prestasi
Ruang Opini

Gurunya Manusia: Paradigma Prestasi Belajar

Oleh: Krisna Wijaya

 

“… Kegagalan akademisi siswa bukanlah akibat tidak adanya/kurangnya upaya oleh sekolah, melainkan justru akibat ‘ulah’ sekolah itu sendiri.”

~ John Holt dalam How Children Fail

 

Ulah sekolah ini juga bisa berwujud kelumpuhan paradigma kurikulum sekolah dalam memandang prestasi siswa yang sebenarnya.

 

Paradigma Prestasi Belajar

 Berpijak dari kamus besar bahasa Indonesia, prestasi adalah hasil yang telah dicapai (dari yang telah dilakukan, dikerjakan, dan sebagainya). Kata prestasi sebenarnya berasal dari bahasa Belanda yaitu prestatie. Kemudian dalam bahasa Indonesia menjadi prestasi yang berarti hasil usaha. Istilah prestasi belajar (achievemnt) berbeda dengan hasil belajar (learning outcome).[1]

 

Sedangkan kata belajar bermakna suatu proses perubahan di dalam kepribadian manusia, dan perubahan tersebut ditampakkan dalam bentuk penungkatam kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemahaman, keterampilan, daya pikir, dan lain-lain kemampuan.[2]

 

Kalaulah diberikan kesempatan untuk membuat instrumen tolok ukur sebuah prestasi, maka akan kupilih instrumen bernama kehidupan. Sebuah instrumen yang tidak hanya distandarisasi oleh persyaratan akademik semata, namun distandarisasi dengan kententuan dan nilai-nilai kebermanfaatan sepanjang kehidupan itu dijalani.[3]

 

Tidak ada orang tua yang tidak menginginkan anaknya untuk bisa berprestasi dalam proses pembelajarannya. Prestasi belajar secara teoritis memang dipahami sebagai hasil dari pengukuran terhadap peserta didik yang meliputi faktor kognitif, afektif, dan psikomotorik setelah mengikuti proses pembelajaran yang diukur dengan menggunakan instrumen tes atau instrumen yang relevan.

 

Sayangnya, dipengaruhi oleh kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan yang ada, justru menyebabkan perubahan realitas makna dalam memaknai sebuah prestasi. Yaitu hanya sebatas apa yang nampak berbentuk angka dalam rapor atau nilai yang tinggi dalam sebuah kompetisi dan ajang yang bergengsi saja.

 

Sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi, bahwa ketika suatu makna berubah dari makna aslinya, bisa saja hal ini disebabkan oleh invasi pemahaman atau pandangan hidup suatu peradaban lain kepada peradaban yang tertentu. Hal itu terjadi dalam dunia pendidikan kita.[4]

 

Paham materialisme telah menyebabkan kerancuan pandangan dalam memaknai hakikat dari berprestasi. Sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Dr. Adian Husaini dalam sebuah seminar tentang pendidikan bahwa, “ Segala urusan diukur dengan cara pandang kebendaan termasuk persoalan pendidikan. Sadar atau tidak pendidikan mulai berubah menjadi mesin industri yang hanya menghasilkan materi semata.”[5] Alhasil, pola pandang yang seperti itu pada akhirnya akan merubah dan membatasi makna “berprestasi” sebatas hasil dan capaian yang bisa dirasakan dan dinilai berdasar empiris indera semata.

 

Kelumpuhan Paradigma Kecerdasan Prestasi Belajar

Telah kita uraikan pembahasan mengenai makna berprestasi yang sebenarnya dalam kacamata yang lebih luas di atas. Pada bab ini, kita akan mencoba menguraikan tentang bagaimana mendudukkan kecerdasan emosional ini yang sebenarnya dan bagaimana kaitanya dengan prestasi belajar.

 

Bila kita meninjau penelitian sebelumnya, maka akan kita temukan tak terhitung lagi jumlah penelitian yang dilakukan untuk terus mengembangkan pendidikan agar mencapai taraf yang lebih baik daripada hari kemarin. Meminjam istilah dari Hegel, sebenarnya perbaikan kualitas pendidikan kita berputar-putar pada proses tesis, antitesis, maupun sintesis dari berbagai teori pendidikan yang telah dikemukakan oleh para ahli selama ini.[6] Termasuk di dalamnya permasalahan mengenai kedudukan kecerdasan emosi dan hubungannya dengan prestasi belajar.

 

Mendudukkan kedudukan kecerdasan emosional dan prestasi belajar tidak bisa dilakukan dengan semena-mena. Perlu proses berpikir yang tepat untuk kemudian dapat menghasilkan teori yang baik. Tak terhitung lagi jumlah peneliti yang telah mengungkapkan mengenai hubungan antara prestasi belajar dengan kecerdasan emosi peserta didik. Di antaranya seperti penelitian yang dilakukan oleh Eva Nauli Thaib (2013), Asna Andriani (2014), Fauziah (2015), Indah Mayang Purnama (2016), Kabela Putri, dkk. (2017), Ajeng Nida Nisrina, dkk. (2018), Rizky Sulastyaningrum, dkk. (2019), Umar Ahmad Sobirin (2020), Heri Kurnia & Joko Wahono (2021), dan Enur Rohmah & Mukhlis Mukhlis (2022).

 

Dari data di atas, dalam 10 tahun terakhir misalnya, kita akan menemukan banyak sekali penelitian yang dilakukan oleh para akademisi mengenai hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar peserta didik. Semuanya memiliki corak yang sama dan bahkan-bahkan saling membenarkan antara satu dengan yang lainnya. Semua seakan-akan sepakat bahwa kecerdasan emosional adalah sesuatu disiplin bahasan ilmu di luar objek pembahasan prestasi belajar.

 

Lantas, apakah hal di atas selalu benar? Kenapa kecerdasan emosional selalu diletakkan sebagai faktor penentu keberhasilan prestasi belajar peserta didik? Dan kenapa tidak ada yang berpandangan bahwa kecerdasan emosional merupakan salah satu bentuk dari prestasi belajar peserta didik? Di sinilah penulis dengan sudut pandangnya melihat bahwa paradigma kecerdasan manusia (bersifat majemuk) ternyata tidak selalu harus ditempatkan sebagai subjek yang mempengaruhi objek (prestasi belajar) peserta didik. Di sisi lain, kecerdasan manusia ini bisa diposisikan sebagai objek output yang masuk dalam ranah prestasi peserta didik.

 

Dengan adanya paradigma kecerdasan manusia yang didudukkan sebagai sebuah objek prestasi belajar inilah, maka akan ada revolusi besar yang terjadi dalam tubuh pendidikan Indonesia berkaitan mengenai permasalahan output prestasi belajar peserta didik.

 

Karena paradigma prestasi belajar akan terus menerus berkembang dari masa ke masa. Dahulu kita setuju apabila prestasi itu hanya diukur dalam bentuk tes pengetahuan kognitif semata, namun apakah kita akan berpikir hal yang sama di era digital saat ini? Konsep-konsep kecerdasan manusia yang dicetuskan oleh para akademisi waktu itu sangat bisa menempati posisi sebagai objek output prestasi belajar peserta didik di era digital saat ini.

 

Di hari esok, kita akan melihat bahwa indikator-indikator penilaian prestasi akan dirumuskan dalam bentuk kecerdasan-kecerdasan manusia. Entah itu kecerdasan emosional, linguistik, spiritual, dll. Gagasan yang disampaikan oleh penulis ini murni sebagai bentuk sumbangsih pemikiran penulis terhadap masa depan dunia pendidikan. Karena kita harus sadari bahwa saat ini kita sedang mencari wajah pendidikan yang ideal bagi pendidikan Indonesia.

 

Kemudian menurut penulis, salah satu langkah yang bisa ditempuh untuk menggapai hal itu adalah dengan merubah paradigma bentuk-bentuk kecerdasan manusia sebagai bagian dari objek prestasi output dari proses pembelajaran. Paradigma prestasi belajar ini harus selalu kita perbaharui konsep-konsep di dalamnya sesuai dengan perkembangan zaman saat ini, termasuk tidak menutup ruang bagi konsep kecerdasan manusia menjadi bagian dari indeks prestasi belajar.

 

Hal ini dilakukan agar tidak terjadi sebuah permasalahan multidimensi, yang oleh Joel Barker disebut sebagai “kelumpuhan paradigma”.[7] Kelumpuhan paradigma ini begitu berbahaya karena bisa mencegah pola pikir kita untuk mengenal perkembangan atau kemungkinan-kemungkinan perubahan di masa depan dengan membatasi pola pikir diri sendiri.  

 

 

[1] Moh. Zaiful Rosyid, dkk. Prestasi Belajar, (Malang: Literasi Nusantara, 2019), h. 5-6.

[2] Muh Suardi, Belajar dan Pembelajaran, (Yogyakarta: Deepublish, 2018), h. 1.

[3] Rasulullah mengajarkan pada umatnya, bahwa nikmat hidup itu adalah dengan memberi manfaat kepada orang lain. Nilai orang yang baik kualitas spiritualitasnya (beriman) akan ditakar dari seberapa banyak dia bisa memberi manfaat kepada orang lain. Hal ini sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Rasulullah bahwa, “Khairunnaasi anfa’uhum lin-nas” (sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya). Lihat selengapnya Muhamad Yasir, Jangan Hidup Jikat Tak Memberi Manfaat, (Jakarta:Pustaka al-Kautsar, 2012), h. 4.

[4] Dalam salah satu karyanya berjudul Misykat, Prof. Hamid menjelaskan bahwa, “Setiap tulisan mau pendek ataupun panjang masih dapat menyampaikan sebuah idea. Bahkan sebuah ideologi atau teori ilmiah dapat diekspresikan dalam satu kata atau satu kalimat. Sebab setiap kata berisi makna dan setiap makna mengandung konsep dan setiap konsep dihasilkan oleh worldview atau ideologi. Maka, kata atau kalimat itu bisa menjadi medium penyampai ide, pendapat dan paham. Bahkan gagasan besar pun bisa dituangkan dalam bentuk puisi. Selengkapnya lihat Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat, (Jakarta: INSISTS, 2012).

[5] Pendidikan dewasa ini telah dikelola menyerupai atau sama dengan industri. Suatu fenomena menarik yang pada pangkalnya akan mengarah kepada industrialisasi pendidikan. Selengkapnya lihat Anita Lie, dkk., Menjadi Sekolah Terbaik, (Jakarta: Tanoto Foundation, 2014), h. 19.

[6] Teori yang dicetus oleh Hegel ini di kemudian hari akan kita pahami sebagai teori dialektika. Selengkapnya lihat Hamidah, Ktiritk atas Adopsi IFRS: Perspektif Ekologi Akuntansi, (Malang: Penerbit Peneleh, 2020), h. 170.

[7] Barbara Prashnig, The Power Of Learning Styles: Memacu Anak Melejitkan Prestasi Dengan Mengenali Gaya Belajarnya (diterjemahkan dari The Power of Diversity), (Bandung: Kaifa, 2007), h. 69.

Researcher at Centre for Islamic Education and Contemporary Studies (CIECS)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *