Islam Moderat dan Wasathiyatul Islam #6
Lanjutan artikel Islam Moderat #5
Oleh: Krisna Wijaya
Setelah memabahas mengenai moderasi beragama dari berbagai macam perspektif, lantas apa dan bagaimana moderasi beragama yang sesungguhnya?
Berbeda dari konsep moderat yang ditawarkan oleh Barat, Islam tidak membutuhkan konsep moderat yang mereka tawarkan karena Islam hadir di muka bumi ini sudah membawa konsep moderatnya sendiri
Dampak Hegemoni Barat Terhadap Praktik Moderasi Beragama
Dari berbagai pembahasan di atas, kita akan menemui setidak-tidaknya dua jenis dampak praktik moderasi beragama yang terjadi di masyarakat Indonesia apabila mengadopsi konsep moderat yang ditawarkan oleh Barat. Dampak-dampak tersebut kemudian dapat kita tinjau secara teologis dan secara sosiologis.
Dampak Teologis dan Sosiologis
Dampak teologis moderasi beragama adalah; terbentuknya kepercayaan yang mempercayai/meyakini bahwa semua agama sama baiknya, dan munculnya keyakinan dalam dirinya bahwa semua agama sama benarnya.
Sementara dampak sosiologis adalah; munculnya praktik shalawat di Gereja yang dilakukan oleh orang Islam dan adanya doa bersama seluruh agama dalam satu tempat.
Melihat dari berbagai dampak yang ditimbulkan akibat dari “gagal paham” dalam memaknai hakikat moderasi beragama yang sesungguhnya, maka kita perlu merujuk kembali menganai bagaimanakah Islam mengkonsepkan hal ini sedemikian sempurnannya.
Wasatiyyah Islam (Ummatan Wasatan)
Membahas mengenai hal ini, kembali merujuk firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 143 yang berbunyi,
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَٰكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا۟ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
…
Artinya, “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”
Merujuk dari Tafsir Misbah al-Munir, kata wasat memiliki makna ditengah-tengah, paling adil, antara baik dan buruk, bersikap adil, pertengahan antara dua pihak yang sedang berseteru, atau pertengahan sebagai bentuk sesuatu hal yang terbaik.
Sedangnya dalam tradisi masyarakat Arab, kata wast mengandung makna kebaikan, keadilan, keunggulan, dan tempat yang mulia. Oleh karena itu, apabila seseorang dianggap keturunan yang terhormat ataupun yang paling mulia di kaumnya, maka sebutanya adalah Wasat fii qaumihi.
Wasatiyah Umat Islam
Berbeda dari konsep moderat yang ditawarkan oleh Barat, Islam tidak membutuhkan konsep moderat yang mereka tawarkan karena Islam hadir di muka bumi ini sudah membawa konsep moderatnya sendiri. Konsep inilah yang pada akhirnya kita ketahui sebagai wasatiyyatul Islam (ummatan wasatan).
Oleh karena itu, untuk lebih memperjelas hal ini, Sayid Qutb menjelaskan mengenai makna ummatan wasatan ini dengan penjelasannya sebagai berikut:
Pertama, ummat wasatan adalah umat yang tidak condong kepada aspek materialistis semata atau malah spiritualistis semata.
Kedua, ummat wasatan adalah umat yang tidak terlalu mementingkan pikiran (rasionalis) atau pengalaman (empiris) saja.
Ketiga, ummat wasatan adalah umat yang tidak mementingkan sains saja atau teknologi saja.
Keempat, ummat wasatan adalah umat yang tidak mementingkan kepentingan satu individu saja (kapitalis) atau kepentingan masyarakat saja (sosialis).
Hampir senada dengan Sayid Qutb, Dr. Ali Muhammad al-Salabi juga menegaskan bahwa sifat wasatiyah Islam itu adalah dalam hal ibadah, hubungan sosial, masalah harta, masalah tata hukum dan masalah keimanan, bidang pendidikan, da’wah yang tidak bersikap sembrono atau berlebihan.
Di akhir, kita juga perlu menegaskan kembali bahwa menjadi ummatan wasatan bukan berarti bertindak netral dan tidak ada keberpihakan sama sekali. Barangkali netral dan tidak berpihak ini bisa saja dilakukan apabila dihadapkan dengan berbagai pilihan-pilihan yang bernilai sama-sama buruknya.
Kemudian wasatiyah dalam bidang akhlaq adalah berakhlaq Islam yang asasnya adalah keadilan, yaitu memberikan sesuatu kepada yang berhak, meletakkan sesuatu pada tempatnya.
Dari berbagai penjelasan di atas, wasatiyah bukan berarti bertindak netral di tengah pluralitas yang ada, namun tetap memiliki pilihan dengan menempatkan pilihan sesuai dengan tempat dan kadarnyua. Lantas, ketika kita dihadapkan dengan pilihan antara baik dan buruk, Apakah kita masih harus bertindak netral dan tidak memihak?
Hal inilah yang harus kita perhatikan kawal bersama sebagai umat Islam. Jangan sampai sikap moderasi beragama yang kita lakukan malah berpijak pada konsep moderat yang ditawarkan oleh Barat dan melupakan konsep kesempurnaan wasatiyyah yang telah melekat pada ajaran agama Islam.