Deislamisasi Identitas Wanita Muslimah Indonesia
Oleh: Krisna Wijaya
Sebuah Refleksi Kebangkitan
Kembali membayangkan jika lagu nasional ‘Ibu Kita Kartini’ mengadopsi akan sejarah mujahidah muslimah selain tokoh Kartini. Barangkali anak-anak kita akan diajari bernyanyi dengan lirik: Ibu kita Cut Nyak Dien, Putri Sejati. Putri Indonesia…, mungkin kita tidak perlu risau akan gerakan paham kesetaraan gender yang saat ini begitu menghujam dalam identitas wanita muslimah Indonesia.
Adab Sebagai Basis Pembelajaran Sejarah
“Konsep adab menjadi basis pembelajaran sejarah” ini sebenarnya dalam padanan kata lain dapat kita pahami juga dengan kalimat “Konsep adab sebagai worldview pembelajaran sejarah”. Prof. Anis Malik Thoha dalam sebuah seminar pemikiran pernah menyampaikan bahwa ketika sesuatu hal / ilmu dijadikan rujukan atas nilai-nilai dan norma yang terkandung di dalamnya, kemudian hal itu digunakan untuk menilai, menyikapi, membentuk sebuah persepsi, mengkonsepsikan suatu konsep, bahkan sampai merefleksikkan dalam bentuk perilaku sehari-hari, maka sejatinya hal itu telah menjadi worldview dalam diri orang tersebut.
Sedangkan kaitannya dengan sejarah, konsep adab ini sejatinya harus kita hadirkan dalam tradisi pengkajian ilmiah kita mengenai sejarah sebagai sebuah sudut pandang / worldview.
Konsep adab di sini tidak kita pahami dalam pemaknaan literatur klasik, namun akan kita pahami secara modern sebagai upaya menghadapi tantangan kontemporer dalam konteks deislamisasi sejarah menurut kaca mata Prof. Naquib al-Attas.
Muhammad Ardiansyah dalam disertasinya menguraikan dengan lengkap mengenai konsep adab yang digagas oleh al-Attas ini. Fungsi pertama yang beliau paparkan dalam disertasinya adalah penjelasan mengenai adab sebagai asas keadilan.[1]
Adab ini didefinisikan kemudian didefinisikan sebagai, “… recognition, and acknowledgment of the reality that knowledge and being are ordered hierarchically according to their various grades and degrees of rank, and of one’s proper place in relation to that reality and to one’s physical, intellectual, and spiritual capacities and potential.”[2]
Recognition atau pengenalan yang dimaksud di sini adalah ilmu. Karena ketidaktahuan seseorang akan ilmu mengenai kedudukan segala wujud akan membuatnya salah dalam menempatkan sesuatu itu. Kondisi seperti inilah yang akan menyebabkan ketidakadilan, karena menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya.[3]
Oleh karena itu, dalam menyertai pembelajaran sejarah yang ada, tidak cukup hanya menceritakan kisah-kisah klasih terdahulu. Perlunya pengenalan worldview (pandangan dunia) dalam memandang hakikat kedudukan wujud semesta secara holistik terlebih dahulu, untuk kemudian dapat mendudukan nilai sejarah sesuai tempat dan kedudukannya sesuai martabat yang telah ditentukan oleh Sang Pencipta.
Kaitannya dengan konteks wanita muslimah, adab ini setidak-tidaknya akan menuntun mereka dalam memahami bahwa dirinya pada hakikatnya merupakan wanita yang sudah mulia tanpa harus memperjuangkan paham kesetaraan gender, equality, kesamaan hak 50:50 di berbagai sektor pembangunan, dll., sebagaimana yang diusung oleh wanita di Barat.
Fungsi kedua yang dipaparkan oleh Ardiansyah setelah fungsi pertama sebagai asas keadilan adalah adab sebagai asas islamisasi ilmu.[4] Setelah keadilan – meletakkan sesuatu pada tempat sesuai hakikat penciptaannya – dipahami, tahap selanjutnya adalah melakukan islamisasi ilmu terhadap ilmu pengetahuan yang masih belum sesuai dengan tempat dan hakikatnya.
Proses inilah yang kemudian akan dikenal sebagai islamisasi ilmu. Sumber pokok islamisasi ilmu ini adalah bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai pangkar worldview di dalamnya.
Adab Sebagai Basis Islamisasi Sejarah
Kaitannya dengan sejarah keindonesiaan, islamisasi ini menjadi keharusan untuk dilakukan karena apabila merujuk pada pendapat Prof. al-Attas, beliau melihat adanya upaya yang sistematis dari orientalis untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara, termasuk terjadi juga di Indonesia.[5]
Kaitannya dengan wanita muslimah, muslimah generasi Z maupun alfa saat ini seperti sedang menghadapi krisis akibat deislamisasi sejarah dalam rangka mencari seorang uswah hasanah (dalam konteks keindonesiaan). Tokoh perempuan yang digaung-gaungkan dalam panggung sejarah Indonesia rasa-rasannya hanyalah kartini semata. Kita tidak tahu bahwa fakta sejarah terpilihnya Kartini sebagai ibu bagi semua orang di Indonesia, hanyalah bersifat keberuntungan semata. [6]
Masih banyak tokoh-tokoh lain yang tidak terekspose dalam panggung sejarah seperti Rahmah el-Yunusiyah, Rohana Kudus, Siti Walidah, Laksamana Malahayati, dll. yang kesemuanya merupakan tokoh wanita muslimah pejuang bangsa yang di satu sisi masih berjuang demi bangsa dan di sisi lain masih mempertahankan identitas kemuslimahannya.
Pengkajian tokoh-tokoh seperti inilah yang mulai susah untuk dilacak dalam sejarah. Oleh karena itu, islamisasi sejarah ini menjadi sebuah proses yang penting dalam memperbaiki kualitas spiritualitas wanita muslimah Indonesia.
Upaya-upaya di atas dilakukan untuk menyadarkan sekaligus membangun jati diri wanita muslimah Indonesia yang merdeka – merdeka dari khurafat, takhayul, bid’ah, tantangan pemikiran kontemporer, dll. – atas berkat rahmat Allah. Oleh karena itu, di akhir, jangan sampai kita mengingat akan keluhan David Thomas bahwa, “Apalah arti Athena tanpa Jerusalem.”[7]
Kaitannya dengan konteks wanita muslimah, apa artinya muslimah yang cerdas dan berkontribusi di berbagai lini pembangunan, dll., jika pada akhirnya akan meniadakan eksistensi spiritualitas keimanan dalam bangunan jati dirinya.
Oleh karena itu, kita harus kembali mengingat akan nasihat Prof. B. J. Habibie mengenai integrasi Iman Takwa (IMTAK) dengan Ilmu Pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dalam membangun sebuah peradaban.[8] Karena sejatinya membangun peradaban Indonesia itu laksana menyeimbangan dua sisi sayap pesawat. Satu sisi adalah IMTAK dan di sisi lainya adalah IPTEK.
[1] Muhammad Ardiansyah, Konsep Adab Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Aplikasinya di Perguruan Tinggi, (Jawa Barat: Attaqwa, 2020), h. 97.
[2] Imam Bahroni, Introduction to Integrated Education, (Ponorogo: UNIDA Gontor Press, 2018), h. 51.
[3] Muhammad Ardiansyah, Konsep Adab., Op. Cit., h. 100-101.
[4] Ibid., h. 119.
[5] Adian Husaini, Pendidikan Islam: Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab, (Jakarta: Cakra Media, 2011), h. 176
[6] Zaky Ahmad Rivai, Jangan Berdakwah! Nanti Masuk Surga, (Jakarta: Gema Insani, 2014), h. 180.
[7] Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat, Refleksi Tentang Islam, Westernisasi, dan Liberalisasi, (Jakarta: INSISTS, 2012), h. 6.
[8] Rahmat, PAI Interdisipliner, (Yogyakarta: Deepublish, 2016), h. 55.
baca juga wibiart