Refleksi Pengukuhan Sang Guru Besar: Selamat dan Rasa Senang Saja Tidak Cukup
Oleh: Krisna Wijaya
Catatan Pena Tentang Sang Guru
Pengukuhan ini telah menjadi kisah masa lalu bagi waktu kita saat ini. Oleh karena itu,
Jangan bangga dengan cerita masa lalu
Namun gelisahlah dengan keadaan masa depan
~ Anies Baswedan
PADA Kamis, 12 Februari 2022 adalah hari yang sakral bagi segenap civitas academica Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor. Pasalnya, hari ini merupakan hari pengukuhan guru besar Prof. Dr. K. H. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.A.Ed., M.Phil. sebagai guru besar dalam bidang Filsafat Islam.
Beliau merupakan sosok yang lebih dari layak untuk menerima gelar kehormatan ini. Rekam jejak perjuangan beliau sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Di usiannya yang tidaklah muda lagi, beliau masih sangat-sangat dibutuhkan peran dan kontribusinya dalam medan dakwah di tengah-tengah umat.
Pengukuhan ini selain menjadi momen yang membahagiakan, di sisi lain juga merupakan momen yang sakral. Dimensi kesakralan acara ini bukan hanya sebatas tentang mengucapkan selamat dan diakhri dengan sesi perfotoan semata, namun hal ini harus dibawa kepada pemaknaan dalam level ranah aspek metafisik di sebaliknya.
Kuyakin bahwa beliau tidaklah terlalu membutuhkan banyak ucapan selamat secara langsung ataupun melalui media sosial. Bahkan bisa jadi beliau memang tidak membutuhkan ucapan-ucapan itu. Semua rentetan acara itu hanyalah sebuah seremonial formalitas semata. Sebagaimana yang pernah beliau sampaikan dalam sebuah sesi mimbar intelektual setiap hari Jum’at bahwa, “Hidup itu sebenarnya penuh akan formalitas.”
Bukti lain bahwa beliau memang tidak ingin mendapat banyak pujian atau pernghormatan adalah ketika Prof. Muji Raharjo menyampaikan keluh kesahnya ketika idenya untuk membuat buku yang mengkisahkan mengenai sosok Prof. Hamid di mata murid, guru, maupun sahabat tidak direspon oleh beliau. Di sini kumenyimpulkan bahwa memang beliau tidaklah terlalu berminat akan pujian atau sebuah rasa penghormatan.
Lantas, apa esensi sebenarnya dari acara pengukuhan guru besar beliau? Sebagai seseorang yang masih harus banyak belajar sekaligus berkeinginan mewarisi visi dan cita-cita menyemaikan spirit Islamisasi dari beliau, kumelihat bahwa acara ini memiliki beberapa pesan tersirat di dalamnya. Beberapa pesan mendalam yang tidak bisa dimaknai secara empiris itu adalah sebagai berikut:
Pertama, kumerasa bahwa acara ini memberikan peringatan kepada umat Islam, terkhusus civitas academica UNIDA Gontor bahwa waktu kita bersama beliau adalah sangat-sangat terbatas. Hal ini diingatkan ketika Prof. Amal menyampaikan bahwa gelar guru besar yang diraih oleh Prof. Hamid tidaklah diraih dalam usia yang muda, namun di usia yang sudah tidak muda lagi.
Oleh karena itu, kita juga perlu merasa was-was akan kenyataan bahwa beliau tidak akan bisa membersamai perjuangan kita di dunia selamanya. Ada kalanya waktu perpisahan itu tiba. Oleh karena itu, selagi kesempatan bersua bersama beliau masih ada, maksimalkanlah kesempatan itu untuk menyerap ilmu sebanyak-banyaknya dari beliau.
Kedua, di samping berefleksi diri untuk memaksimalkan kesempatan dalam mengambil ilmu dari beliau, kumerasa bahwa acara ini merupakan sebuah kesempatan di mana beliau berusaha menebarkan benih spirit Islamisasi sebanyak mungkin kepada segenap civitas academica, terkhusus mahasiswa UNIDA Gontor.
Hal ini bukan tanpa sebab, anak-anak muda itu ketika masih duduk di bangku kuliah barangkali keberadaannya memang belum terlalu memberikan arti, namun siapa yang akan tahu kalau di 10 atau 20 tahun lagi, mereka akan menjadi apa dan berkontribusi apa kepada bangsa dan agama ini?
Walaupun saat ini mereka sering melakukan kesalahan karena minimnya pengalaman hidup yang mereka miliki, setidaknya kita harus kembali mengingat pesan penting dari Bapak Anies Baswedan bahwa, “Anak muda adalah seseorang yang minim akan pengalaman. Oleh karena itu, Ia tak menawarkan masa lalu, namun anak muda menawarkan masa depan.”
Oleh karena itu, pesan sekaligus harapan yang kutangkap dari acara ini adalah “Apapun kontribusimu di masa mendatang, entah terjun dalam bidang politik, akademik, masyarakat, dll., maka spirit Islamisasi itu harus tetap dijaga sekaligus disemaikan perjuangan nafasnya dalam sanubari kita masing-masing.
Ketiga, di akhir, ku menyadari ketika melihat senyum beliau bahwa bentuk apresiasi tertinggi yang bisa diberikan – dari seorang murid kepada sang guru – adalah dengan menggegam dan mewarisi spirit Islamisasi yang selalu beliau perjuangkan sampai saat ini. Di manapun kita berjuang, di manapun kita mengabdi, di manapun kita berkontribusi, spirit Islamisasi yang bernafaskan worldview Islam ini harus selalu disemaikan dalam setiap langkah perjuangan kita.
Sungguh, kupikir beliau lebih membutuhkan seseorang yang mewarisi spirit Islamisasi daripada banyak orang yang sebatas memberikan apresiasi tanpa ada kesungguhan dalam melanjutkan jejak perjuangan beliau. Karena satu orang yang mewarisi cita-cita itu lebih baik daripada seribu orang yang hanya memberikan apresiasi
— — — — —
Di antara hamparan ucapan bahagia dan selamat, kumelihat ada hal yang menarik di sana. Tepat di samping rumah beliau, sebuah papan ucapan dari INSISTS tersematkan rapi di penghujung jalan.
Bukti nyata medan dakwah beliau mempertahankan kebenaran. Beliau jugalah tokoh kunci yang menggoreskan motto INSISTS itu: Committed to the Truth (‘Setia pada Kebenaran’).
Akhir rasa
Rambutnya semakin memutih
Namun rasa-rasanya Ia tidak mengenal akan letih
Wajahnya tidaklah semuda sedia kala
Namun langkah jejak justru dititi semakin nyata
Ia tidak hanya memandang 2 sampai 3 tahun kedepan
Namun Ia memandang 2 sampai 3 abad jauh di masa depan
Berpetuah tidak hanya sebatas kosa kata semata tanpa makna
Namun tidaklah keluar dari lisannya kecuali ilmu di dalamnya
Sesekali tersenyum, namun berpetuah mesra nan tajam tentang peradaban
Sehat dan selalu dalam kebaikan Ustdzii tercinta …
Kuharap perasaan dan doa yang tertuangkan dalam tulisan ini dapat tersampaikan kepada beliau …