Hamid Corner

Islam Moderat dan Wasathiyyatul Islam #4

Oleh: Krisna Wijaya

Mendudukkan Makna Moderat #3

 

Pada tanggal 15-17 Oktober 2008, sebuah forum symposium yang membahas mengenai permasalahan Islam moderat pasca-peristiwa dramatis 11 September 2001 oleh Japan International Institute of International Affairs (JIIA) di Tokyo. Acara ini khusus membahas dan mengupas mengenai fenomena bergeliatnya politik umat Islam di Asia, pasca-peristiwa dramatis 11 September 2001.

Berbagai perwakilan hadir di acara symposium ini, dari Negara Tunis ada Prof. Abdelmajid Bedoui, dari Turki ada Yasar Yakis, dari Inggris ada Dr. Azzam Tamimi, dari Amerika diwakili Dr. Angel Rabasa, dll., dan termasuk dari Indonesia adalah Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi sebagai direktur INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization) yang mewakili Indonesia.

 

Dalam kesempatan ini, Prof. Hamid menjelaskan pengalamannya berdialog dan bertukar sudut pandangan dalam memaknai arti demokrasi, politik Islam, terkhusus mengenai makna moderasi beragama.

 

Salah satu tokoh yang menarik perhatian Prof. Hamid dalam acara symposium ini adalah Angel Rabasa. Ia adalah salah seorang peneliti pada Rand Cooporation, yaitu NGO yang memberikan saran dan masukan ke Security Council Amerika Serikat (AS) bagaimana menumpas fundamentalisme dalam Islam pasca kejadian 11 September.

 

Ketika Prof. Hamid selesai memaparkan artikelnya, Rabasa memuji paparan artikelnya dengan mengatakan, “I read your articel, it’s very systematic and rational, but I disagree with the conclusion,” katanya di sela-seka waktu breakfast di Hotel Okura Tokyo.

 

Pada sesi setelahnya, Rabasa menjelaskan makna moderat dalam definisnya yang khas akan corak Barat. Menurutnya, moderat adalah gerakan yang tidak berusaha untuk merekonstruksi masyarakat agar sejalan dengan idealisme masa lalu yang diidamkan.

 

Moderat juga tidak menindas suatu sistem kepercayaan yang berbeda atau merasionalkan penggunaan kekerasan terhadap mereka yang dianggap kafir. Yang lebih penting lagi, menurut Rabasa, moderat adalah mereka yang mendukung demokrasi, persamaan gender, HAM, kebebasan beragama, humanisme, menghormati perbedaan, menerima sumber hukum yang tidak bersumber dari agama atau mazhab tertentu, dan lain sebagainya.

 

Definisi yang dikemukakan oleh Rabasa ini segera mendapat sanggahan dan karena itu Prof. Keiko Sakain dari Dapartement of Foreign Studies, Tokyo University, mempertanyakan siapa sebenarnya yang berhak menentukan definisi? Nampaknya ia melihat ada perebutan definisi moderat antara Islam dan Barat.

 

Definisi moderat yang disampaikan oleh Rabasa ini seakan-akan mendorong umat beragama (termasuk umat Islam) untuk menerima apapun yang dinilai baik oleh peradaban Barat. Dengan kata lain, bila umat Islam tidak menjalankan praktik moderasi beragama sebagaimana yang dikemukakan oleh Rabasa, maka ia dinilai tidak moderat.

Moderat ala Pluralis

Setelah menjelakan mengenai bagaimanakah moderat dalam pandangan HAM Barat, Prof. Hamid kemudian berusaha menjelaskan mengenai pandangan kaum pluralisme agama dalam memandang dan memaknai moderasi beragama.

 

Secara umum, kaum pro pluralisme agama beranggapan bahwa muslim moderat adalah mereka yang menerima ide evolusi, yang menolak literalisme dalam memahami kitab suci, menolak monopoli dalam memahami Islam, dan sanggup mencari persamaan dengan agama lain yang kemudian berujung kepada tidak menolak kebenaran agama lainnya.

 

Definisi yang mereka kenalkan ini tentunya menimulkan berbagai permasalahan dalam segi pemaknaan di dalamnya. “Tidak menolak kebenaran agama lainnya” pun artinya adalah mengakui kebenaran agama selain agama Islam.

 

Hal ini tentunya bertolak belakang dengan makna yang terkandung dalam surat Ali Imran ayat 19 yang berbunyi:

 

إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلْإِسْلَٰمُ ۗ وَمَا ٱخْتَلَفَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ إِلَّا مِنۢ بَعْدِ مَا جَآءَهُمُ ٱلْعِلْمُ بَغْيًۢا بَيْنَهُمْ ۗ وَمَن يَكْفُرْ بِـَٔايَٰتِ ٱللَّهِ فَإِنَّ ٱللَّهَ سَرِيعُ ٱلْحِسَابِ

Terjemah Arti: Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.

 

 

Tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah / Markaz Ta’dzhim al-Qur’an di bawah pengawasan Syaikh Prof. Dr. Imad Zuhair Hafidz, professor fakultas al-Qur’an Universitas Islam Madinah menjelaskan makna “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam” adalah Allah mengabarkan tidak ada agama yang Dia terima dari seseorang selain agama Islam, yaitu dengan mengikuti para rasul yang diutus Allah pada setiap zaman yang ditutup dengan pengutusan Nabi Muhammad.

 

Ayat ini dengan jelas memberikan pernyataan dan penegasan bahwa tidak ada kebenaran yang sah dan diterima oleh Allah di luar agama Islam. Hal ini tentunya bertentangan dengan konsep dasar moderasi beragama yang diyakini oleh kaum pro pluralisme agama.

 

Sebenarnya, paham pluralisme agama lahir dari doktrin pluralisme. Di Barat, paham pluralisme memiliki akar yang dapat dilacak jauh ke belakang, tapi yang paling dominan adalah akar nihilisme dan relativisme Barat Postmodern

 

Di akhir, kita sudah sepatutnya kembali mengingat apa yang pernah disampaikan oleh Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) bahwa, “Orang yang menyatakan bahwa semua agama sama, sebenarnya dia sendiri tidak beragama”.

 

Bersambung …

 

 

 

Researcher at Centre for Islamic Education and Contemporary Studies (CIECS)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *