Pemikiran

Deislamisasi Identitas Wanita Muslimah Indonesia

Oleh: Krisna Wijaya

Sebuah Refleksi Kebangkitan #3

Kembali mengingat bahwa salah satu langkah terpenting dalam memperbaiki peradaban adalah dengan dengan memperbaiki sejarahnya. Sejarah ini menjadi suatu bagian yang sangat penting untuk diperhatikan oleh stakeholder dunia pendidikan. Muhammad Asad dalam bukunya Islam at the Crossroads, menulis, “No civilization can prosper – or even exist, after having lost pride and the connection with its own past…”

 

Membaca Sejarah

Ketika berbicara mengenai Islam dan sejarah, Dr. Adian Husaini juga menegaskan bahwa, “Seperti menyadari benar potensi Islam untuk kebangkitan sebuah peradaban, maka selama ratusan tahun telah dilakukan berbagai usaha untuk memperkecil peran Islam, tak terkecuali di Nusantarta.”

 

Lebih spesifiknya lagi, Dr. Muhammad Isa Anshory menerangkan bahwa, “Di Masa penjajahan, Belanda datang ke Indonesia bukan hanya sebatas mengeksploitasi kekayaan alam saja, namun mereka juga berupaya untuk menghilangkan pengaruh Islam terhadap bangsa Indonesia. Bersama para orientalisnya, kaum kolonial Belanda berusaha memperkecil arti dan peran Islam dalam sejarah Melayu-Indonesia.”

 

Berkaitan mengenai masalah ini, pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas dalam karyannya Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu juga menuliskan bahwa, “Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekirannya pengaruh itu masih berlaku sampai dewasa ini. Namun begitu, baik dalam tulisan Hurgronje maupun dalam tulisan Van Leur, tidak terdapat hujjah-hujjah ilmiah yang mempertahankan pandangan demikian mengenai Islam dan peranan sejarahnya.”[1]

 

Mengapa Harus Kartini?

Apabila masalah ini dikaitkan mengenai sejarah wanita, Dr. Tiar Anwar Bachtiar juga pernah menuliskan kritiknya mengenai penulisan sejarah wanita di Indonesia. Beliau mengajak kepada kita semua untuk mulai mempertanyakan sejarah tentang mengapa harus Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilik Kartini? Dan mengapa bangsa Indonesia mengikuti pemilihan tokoh itu?

 

Padahal ada banyak wanita yang hidup sezamannya lebih berpikiran sangat maju. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon dengan menerbitkan surat-suatnya, maka Rohana telah berperan lebih besar dengan menyebarkan ide-idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang), Wanita Bergerak (Padang), Radio (Padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).’

 

Ketika berbicara mengenai pendidikan, Dewi Sartika ataupun Rohana Kudus bukan lagi hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Di masa mereka hidup pun telah berhasil mendirikan sekolah yang bernama Sakola Kautamaan Istri (1910) yang ada di Bandung dan Luar Bandung.

 

Begitu juga dengan Rohana Kudus, beliau semasa hidupnya juga berhasil mendirikan sekolah Kerajinan Amai Setia (1911) dan Rohana School (1916), bahkan Rohana juga menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis muslimah pertama di negeri ini.

 

Kalaulah ada yang sempat menerbitkan pikiran-pikiran Rohana dalam berbagai surat kabar sebagaimana yangt terjadi pada Kartini, tentu apa yang dipikirkan oleh Rohana jauh lebih hebat dari yang dipikirkan Kartini.

 

Bahkan tidak hanya Rohana dan Dewi Sartika saja, tokoh-tokoh lain seperti Cut Nyak Dien, Cut Mutia, Siti Walidah (Nyai Dahlan), Rahmah El Yunusiyyah, Rasuna Said, atau bahkan Laksanama Muslimah Malahayati yang tercatat sebagai laksamanan muslimah angkatan laut pertama di Indonesia pun memberikan kontribusi yang lebih besar dalam jihad memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

 

Mereka semua adalah sedikit di antara contoh-contoh tokoh pejuang muslimah yang turut berjihad menyumbahngkan perjuangannya untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tetap mempertahankan identitas kemuslimahannya.

 

Bahkan Rohana Kudus, Rahmah El Yunusiyyah, Nyai Dahlan, dll., juga memiliki visi keislaman yang tegas. Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai kedudukan laki-laki (sebagaimana paham yang diangat oleh kaum feminisme yang meyakini bahwa laki-laki dan perempuan harus mendapat hak sama yaitu 50:50).

 

Kita rindu akan sosok seorang mujahidah yang di satu sisi berjiwa patriot dan siap berjuang pada bangsa dan agamannya dan di sisi lain tetap mempertahankan visi keislamannya sebagai seorang muslimah yang bernafaskan identitas Islam dalam sanubarinya.

 

Bayangkan, jika lagu nasional ‘Ibu Kita Kartini’ mengadopsi akan sejarah mujahidah muslimah selain tokoh Kartini. Barangkali anak-anak kita akan diajari bernyanyi dengan lirik: Ibu kita Cut Nyak Dien, Putri Sejati. Putri Indonesia…, mungkin kita tidak perlu risau akan gerakan paham kesetaraan gender yang saat ini begitu menancap dalam sanubari muslimah Indonesia.

 

Oleh  karena itu, kita perlu sedini mungkin untuk memulai membangun kesadaran kritis mengenai sejarah identitas wanita muslimah Indonesia. Hal ini bisa di mulai dengan mempertanyakan secara serius: Mengapa harus Kartini?

 

 

Bersambung …

 

 

[1] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sejarah Kebudayaan Melayu: Suatu Muqaddimah Mengenai Peranan Islam Dalam Peradaban Melayu Indonesia dan Kesannya dalam Seajrah Pemikiran Bahasa dan Kesusastraan Melayu, (Malaysia: Mizan, 1990), h. 36.

Researcher at Centre for Islamic Education and Contemporary Studies (CIECS)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *