Mosi Integral Natsir: Alangkah Lucunya Negeri Ini
Oleh: Krisna Wijaya
Sudah 72 tahun lamanya, Mosi Integral yang digagas oleh Mohammad Natsir telah terjadi di negeri ini. Melalui Mosi ini, Natsir berhasil menyatukan fragmen-fragmen pecahan negara Indonesia yang sempat tercerai-berai menjadi beberapa negara bagian akibat ulah Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia.
Perpecahan Indonesia kala itu sebenarnya tidak terlepas dari peran taktik Belanda yang kembali memainkan politik devide et impera (politik adu domba atau pecah belah dengan kombinasi strategi militer, politik, dan ekonomi ) di bumi Nusantara.
Dengan izin Allah dan didorongkan oleh keinginan luhur, persatuan Indonesia dapat kembali dipertahankan kala itu. Mosi Integral yang digagas oleh Mohammad Natsir, atau yang biasa disebut Mosi Integral Natsir adalah sebuah hasil keputusan parlemen yang membahas mengenai bersatunya kembali sistem pemerintahan negara yang awalnya terpecah-pecah menjadi sebuah satu kesatuan,
Dengan jalan Mosi itu, negara-negara bagian RIS (Republik Indonesia Serikat) kembali bersatu menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pada 17 Agustus 1950. Menariknya lagi adalah ketika Bung Hatta menyebut tanggal 17 Agustus 1950 sebagai “Proklamasi Kemerdekaan Kedua”, setelah proklamasi pertama pada 17 Agustus 1945.
Mosi ini merupakan hasil Konferensi Meja Bundar antara delegasi Republik Indonesia dengan delegasi BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg) yang beranggotakan para pemimpin negara federal dan juga delegasi dari Kerajaan Belanda.
Negara-Negara BFO Sendiri Adalah: Negara Dayak Besar, Negara Indonesia Timur, Negara Borneo Tenggara, Negara Borneo Timur, Negara Borneo Barat, Negara Bengkulu, Negara Biliton, Negara Riau, Negara Sumatera Timur, Negara Banjar, Negara Madura, Negara Pasundan, Negara Sumatera Selatan, Negara Jawa Timur, Dan Negara Jawa Tengah.
Perjuangan Natsir untuk menyatukan negara-negara bagian itu menjadi salah satu sebab Presiden Soekarno mengangkat Mohammad Natsir menjadi Perdana Menteri pertama NKRI. Beliau merupakan contoh Muslim Negarawan yang memperjuangkan persatuan dengan cara-cara konstitusional dan bermatabat, tanpa menggunakan kekerasan.
Islamophobia
Momen peringatan Mosi Integral ini harusnya menjadi refleksi nyata bagi segenap masyarakat Indonesia bahwa Islam itu begitu menjunjung tinggi sebuah persatuan. Tuduhan-tuduhan seperti anti toleransi, anti pancasila, anti nusantara, dll., seharusnya kembali direnungkan dengan cerdas.
Sebagai negara yang mayoritasnya beragama Islam, ditambah sejarahnya terdapat berbagai kesultanan Islam, bahkan dasar negaranya pun adalah Pancasila dengan sila pertamanya Ketuhanan Yang Maha Esa, di pembukaan UUD tertulis “Atas berkat rahmat Allah”, namun Islamophobia masih terus bersemayam di bumi Indonesia.
Contoh fenomena yang baru-baru terjadi seperti tuduhan dan kecaman yang dilontarkan kepada sebuah gerakan mengaji al-Qur’an dalam rangka menyambut hari istimewa bersama di kawasan Malioboro. Semua bahagia dan memberi suport atas gerakan ini kecuali mereka yang mengidap penyakit Islamophobia .
Berkaitan mengenai hal ini, Ustadz Felix Siauw dengan kritis mengomentari fenomena ini melalui akun media sosialnya. Beliau menegaskan bahwa, “BuzzeRp menuduh ini radikalisasi, mencoreng Jogja sebagai kota budaya, arabisasi Jawa, pamer ibadah, riya, dan segala tuduhan keji lain.”
hal ini tentu hanyalah contoh kecil dari Islamophobia yang sedang mencengkram negeri kita saat ini. Mengutip dari sebuah film yang disutradarai oleh Deddy Mizwar dengan judul “Alangkah Lucunya Negeri ini”, tentu kembali mengingatkan pada kita bahwa negeri kita memang lucu dengan segala permasalahan di dalamnya.
Alangkah lucunya negeri ini, ketika Islamophobia benar-benar tumbuh subur di negeri yang mayoritas memeluk agama Islam, bahkan berdasarkan laporan riset dari The Royal Islamic Strategic Studies Centre (RICCS), Indonesia adalah negara dengan populasi muslim terbesar di dunia justru Islamophobia tumbuh subur di kepulauan Nusantara.
