Ekonomi Islam: Manifestasi dari Islamic Worldview
Oleh: Krisna Wijaya
Sebuah Refleksi Singkat
Ketimpangan ekonomi merupakan sumber utama potensi tiadanya kedamaian antar sesama. “Karena saya yakin bahwa keadilan itu tidak ditandai dengan tiadanya kekerasan, namun keadilan itu ditandai dengan hadirnya rasa keadilan,” tutur Anies Baswedan.
Indonesia merupakan sebuah bangsa yang multi dalam berbagai bidang, seperti multibudaya, multiagama, multibahasa, dll. Dengan keberagaman yang beragam itu, bukan hal yang mudah untuk mempertahankan kesatuan bangsa ini. Oleh karena itu, diperlukan perhatian serius dalam memperhatikan pondasi-pondasi yang menjadi faktor pemersatu bangsa ini.
Bapak Anies Baswedan dalam sebuah sesi pidatonya juga pernah menyampaikan sesuatu yang berkaitan mengenai faktor utama pemersatu bangsa ini. Beliau sampaikan bahwa, “Ketika kita berbicara mengenai persatuan, maka kita selalu berbicara mengenai sila pertama dan sila ketiga saja. Kita lupa bahwa salah satu pondasi persatuan terpenting adalah sila kelima yang berisi Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.”
Ketimpangan ekonomi merupakan sumber utama potensi tiadanya kedamaian antar sesama. “Karena saya yakin bahwa keadilan itu tidak ditandai dengan tiadanya kekerasan, namun keadilan itu ditandai dengan hadirnya rasa keadilan,” tutur beliau kemudian.
Rasa keadilan inilah yang menjadi salah satu sumber pondasi utama persatuan Indonesia dapat dihadirkan. Kaitannya dengan ekonomi, dapat dikatakan bahwa ekonomi ini merupakan jantung agar keadilan sosial dapat terwujudkan.
Berdasarkan pembahasan di atas, maka menjadi sebuah keharusan bagi kita, terkhusus generasi muda untuk memahami konsep ekonomi yang di satu sisi menjadi jantung keadilan sosial, dan di sisi lain sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam (ekonomi Islam).
Konsep Ekonomi Islam
Dr. Khoirul Umam[1] tatkala membahas mengenai hal ini, beliau memulai dengan sebuah pertanyaan dasar mengenai ‘kenapa harus ekonomi Islam?’. Hal ini menjadi sebuah keharusan untuk dipahami dan didudukkan dengan tepat karena saat ini kita sedang berhadapan dengan sistem ekonomi asing yang sedang mendominasi masyarakat Islam.
Pertama, visi sistem ekonomi yang sekarang sedang mendominasi dunia secara global ini memiliki perbedaan corak dengan sistem ekonomi yang diinginkan oleh Islam. Dengan tegas Dr. Umam menyampaikan bahwa, “Visi perekonomian yang sekarang ini sedang mendominasi dunia begitu dipengaruhi oleh basic belief atau worldview yang sangat bersifat materialistis.”
Worldview yang menjadi basis visi ekonomi mereka ini tidak pernah sekalipun menyentuh dimensi metafisik dan hanya sampai pada dimensi fisik semata. Oleh karena itu, ketika melihat materi pun, mereka tidak meyakini akan hakikat nilai metafisik yang ada di dalamnya.
Untuk lebih jelasnya, worldview ini pernah dijabarkan oleh Prof. Naquib al-Attas sebagai ru’yatul Islam lil wujud atau pandangan Islam terhadap wujud, kebenaran, dan hakikat. Untuk lebih mudahnya, Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi dalam bukunya “Minhaj” menjelaskan bahwa cara pandang itu sederhananya seperti ketika seseorang mukmin melihat sebuah daging, ia akan melihat dari dua sisi; pertama sisi fisik daging itu dan kedua status kehalalan daging tersebut yang bersifat metafisik.
Orang nonmuslim tidak melihat dimensi halal-haram daging itu, namun yang dilihat hanya sebatas ranah dimensi fisik materialnya semata. Konsep dasar inilah yang menjadi dasar pembeda antara visi pandangan Islam dengan pandangan selain Islam dalam melihat segala sesuatu hal yang ada.
Kaitannya mengenai ekonomi, Dr. Umam juga menjelaskan bahwa salah satu tujuan besar dari keberadaan ilmu ekonomi adalah untuk mencapai kesejahteraan. Tidak berhenti sampai di situ, maka esensi makna kesejahteraan itu akan ditentukan hakikatnya tergantung dari basic belief (keyakinan dasar) yang dimiliki oleh subjek yang melihatnya.
Oleh karena itu, akan ada perbedaan besar antara seseorang yang melihat makna kesejahteraan berbasiskan worldview Islam dengan worldview selain Islam. Mereka (Barat) melihat kesejahteraan sebagai sesuatu yang bersifat fisik semata dan tidak sampai pada ranah kesejahteraan yang bersifat metafisik.
Sebagai contoh, menurut mereka, seseorang dapat dikatakan sejahtera apabila dia memiliki materi (harta) yang banyak dalam hidupnya. Standardisasi ukuran sejahtera ini kemudian melebar, bahkan sampai pada ranah mengukur tingkat kesejahteraan sebuah negara.
Kita akan dipaksa menerima suatu ukuran kesejahteraan yang itu hanya berputar-putar dalam ranah dimensi fisik materi semata. Misal, pengukuran tingkat kesejahteraan sebuah negara biasanya dilakukan dengan mengukur tingkat Produk Domestik Bruto (PDB) negara yang bersangkutan.
PDB merupakan salah satu indikator untuk mengukur dan mengetahui kondisi ekonomi di suatu negara dalam suatu periode tertentu. Besarnya PDB ini akan menjadi nilai perbandingan untuk mengetahui negara manakah yang mapan dan maju tingkat perekonomiannya.
Melalui PDB ini, kesejahteraan yang seyogyanya memiliki makna yang luas (mencakup dimensi materi ataupun nonmateri) kemudian menyempit hanya sebatas ranah materi semata. Konsep pengukuran ini kemudian diadopsi dalam pengukuran-pengukuran di level ranah yang lebih praktis di bawahnya.
Di akhir, permasalahan di atas apabila kita cermati, maka pangkal dari permasalahan itu sebenarnya berangkat dari perbedaan basic belief dalam melihat hakikat ekonomi yang sebenarnya.
Bersambung …
[1] Wakil Rektor III Bidang Penelitian, Pengabdian pada Masyarakat. dan Kerjasama, universitas Darussalam Gontor.
baca juga wibiart