Wajah Peradaban Barat
Oleh: Krisna Wijaya
Dewasa ini, sekali lagi akan kita temui fenomena di mana umat Islam tidak lagi mengenali atau bahkan anti dengan peradabannya sendiri. Lebih parahnya lagi adalah ketika sebagian masyarakat dan cendikiawan muslim malah bangga terhadap peradaban bangsa lain.
Saat ini memang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban Islam sedang dalam fase kemundurannya. Hal ini berpijak dari analisis Ibn Khaldun dalam bukunya Muqaddimah yang menjelaskan bahwa sebuah peradaban itu apabila sudah pernah bangkit berada di puncak, maka tahap setelahnya adalah kemunduran. Hal inilah yang saat ini sedang terjadi pada peradaban Islam.
Kemudian tidak berhenti sampai di situ saja, ketika sebuah peradaban mundur, maka biasanya akan ada peradaban baru yang muncul. Dalam konteks Islam dan era saat ini, tantangan muncul ketika peradaban Barat muncul dan bangkit menjadi peradaban besar mengalahkan kemajuan peradaban Islam.
Cengkeraman hegemoni peradaban Barat tidak main-main, mereka masuk ke segala lini sektor kehidupan manusia. Hal ini sebenarnya telah dideteksi sejak dini oleh cendikiawan-cendikiawan muslim kita. Pada akhir abad ke-20 misalnya, ketika Prof. al-Attas mendeteksi tantangan ini dan gagasan beliau kemudian mengilhami diadakannya sebuah konferensi internasional untuk membahas hal ini kala itu.
Pada tahun 1977, sebuah konferensi pendidikan Islam internasional yang membahas mengenai permasalahan pendidikan umat Islam diadakan untuk yang pertama kalinya. Kota Makkah menjadi tuan rumah kehormatan dalam penyelenggaraan acara ini.
Konferensi itu membahas sebuah topik permasalahan besar yang sedang melanda mayoritas umat Islam di seluruh dunia. Salah satu makalah penting yang diangkat dalam konferensi itu berjudul “The Dewesternization of Knowledge” yang disampaikan oleh Prof. Naquib al-Attas.
The Dewesternization of Knowledge ini merupakan dampak sekaligus tantangan yang timbul akibat bangkitnya peradaban Barat. Pengaruh budaya Barat atau sesuatu yang dikenal dengan istilah “Westernisasi” akhirnya juga mempengaruhi pola hidup masyarakat yang semakin hanyut dalam pola yang berkiblat kepada sistem budaya Barat.
Westernisasi dengan program utamanya sekulerisasi dan liberalisasi ini bukan sekedar isu atau program Barat di bidang politik, ekonomi, dan kebudayaan semata, namun juga menawarkan konsep dalam bentuk wacana hidup (living discourse) yang mendominasi kalangan terpelajar di dunia Islam, termasuk di Indonesia.
Barat dan Sebuah Pandangan Hidup
Tantangan ilmu pengetahuan Barat sebenarnya merupakan isu permasalahan yang telah lama diperbincangkan oleh cendekiawan-cendekiawan kita. Salah satu momentum hal ini dibahas adalah ketika Konferensi Pendidikan Islam Internasional diadakan pertama kali pada tahun 1977.
Sampai kemudian saat ini ketika hegemoni ilmu pengetahuan barat telah benar-benar mengakar di berbagai lini kehidupan kaum muslimin di dunia, terkhusus di Indonesia. Bagaimana tidak, beberapa dasawarnya terakhir ini kita akan melihat fenomena masifnya hegemoni Barat dalam bidang kajian keislaman di tanah air.
Cendekiawan-cendekiawan muslim kita mengadopsi teori-teori dan metodologi pengetahuan Barat dalam setiap pengkajian mereka. Dr. Adian Husaini tatkala menulis karyanya yang berjudul Wajah Peradaban Barat juga menegaskan bahwa,
“Betapa ironinya ketika merunyaknya paham pluralisme agama, penggunaan metodologi hermeneutika untuk penafsiran al-Qur’an, dan sebagainya, tampak begitu mudah diserap. Hal-hal mendasar dalam Islam dibongkar, didekonstruksi, tanpa memikirkan dampaknya dengan serius. Yang lebih merisaikan, persiapan kaum muslim untuk menghadapi “zaman baru” berupa “konfrontasi intelektual” itu begitu minim.”
Konfrontasi intelektual ini sebenarnya terjadi karena akibat dari benturan peradaban (clash of civilization) yang saat ini sedang terjadi. Clash of civilization merupakan sebuah konflik global yang dicetus pertama kali oleh Samuel P. Huntington.
Melalui bukunya yang berjudul The Clash of Civilization and the Remaking of the World Order, Huntington menjelaskan bahwa sumber utama konflik umat manusia kini lebih terfokus karena benturan kultur.
“Jika kultur atau peradaban adalah identitas, maka identitas peradaban itu sendiri adalah worldveiw. Jadi, clash of civilization berindikasi pada clash of worldview,” tegas Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi dalam bukunya berjudul Misykat.
Imbas dari clash of worldview ini bukan hanya terbatas berdampak pada ranah kajian keislaman semata, namun secara umum dan holistik adalah dimana tidak sedikit ilmuan dan cendekiawan muslim di Indonesia menerapkan cara berpikir postmodernisme yang mengusung doktrin liberalisme, pluralisme, relativisme, nihilisme, feminisme-gender, humanisme, dan sebagainya dalam kehidupannya.
Fenomena-fenomena di atas tentu menunjukkan bahwa saat ini memang api peradaban Islam sedang berada dalam titik yang semakin melemah. Hal ini disebabkan arus modernisme dan postmodernisme yang mengalir ke dunia Islam bersamaan dengan globalisasi di era digital telah mengakibatkan terjadinya proses desakralisasi ilmu pengetahuan.
bersambung …
baca juga abad 21