Alangkah lucunya negeri ini, ketika umat Islam di Indonesia justru anti terhadap nilai-nilai dan ajaran Islam itu sendiri. Bahkan mengatakan kalau Islam adalah agama penjajah yang menjajah kebinekaan bangsa Indonesia.
Mosi Integral dan Momen Berefleksi
Barangkali memang masih banyak umat Islam Indonesia yang belum bersungguh-sungguh dalam menjalankan syariat, masih banyak melakukan kesalahan, masih kurang baik dalam hal bertoleransi antar sesama, dan masih jauh dari kriteria “Umat terbaik” sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an.
Namun perlu digaris bawahi bahwa segala kesalahan dan kekurangan yang melekat dalam diri umat Islam adalah murni kesalahan manusianya dan bukan salah ajaran agamanya. Hal ini perlu dibedakan karena pengidap Islamophobia sepertinya tidak mampu membedakan perbedaan kedua hal itu.
Prof. Dr. Ahmad Zahro (Tokoh besar NU) dengan cerdas juga pernah menyinggung hal ini, namun dengan kasus berbeda tatkala Nahdlatul Ulama melalui keputusan Bahtsul Masailnya mengeluarkan sebuah keputusan yang itu tidak sejalan dengan Khittah NU kala itu.
Waktu itu beliau menegaskan, “Tolong jangan lecehkan NU, jangan ketawakan NU, jangan hina NU, jangan rendahkan NU. NU tidak salah apa-apa, yang salah adalah pengurus NU periode ini.” Pernyataan beliau ini tentu begitu cerdas untuk mengajak masyarakat berpikir agar tidak menyalahkan NU-nya, namun menyalahkan manusiannya yang menjalankannya visi dan misi perjuangan NU.
Begitu juga dengan agama Islam. Dengan berbagai permasalahan yang disebabkan oleh pemeluknya di negeri ini, maka
Jangan salahkan Islam
Jangan lecehkan Islam
Jangan rendahkan Islam
Jangan tuduh dan fitnah Islam, karena Islam tidak salah apa-apa dan tidak akan pernah salah. Perlu ditegaskan bahwa kesalahan-kesalahan yang ditemukan itu bukan karena ajarannya, namun murni karena kesalahan manusia-manusianya.
Para pengidap Islamophobia itu sejatinya tidak paham andil umat dalam sejarah perjuangan Indonesia. Wakil Ketua MPR RI, Dr. Hidayat Nur Wahid juga pernah berkomentar bahwa, “Ini adalah penilaian yang keliru, lantaran kurang mempelajari sejarah. Akibatnya, mereka tidak mengetahui betapa besar pengorbanan dan keterlibatan ulama serta umat Islam dalam perjuangan Indonesia. Ketidak tahuan terhadap sejarah, serta jasa para ulama pada NKRI harus segera diluruskan, agar kebencian itu tidak semakin berbahaya, menjadi bara dalam sekam.”
Mereka tidak paham dan tidak mau paham akan sejarah yang telah jelas memberikan bukti bahwa Islam di Indonesia begitu menjunjung tinggi toleransi dan perdamaian. Lihatlah sejarah di mana Proklamasi pertama akan dilaksanakan. Di sebalik itu, kubu agamis yang dimotori Ki Bagus Hadikusumo dalam memperjuangkan negara Islam akhirnya mengalah demi sebuah persatuan Indonesia.
Bayangkan bila saat itu Ki bagus Hadikusumo bersama para ulama memberikan ultimatum perjuangan kepada segenap kaum muslimin untuk mempertahankan gagasan negara Islam, apakah kira-kira gagasan itu masih tetap bisa dipertahankan saat itu? Tentu sangat bisa!
Namun hal itu tidak pernah dilakukan oleh para pendiri bangsa dari kaum agamis karena mereka tidak mau adanya tumpah darah antar sesama. “Ini adalah bukti nyata mengenai sebegitu besarnya toleransi umat Islam demi sebuah persatuan,” tegas Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi dalam sebuah sesi mimbar ilmiah.
Tidak berhenti di situ, bukti sejarah lain juga hadir seperti peran Natsir dalam menyatukan NKRI melalui Mosi Integralnya sudah lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa Islam dan ajaranya tidak pernah berharap perpecahan. Justru umat Islam memberikan andil besar terhadap persatuan Indonesia.
Oleh karena itu, hari-hari di mana momen peringatan Mosi Integral itu diperingati seharusnya menjadi sebuah momen untuk berefleksi bersama mengenai peran andilnya umat Islam dalam mempertahankan NKRI ini.
Sekali lagi, momen peringatan Mosi Integral ini seharusnya menjadi refleksi nyata bagi segenap masyarakat Indonesia bahwa Islam begitu menjunjung tinggi sebuah persatuan. Dengan adanya berbagai bukti sejarah yang ada, segala tuduhan, fitnah, dll., terhadap Islam seharusnya kembali direnungkan dengan dengan cerdas oleh segenap elemen masyarakat Indonesia.
–
Alangkah lucunya negeriku ini “)