Hamid Corner

Islam Moderat dan Wasathiyyatul Islam #5

Oleh: Krisna Wijaya

Mendudukkan Makna Moderat #4

 

Kita kembali teringat akan perkataan yang disampaikan oleh Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) bahwa, “Orang yang menyatakan bahwa semua agama sama, sebenarnya dia sendiri tidak beragama”. Lantas, bagaimanakah moderat dari kaca mata seseorang yang tidak mempercayai agama atau bahkan kepada Tuhan?

 

Moderat ala Atheis

Dalam pembahasan ini, Porf. Hamid berusaha menjelaskan makna moderat dalam kaca mata seorang yang tidak percaya terhadap Tuhan. Mengutip pernyataan dari Ariel Cohen bahwa muslim moderat menurutnya adalah seseorang yang menghormat hak setiap orang untuk menafsirkan al-Qur’an, hak beribadah kepada Allah dengan cara yang mereka pilih sendiri sesuai keinginan mereka sendiri, serta hak untuk tidak beribadah dan hak untuk tidak beriman kepada Allah.

 

Point pertama yang perlu digaris bawahi dari pernyataan di atas adalah al-Qur’an merupakan sebuah kitab agama yang berhak ditafsirkan oleh siapapun, termasuk oleh orang yang tidak beriman sekalipun. Bahkan bila ditafsirkan oleh orientalis yang notabenenya seseorang yang paham akan bahasa arab sekalipun tetap tidak akan bisa memahami al-Qur’an dengan pemahaman yang sempurna.

 

Hal ini telah jelas jawaban, seperti dalam Qur’an surat Al-Hujurat Ayat 14;

 

 

 …وَلَمَّا يَدْخُلِ ٱلْإِيمَٰنُ فِى قُلُوبِكُمْ …

 

“ … karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu ….”

 

Mereka mempelajari al-Qur’an bukan untuk mencari petunjuk Allah, namun justru  dengan orientasi pembangkangan berusaha mencari kesalahan-kesalahan yang bisa dijadikan sebuah permasalahan.

 

Oleh karena itu, pengetahuan yang mereka pelajari tidak akan sempurna bila dicari dengan cara dan keadaan yang seperti itu. Kita akan kembali mengingat perkataan Imam Syafi’i rahimahullah yang pernah berkata,

 

 

شَكَوْت إلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي فَأَرْشَدَنِي إلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي وَأَخْبَرَنِي بِأَنَّ الْعِلْمَ نُورٌ وَنُورُ اللَّهِ لَا يُهْدَى لِعَاصِي

 

 

“ Aku pernah mengadukan keoada Waki’ tentang jeleknya hafalanku. Lalu beliau menunjukiku untuk meninggalkan maksiat. Beliau memberitahukan padaku bahwa ilmu adalah cahaya dan cahaya Allah tidaklah mungkin diberikan kepada ahli maksiat.”

 

Dari sini telah jelas bahwa bagaimana bisa cahaya Allah akan diberikan kepada seseorang yang bahkan tidak mempercayai eksistensi keberadaan cahaya petunjuk Allah (Atheis)?

 

Hal inilah yang menjadi rambu-rambu bahwa menafsirkan ayat-ayat Allah itu tidak bisa dilakukan oleh semua orang. Ada kualifikasi dan syarat-syarat tertentu untuk bisa dikatakan layak dalam menafsirkannya. Agar cahaya ilmu Allah dapat dipahami dengan sempurna. Karena cahaya ilmu Allah tidaklah mungkin diberikan kepada ahli maksiat yang bahkan sampai mengingkari keberadaan Sang Pencipta.

 

 

Point kedua yang harus digaris bawahi dari pernyataan Cohan adalah pernyataan muslim moderat adalah seseorang yang menghormati hak beribadah orang lain kepada Allah dengan cara yang mereka pilih sendiri sesuai keinginan mereka sendiri.

 

Pernyataan ini bila kita perhatikan seksama sebenarnya akan mengarah kepada corak pluralisme agama. Corak yang menuju pada sebuah kesimpulan bahwa semua agama dalam dalam satu kesatuan transenden yang sama. Ujung-ujungnya adalah praktik beragama yang meyakini bahwa semua agama itu benar di mata Tuhan dan setiap agama berhak menuju Tuhan dengan praktik beragamanya masing-masing.

 

Sebagaimana pemahaman moderat ala liberal, praktik moderat ala atheis memiliki kesamaan corak dalam peniadaan konsep kebenaran mutlak yang dimiliki oleh agama tertentu saja. Yaitu, tidak ada lagi “truth claim” pada agama tertentu dalam hal tata cara praktik beribadah kepada Tuhan.

 

Dengan hilangnya “truth claim” inilah, umat Islam kemudian kehilangan identitas dalam mempraktikkan moderasi beragama yang sesuai dengan ajaran dan nilai-nilai dalam Islam.

 

 

Point terakhir yang harus digaris bawahi dalam pernyataan Cohen adalah tentang pemaknaan muslim moderat adalah seseorang yang menghormati hak orang lain untuk tidak beribadah dan hak untuk tidak beriman kepada Allah sesuai kemauan mereka sendiri-sendiri.

 

Menghormati saja tanpa dibarengi dengan niat dan upaya untuk mendakwahkan agama Allah adalah sebuah kesalahan. Pernyataan ini tentu memerlukan penjelasan dan pemaknaan lebih lanjut agar tidak terjadi salah paham di antara kita.

 

Menghormati orang lain yang berbeda agama dengan kita dalam urusan ibadahnya – mereka mau beribadah ataupun tidak, taat atau tidak, dll. – itu sudah masuk pada ranah toleransi teologis. Sikap menghormati pun sebenarnya tidak tepat bila digunakan dalam kondisi seperti ini. Karena yang lebih cocok untuk menggantikan sikap menghormati adalah sikap membiarkannya saja.

 

Sebagaimana yang disampaikan oleh Prof. Hamid bahwa toleransi itu cukup membiarkan mereka tanpa ada penghormatan dalam ranah teologis. Tidak mengapa bila dihormati secara sosial sebagai manusia yang diberikan hak dalam memilih bebas agamanya, namun tidak bila masuk ke ranah teologis.

 

Kondisi di atas juga akan berbeda bila hal itu terjadi pada diri saudara seiman kita, maka sudah selayaknya untuk kita menjaganya dengan tetap mengingatkan untuk terus beribadah dengan sungguh-sungguh agar tidak lemah dalam beribadah ataupun sampai berujung kepada sikap tidak beriman kepada Allah.

Researcher at Centre for Islamic Education and Contemporary Studies (CIECS)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *