Nyadran Menjelang Ramadhan: Bentuk Kelumpuhan Paradigma Berpikir Kaum Muslimin
Oleh: Krisna Wijaya
Menjelang Ramadhan, kita akan melihat berbagai tanda-tanda yang hadir sebagai bentuk ciri khas bahwa bulan yang mulia itu sudah semakin dekat. Di pulau Jawa contohnya, kita juga akan melihat fenomena khas yang mana masyarakat berbondong-bondong melakukan ziarah kubur sebelum bulan puasa datang.
Fenomena ziarah kubur itu lebih kita kenal dengan istilah nyadran di wilayah pulau Jawa. Merujuk dari wikipedia, nyadran adalah ziarah kubur atau bisa dikatakan sebagai salah satu prosesi adat jawa dalam bentuk kegiatan tahunan di bulan ruwah (sya’ban), dari mulai bersih-bersih makam leluhur, masak makanan tertentu, seperti apem, bagi-bagi makanan, dan acara selamatan atau disebut kenduri. Nama nyadran sendiri berasal dari kata Sradha – nyradha – nyadran, kemudian menjadi nyadran.
Dari penjelasan di atas, kita tahu sejatinya nyadran adalah reminisensi (kenangan) dari upacara Hindu. Selain itu, nyadran dilakukan di waktu tertentu, yaitu di bulan sya’ban, yang oleh orang Jawa disebut bulan ruwah. Sebagian referensi menyebutkan, kata ruwah merupakan turunan dari kata arwah (ruh).
Kemudian, nyadran bukan semata kegiatan senang-senang, bergembira ria, namun ada unsur ritual tertentu. Keberadaan ritual ini tidak akan lepas dari keyakinan tertentu atau ideologi yang menjadi motivasi utama untuk melakukannya.
Utsadz Ammi Nur Baits selaku dewan pembina konsultasisyariah.com juga menegaskan bahwa, “Dengan memahami tradisi nyadran, kita tentu sepakat bahwa nyadran 100% bukan ajaran Islam. Hanya saja, oleh sebagian orang Jawa diklaim sebagai bagian dari ajaran Islam. Mulai dari sejarah yang melatar belakanginya, hingga perjalanannya telah memberi bukti nyata bahwa nyadran bukan ajaran Islam. Bahkan sejatinya, nyadran merupakan reminisensi ajaran Hindu. Di sebagian situs berita dirilis, umat Islam dan Katholik ‘nyadran’ bersama. Sungguh aneh jika masih dianggap ajaran Islam.”
Ziarah kubur memang benar disyariatkan oleh Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan memberi anjuran kepada kita,
زُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ الْمَوْت
“Lakukanlah ziarah kubur, karena ziarah kubur akan mengingatkan kalian terhadap kematian.” (HR. Nasa’I 2034, Ibn Majah 1572 – hadis shahih)
Dari hadits di atas, tentu kita sepakat bahwa hukum ziarah kubur tidaklah kita permasalahkan di sini. Kita tidak mempermasalahkan hukum ziarahnya, namun yang kita permasalahkan adalah tradisi nyadrannya yang dari beberapa sisi melanggar aturan syariat.
“Lebih dari itu, dalam tradisi nyadran tidak kita jumpai adanya motivasi ingat mati. Pernahkah kita jumpai ada orang yang sepulang dari nyadran kemudian menangis karena ingat mati dan sedih memikirkan dosanya? Yang ada justru sebaliknya, mereka pesta makan-makan di kuburan.
Kelumpuhan Paradigma Berpikir Seorang Muslim
Manusia dalam penciptaanya merupakan makhluk yang paling sempurna melebihi kesempurnaan makhluk-makhluk Allah yang lainnya, bahkan malaikat sekalipun.
Hal ini Allah tegaskan dalam QS. Al-Israa’ : 70 yang berbunyi,
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلاً
Artinya, “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan , Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna dibandingkan kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”
Ayat ini juga menjadi dalil bagi para ulama untuk menyimpulkan bahwa manusia lebih utama dibandingkan makhluk yang lain. Bahkan sebagian ulama menjadikan ayat ini sebagai dalil bahwa manusia lebih utama dari pada malaikat. Al-Hafidz Ibnu Katsir menjelaskan,
وقد استدل بهذه الآية على أفضلية جنس البشر على جنس الملائكة
“Ayat ini dijadikan dalil bahwa jenis manuisa lebih utama dari jenis malaikat.” (Tafsir Ibnu Katsir, 5/97).
Salah satu yang menjadi potensi kemuliaan manusia di bandingkan makhluk lainnya adalah potensi keberadaan fungsi akal. Imam Al Ghazali berpendapat bahwa akal memiliki banyak aktivitas. Aktivitas itu adalah al-nazhar (melihat dengan memperhatikan), at-tadabbur (memperhatikan secara seksama), al-ta’ammul (merenungkan), al-istibshar (melihat dengan mata batin), al-I’tibar (mengiterpretasikan), al-tafkir (memikirkan), dan al-tadakkur (mengingat).
Akal memiliki beberapa fungsi tetapi yang terpenting adalah sebagai first intelligence yaitu pengetahuan yang melekat dan bersifat ilahiah yang ditanamkan pada diri manusia, atau bisa dikatakan sebagai fitrah. Meskipun demikian, manusia tidak secara otomatis dapat menggunakan potensi akal ini.
Manusia harus mengembangkan potensi jiwanya agar akal yang benar dapat dicapai dan dipergunakan sesuai peruntukannya, yaitu berfikir. Al-Quran berulang kali menyuruh manusia untuk memfungsikan akalnya agar tidak menjadi makhluk yang bergerak yang bernyawa yang paling buruk dalam pandangan Allah sebagaimana yang diterangkan Allah dalam QS Al-a’raf 7 : 179.
Sudah diberikan kelebihan berupa akal untuk berpikir bagi manusia, namun masih saja tidak digunakan. Inilah yang oleh Joel Baeker disebut sebagai “kelumpuhan paradigma”. Akal yang seharusnya bisa menjadi salah satu potensi perkembangan intelektualitas manusia justru tidak digunakan sebagaimana mestinya.
Kaum muslimin yang seharusnya menjadi umat terbaik yang menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar sebagaimana dalam WS Ali ‘Imran : 110, seharusnya memaksimalkan potensi akal ini untuk kemudian bisa menjadi umat terbaik di muka bumi.
Jangan sampai kita sudah diberikan berbagai potensi sebagai makhluk terbaik, namun tidak menggunakan sebagaimana mestinya. Kembali mengingat dalam QS Al-a’raf : 179, Allah menegaskan bahwa,
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
“Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.”