Ruang Opini

Mencari Wajah Pendidikan Islam #2

Oleh: Krisna Wijaya

Refleksi Singkat Kacamata Mahasiswa

Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi dalam sebuah sesi seminar kependidikan pernah menyampaikan bahwa jangan sampai pendidikan itu berorientasi untuk menghapus jejak keberadaan Tuhan dalam setiap ilmu pengetahuan yang diajarkan. 

Tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini kita telah memasuki era society 5.0. Era ini merupakan era yang cenderung berkiblat kepada peradaban Barat, sehingga dimensi agama akan luntur dengan sendirinya.[1] Hal ini bukan tanpa sebab, Barat sebagai kiblat perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) memandang agama sebagai sebuah hal yang tabu karena mereka trauma terhadap sejarah, khususnya yang berhubungan dengan dominasi Gereja (inkuisisi) di zaman pertengahan dulu.[2]   

 

Perkembangan IPTEK di era society ini apabila dibiarkan begitu saja tanpa ada rambu-rambu khusus dalam upaya meresponnya akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari. Karena jika hanya IPTEK yang diperhatikan, niscaya kehidupan manusia akan kering dan hampa dalam perjalanannya.[3] Kehampaan ini merupakan salah satu bagian dari permasalahan krisis spiritual yang terjadi pada masyarakat modern saat ini.[4]

 

Kaitannya mengenai dunia pendidikan, penulis melihat bahwa adanya sebuah permasalahan krisis spiritualitas yang diakibatkan karena dunia pendidikan yang dihadapkan dengan perkembangan IPTEK di era society 5.0 saat ini. Krisis ini kemudian akan berimbas kepada kualitas output peserta didiknya yang dihasilkannya.

 

Barangkali kualitas lulusan yang dihasilkkan masihlah menjadi lulusan yang kompetitif, unggul, dan dapat bersaing di dunia kerja, namun di sisi lain sangat memungkinkan untuk memiliki akhlak dan adab yang buruk kepada sesama atau bahkan sampai melanggar norma agama sekalipun.

 

Krisis spiritual ini merupakan krisis terbesar yang terjadi di dunia modern saat ini, termasuk terjadi juga di negara Indonesia.[5] Penyebab krisis ini adalah perkembangan ilmu pengetahuan yang tidak diimbangi dengan perkembangan kualitas spiritualitas manusia di dalamnya.

 

Oleh karena itu, kita akan menemukan berbagai permasalahan kompleks yang menimpa masyarakat modern saat ini, terkhusus generasi yang hidup di saat teknologi telah berkembang dengan pesat (generasi alfa) yang disebabkan karena lemahnya nilai spiritualitas dalam tubuh pendidikan Indonesia.[6]

 

Hal ini perlu diperhatikan dengan seksama karena salah satu upaya memperhatikan masa depan suatu bangsa adalah dengan memperhatikan kualitas pendidikan di dalamnya. Sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Nelson Mandela bahwa, “Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang bisa digunakan untuk mengubah dunia.”[7]

 

Oleh karena itu, Indonesia sebagai salah satu negara yang juga menempatkan pendidikan sebagai sebuah sektor terpenting dalam upaya pembangunan bangsa, seharusnya tidak hanya memperhatikan tentang cara memanfaatkan perkembangan IPTEK untuk memajukan dunia pendidikan semata, namun juga perlu memperhatikan bagaimanakah kualitas dimensi spiritualitas pendidikan di tengah perkembangan IPTEK saat ini.

 

Permasalahan krisis spiritualitas dunia pendidikan di era disrupsi ini pada akhirnya termanifestasikan dalam bentuk tawuran antar sekolah,[8] perkelahian guru dengan murid,[9] siswi berzina dan melahirkan di sekolah,[10] pelajar berzina di toilet masjid,[11] dll.

 

Semua permasalahan ini merupakan sedikit gambaran mengenai permasalahan krisis spiritualitas yang terjadi dalam diri pelajar-pelajar di Indonesia akibat dari rendahnya kualitas aspek spiritualitas dalam bangunan pendidikan Indonesia.

 

Puncak dari permasalahan itu sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Prof. Hamid dalam sebuah sesi seminar, beliau menyampaikan bahwa jangan sampai pendidikan itu berorientasi menghapus jejak keberadaan Tuhan dalam setiap ilmu pengetahuan yang diajarkan. Corak seperti ini tentu sudah jelas arah dan tujuannya adalah berorientasi pada corak peradaban Barat yang sekuler menafikan agama.  

 

Berangkat dari latar belakang di atas, setidaknya terdapat satu pertanyaan dasar yang bisa menjadi dasar pembahasan permasalahan ini. Pertanyaan itu adalah pendidikan seperti apakah yang harus diajarkan dalam rangka merespon permasalahan itu?

 

Dari pertanyaan inilah, penulis menganalisa bahwa dibutuhkannya konsep pendidikan Islam yang di satu sisi dapat melihat dengan kritis bahwa perkembangan sains dan IPTEK modern ini memiliki orientasi menghapus jejak Tuhan di dalamnya,[12] di sisi yang lain pendidikan Islam yang mampu mengintegrasikan perkembangan sains dan IPTEK modern dengan ilmu-ilmu islam,[13] dan di sisi yang lainnya juga pendidikan Islam yang bernafaskan islamisasi berlandaskan paradigma Islam dalam upaya menangkal krisis spiritualitas yang terjadi saat ini.[14]

 

Oleh karena itu, dalam berhadapan dengan perkembangan sains dan IPTEK modern, pendidikan Islam di samping menerima perkembangan teknologi sebagai bentuk bantuan besar terhadap perkembangan pendidikan Islam juga harus melakukan proses sakralisasi sebagaimana yang digagas oleh Nasr.

 

Hal ini perlu ditekankan agar eksistensi keberadaan Tuhan dalam keteraturan alam ini tidak terhapuskan akibat dari perkembangan IPTEK yang ada. Di samping sakralisasi, proses integrasi ilmu juga harus diperhatikan dalam proses pendidikan Islam.

 

Hal ini menjadi sebuah keharusan karena al-Faruqi memandang bahwa solusi permasalahan dualisme dalam pendidikan adalah dengan melakukan islamisasi ilmu sains berbentuk intergasi ilmu. Sistem pendidikan harus dibenahi dan dualisme sistem pendidikan harus dihapuskan dan disatukan dengan jiwa Islam dan berfungsi sebagai bagian yang integral dari paradigmanya.

 

Konsep terakhir yang harus ada sekaligus menjadi dasar fundamental pendidikan Islam adalah pendidikan Islam yang bernafaskan islamisasi ilmu. Konsep islamisasi ini dilakukan dengan berlandaskan paradigma Islam.

 

Maka dari itu, dalam hal ini setidaknya terdapat dua langkah yang bisa dilakukan untuk memulai proses islamisasi. Pertama ialah melakukan proses pemisahan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat.

 

Kedua, memasukkan elemen-elemen Islam dan konsep-konsep kunci ke dalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan. Dengan melakukan islamisasi ini akan membuat umat Islam terbebaskan dari belenggu-belenggu  yang bertentangan dengan norma dan ajaran Islam. Tujuannya adalah wujudnya keharmonisan dan kedamaian dalam dirinya (fitrah).

 

Konsep-konsep di atas tentunya membutuhkan waktu dan upaya yang lebih dalam menguraikan satu demi satu, namun setidaknya konsep-konsep di atas apabila benar-benar dimanifestasikan dalam tubuh pendidikan Islam di era modern ini akan memberikan dampak yang besar dalam mengahadapi permasalahan krisis sipirtualitas yang terjadi di era modern sekarang ini.

 

Di akhir, kita akan mendapati bahwa pendidikan Islam bukan hanya akan melahirkan manusia-manusia yang memahami fitrah penciptaannya semata, namun juga bisa memahami perkembangan sains dan IPTEK modern sesuai dengan tempat dan kedudukannya tanpa harus menghilangkan eksistensi Tuhan sebagai dasar dari awal mula penciptaan dan perkembangan yang ada.

 

Oleh karena itu, kita harus kembali mengingat akan nasihat Prof. B. J. Habibie mengenai integrasi Iman Takwa (IMTAK) dengan Ilmu Pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dalam membangun sebuah peradaban.[15]

 

 

 

 

[1] Muhamad Basyrul Muvid, dkk., Eksistensi Perguruan Tinggi di Era Society 5.0: Peran dan Tantangan, (Surabaya: Global Aksara Pres, 2021), h. 182.

[2] Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h. 29.

[3] Asep Abdurrohman, Pemikiran Pendidikan Muhammad Tholchah Hasan, (Serang: Penerbit A-Empat, 2021), h. 264.

[4] Aminol Rosid Abdullah, Pengantar Studi Teosofis, (Malang: CV. Literasi Nusantara Abadi, 2021), h. 176.

[5] Murtadha Murhahhari, Falsafah Akhlak, (Yogyakarta: RausyanFikr, 2014), h. 254.

[6] Dedi Kuswandi, dkk., Kesiapan dan Keterlibatan Pembelajaran dalam Kurikulum Pembelajaran Online, (Jawa Timur: Academia Publication, 2021), h. 21.

[7] Hamid Darmadi, Apa Mengapa Bagaimana: Pembelajaran Pendidikan Moral Pancasila dan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, (Jakarta: An1mage, 2020), h. 94.

[8] Berita diakses dari https://www.kompasiana.com/alexander24464/61e3972780a65a52cf519d32/ tawur an-antar- sekolah-di-tangerang-selatan-menimbulkan-korban pada 11/02/2022.

[9] Berita diakses dari https://www.merdeka.com/trending/guru-dan- murid-berantem-gara-gara-hp- disita .  html pada 11/02/2022.

[10] Berita diakses dari https://lampung.suara.com/read/2021/10/27/074500/viral-siswi-smp-melahirkan-di-wc-sekolah-saat-jam-pelajaran?page=all pada 11/02/2022.

[11] Berita diakses dari https://sumsel.tribunnews.com/2020/08/19/aksi-dua-pelajar-berzina-di-toilet-masjid-dipergoki-warga-mirisnya-si-wanita-masih-kecil pada 11/02/2022.

[12] Konsep ini merupakan penjabaran dari Konsep Islamisasi sains yang dikembangkan pertama kali oleh Seyyed Hossein Nasr. Nasr melihat bahwa desakralisasi ilmu pengetahuan modern ini berawal dari pada periode renaissance (kelahiran kembali), ketika rasio mulai dipisahkan dari iman. Oleh karena itu, Nasr mengajukan konsep Sains Sakral (Sacred Science) sebagai solusi sekulerisasi ilmu. Baginya, perkembangan sains modern saat ini bersifat sekuler dan jauh dari nilai-nilai spiritualitas sehingga perlu dilakukan sakralisasi. Lihat Adian Husaini, Filsafat Ilmu (Perspektif Barat dan Islam), (Jakarta: Gema Insani, 2013), h. 267.

[13] Konsep integrasi ini sebenarnya merupakan praktik dari konsep Islamisasi yang digagas oleh Ismail Al-Faruqi. Menurutnya, akar dari kemunduran umat Islam saat ini disebabkan karena terjadinya dualisme sistem pendidikan. Di satu sisi, wajah pendidikan Islam kurang bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman yang ada, sedangkan di sisi yang lain, pendidikan sains modern yang bersifat sekuler begitu mendominasi pemikiran kaum muslimin. Oleh karena itu, Al-Faruqi menggagas konsep integrasi ilmu dalam pendidikan ini sebagai upaya dalam merespon permasalahan dualisme pendidikan yang terjadi saat ini. lihat Hairul Huda dan Khairiyatul Jannah, Konsep Pendidikan Islam: Dalam Gagasan Pemikiran Ismail Raji-al-Faruqi, (Jawa Timur: CV. Pustaka Abadi, 2017), h. 30.

[14] Konsep terakhir sekaligus yang paling mendasar ini merupakan gagasan yang disampaikan pertama kali secara sistematis oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas. Menurut al-Attas, tantangan terbesar yang dihadapi oleh kaum muslimin saat ini adalah ilmu pengetahuan modern yang tidak netral telah merasuk ke dalam praduga-praduga agama, budaya dan filosofis yang berasal dari refleksi kesadaran dan pengalaman manusia Barat. Oleh karena itu islamisasi sains dimulai dengan membongkar sumber kerusakan ilmu. Di sinilah al-Attas mengartikan Islamisasi sebagai , ”Pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis, kultur-nasional (yang bertentangan dengan Islam) dan dari belenggu paham sekular terhadap pemikiran dan bahasa. Juga pembebasan dari kontrol dorongan fisiknya yang cenderung sekular dan tidak adil terhadap hakikat diri atau jiwanya…Islamisasi adalah suatu proses menuju bentuk asalnya….” Lihat Mustika Bintoro, Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Studi Kritis Pemikiran Syed M. Naquib al-Attas), (Guepedia, 2019), h.9. Lihat juga Tiar Anwar Bactiar, Pertarungan Pemikiran Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2017), h. 280-281.

[15] Rahmat, PAI Interdisipliner, (Yogyakarta: Deepublish, 2016), h. 55.

Lihat juga wibiart.com

Researcher at Centre for Islamic Education and Contemporary Studies (CIECS)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *