang menjadi bahan pertimbangan dalam rasionalisasi pembatasan HAM menurut konstitusi yakni; pertimbangan moral, agama, keagamaan dan ketertiban umum.
Dengan perbedaan konsep dasar inilah,”Kita (bangsa Indonesia-red) mestinya juga berani mengajukan konsep kita sendiri,” terang alumnus James Cook University ini.
Pernyataan Ayuni ini kemudian diperkuat dengan pendapat Prof. Hamid yang pernah menyampaikan pengalamannya dalam membahas permasalahan ini di sebuah forum symposium yang diadakan oleh Japan International Institute of International Affairs (JIIA) di Tokyo.
Acara ini khusus membahas dan mengupas mengenai fenomena bergeliatnya politik umat Islam di Asia, pasca-peristiwa dramatis 11 September 2001.
Untuk merespon hal itulah, JIIA mengundang berbagai tokoh umat Islam perwakilan dari berbagai negara untuk berbagi sudut pandang dan pendapat yang kemudian bersama menentukan sikap dalam merespon peristiwa itu.
Berbagai perwakilan hadir di acara symposium ini, dari Negara Tunis ada Prof. Abdelmajid Bedoui, dari Turki ada Yasar Yakis, dari Inggris ada Dr. Azzam Tamimi, dari Amerika diwakili Dr. Angel Rabasa, dll., dan termasuk dari Indonesia adalah Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi sebagai direktur INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization) yang mewakili Indonesia.