Deislamisasi Identitas Wanita Muslimah Indonesia
Oleh: Krisna Wijaya
Sebuah Refleksi Identitas Wanita Muslimah Indonesia #2
Lihatlah para muslimah pengukir sejarah peradaban manusia. Bak bidadari yang turun dari surga menebar cinta di panggung hamparan dunia. “Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah.” (Hadits riwayat Muslim dari Abdullah ibnu Umar)
Muslimah Modern
Kembali mengingat bahwa di samping kehilangan nilai kemuliaan dalam dirinya, mereka juga kesusahan dalam membentuk jati dirinya sebagai wanita muslimah Indonesia yang merdeka – atas berkat rahmat Allah – di era modern ini.
Banyak dari mereka terpapar kerancuan pemikiran akibat dari westernisasi yang dilakukan oleh peradaban Barat.[1] Westernisasi ini menawarkan pandangan hidup yang itu tidak sesuai dengan norma dan kultur masyarakat Indonesia yang agamis.
Hal ini bisa dilihat dari banyaknya muslimah Indonesia yang terpapar virus pemikiran yang bersumber dari peradaban Barat. Di antaranya seperti muslimah yang menyuarakan paham kesetaraan gender,[2] muslimah mendukung RUU-PKS yang memiliki permasalahan pada aspek sexual consent, [3] dll.
Kejadian-kejadian itu lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa betapa permasalahan krisis spiritualitas benar-benar terjadi dalam diri wanita muslimah Indonesia saat ini.
Rasa-rasanya pendidikan nasional yang memiliki tujuan mulia untuk mengembangkan peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah sebuah kesia-siaan.
Padahal telah jelas tujuan pendidikan nasional yang ditetapkan dalam konstitusi berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003 bahwa tujuan pendidikan nasional adalah, “… berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa….”[4]
Di samping itu, pemerintah juga telah mengupayakan berbagai upaya dalam rangka mendukung perkembangan kualitas pendidikan Indonesia. Salah satunya seperti komitmen pemerintah melalui Pasal 31 ayat 4 yang menyatakan bahwa alokasi anggaran pendidikan adalah sebesar 20 persen, berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).[5]
Berbagai upaya-upaya di atas sayangnya masih belum membuahkan hasil yang maksimal. Krisis moral dan spiritualitas masih melanda remaja-remaja muslimah Indonesia saat ini.
Mereka kehilangan identitias diri sebagai seorang muslimah dan tidak mampu membangun jati dirinya sebagai wanita muslimah Indonesia yang merdeka. Oleh karena itu, penulis menganalisa bahwa salah satu upaya terpenting dalam memperbaiki krisis identitas ini adalah dengan memperbaiki pembelajaran sejarahnya.
Pendidikan Sejarah: Titik Kebangkitan
Sejarah ini menjadi suatu bagian yang sangat penting untuk diperhatikan oleh stakeholder dunia pendidikan. Muhammad Asad dalam bukunya Islam at the Crossroads, menulis, “No civilization can prosper – or even exist, after having lost pride and the connection with its own past… .”[6]
Jadi, suatu peradaban tidak akan berkembang, atau bahkan tidak akan bertahan jika ia kehilangan kebanggaan dan terputus dari sejarahnya. Inilah yang saat ini terjadi pada diri remaja wanita muslimah Indonesia. Sebuah krisis sejarah, krisis jati diri, dan krisis spiritualitas yang hinggap dalam diri mereka.
Pertanyaannya saat ini adalah “Bagaimanakah sejarah itu diajarkan?” dan “Sejarah seperti apakah yang diajarkan kepada mereka?”. Kedua pertanyaan inilah yang akan menjadi dasar permulaan pembahasan inti tulisan ini untuk menjawab tantangan deislamisasi identitas wanita muslimah Indonesia saat ini. Kedua pertanyaan ini merupakan bentuk usaha kesadaran untuk mencoba meletakkan sejarah sesuai dengan tempat dan kadarnya.
Ketidakmampuan dalam muslimah dalam memahami sejarah ini kemudian akan menciptakan muslimah yang kurang beradab terhadap sejarahnya. Hal ini kemudian memunculkan wanita-wanita muslimah di kemudian hari yang kehilangan identitas kemuslimahannya.
Problematika di atas pada pangkalnya akan mengarah kepada permasalahan inti yang sedang dihadapi oleh umat Islam saat ini adalah lost of adab.[7] Oleh karena itu, solusi yang ditawarkan akan berpijak pada gagasan adab Prof. al-Attas dan analisis sejarah Dr. Adian Husaini.
Integrasi kedua gagasan di atas kemudian akan menghasilkan sebuah solusi berupa pilar worldview adab dalam pembelajaran pendidikan sejarah.
Bersambung …
[1] Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisme Pemikiran Islam: Gerakan bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis, (Ponorogo: CIOS, 2010), h. ix.
[2] Berita diakses dari laman https://mobile.twitter.com/womensmarchjkt pada 07/02/2022.
[3] Berita diakses dari laman https://cakradunia.co/news/tingginya-kekerasan-seksual-di-aceh-ruu-pks-harus-segera-disahkan/index.html pada 07/03/2022.
[4] Muhammad Hasan, dkk., Pengantar Pendidikan Indonesia: Arah Baru Dalam Membentuk Profil Pelajar Pancasila, (CV Tahta Media Group, 2021), h. 26.
[5] Titik Handayani, Kebangkitan Nasional dan Pembangunan Manusia: Sebuah Catatan Kritis, (Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2008), h. 139.
[6] Adian Husaini, Pendidikan Islam: Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab, (Jakarta: Cakra Media, 2011), h. 176.
[7] Nur Kholik, Terobosan Baru: Membentuk Manusia Berkarakter di Abad 21, (Jawa Barat: Edu Publisher, 2020), h. 51.
baca juga wibiart