Wajah Peradaban Barat #5
Lanjutan artikel Wajah Peradaban Barat #4
Oleh: Krisna Wijaya
Setelah memahami mengenai permasalahan mengenai dominasi Gereja di zaman Pertengahan, kemudian permasalahan teks Bible, maka sekarang kita akan membahas mengenai sebab ketiga penyebab barat menjadi sekuler liberal, yaitu permasalahan problematika teologi Kristen.
Ketiga, Problematika Teologi Kristen
Membahas mengenai teologi Kristen, maka sejatinya akan kita temui berbagai perdebatan di antara para pemikir dan para teolog Kristen itu sendiri. Dr. C. Groenen misalnya, dalam karyanya Sejarah Dogma kristologi menjelaskan bahwa segala permasalahan-permasalahan teologi Kristen di dunia Barat sana sebenarnya berasal dari kenyataan bahwa konsep Tuhan bagi mereka telah menjadi suatu problem tersendiri.
Hal itu didasarkan pada kesimpulan data risetnya terhadap konsep para teolog besar di era modern, bahwa Groenen telah menyerah akan konsep teologi Kristen itu sendiri. Kembali mengingat di zaman pertengahan, di mana akal dan filosofi di zaman itu tidak digunakaan untuk melandasi pikiran kritis dalam mengamalkan ajaran kristen, namun justru digunakan untuk menjelaskan dan bahkan membenarkan setiap doktrin ajaran Kristen yang ada.
Gronen juga menyebut bahwa berbagai ilmuan-ilmuan yang menjunjung tinggi fungsi rasional akal bahkan sampai pada kesimpulan untuk menundukkan akal di bawah otoritas Gereja. Sikap-sikap para ilmuan di abad pertengahan digambarkan sebagai berikut:
“They did not reject Christian beliefs that were beyond the grasp of human reason and therefore could not be deduced by rational argument. Instead, they held truth such truth rested entirely on relevation and were to be accepted on faith. To medival thinker, reason did not have to acknowledge a supra rational, superhuman standard of truth. They wanted rational thought to be directed by Christian ends and guided by scriptural and ecclesiastical authority.”
Gambaran yang dijelaskan oleh Gronen pada poin “They wanted rational thought to be directed by Christian ends and guided by scriptural and ecclesiastical authority” tentunya begitu menarik untuk digarisbawahi. Hal itu disebabkan karena ketika para ilmuan mendudukkan semua pemikirannya di bawah otoritas Bible dan Gereja, justru kedua hal itu merupakan sumber permasalahan tersendiri kala itu.
Permasalahan-permasalahan itu sebagaimana yang telah kita bahas sebelumnya seperti masalah otentisitas teks Bible itu sendiri. Tidak sedikit ilmuan-ilmuan yang hasil temuannya dalam perkembangan ilmu pengetahuan mengalami benturan dengan pihak Gereja, seperti Geliloe Galilei, Nicolas Copernicus, Giordano Bruno, dll.
Kelompok-kelompok yang menentang pihak Gereja dan tidak menyetujui doktrin resmi Gereja dicap sebagai heretics dan banyak di antaranya yang berakhir dengan diburu dan dibinasakan di bawah otoritas inquisisi Gereja.
Membahas mengenai teologi Kristen sendiri, fakta menjelaskan bahwa doktrin Kristen tidak tersusun di masa Yesus hidup, namun justru beratus-ratus tahuan setelah kewafatannya, yakni pada tahun 325 Masehi dalam momen Konsili Nikea 1.
Konsili Nikea 1 ini adalah sebuah upaya yang dilakukan oleh pada uskup-uskup di dunia dalam usaha mencapai mufakat di dalam Gereja melalui perwakilan majelis permusyawarakatan perwakilan dunia.
Konsili Nikea ini dipelopori oleh Kaisar Konstantinus Agung yang berusaha menuntaskan sengketa berbagai permasalahan teologi kekristenan. Dr. Adian Husaini menjelaskan bahwa melalui konsili ini, aspek-aspek Ketuhanan Yesus diputuskan melalui voting.
Dalam kamus The Interpreter’s Dictionary of the Bible, konsep ketuhanan Yesus juga dijelaskan bahwa hal itu tidak berasal dari zaman Yesus, namun berasal dari zaman Konsili Nicea diadakan, yang dicapai melalui voting. Disebutkan bahwa,
“At Nicea Jesus’s divinity, and the precise nature of his divinity, were estabilished by means of a vote. It is fair to state that Christianity as We know It today derives iltimately not from Jesus’s time, but from the Council of Nicea.
Muhammad Musthafa al-A’zhami dalam bukunya The History of The Quranic Text menjelaskan bahwa menurut Groenen, keimanan memanglah membutuhkan pengetahuan (fides quarens intellectum), tetapi keimanan harus mendahului pengetahuan dan akan selalu melampauhi pengetahuan. Karena sejatinya, Kristologi tidaklah membicarakan mengenai Yesus Kristus itu sendiri, namun justru pikiran orang-orang mengenaiYesus.
Permasalahan yang timbul mengenai konsep Ketuhanan dalam teolog Kristen ini sebenarnya dapat kita maklumi, mengingat bahwa Yesus sendiri dalam Bible tidak pernah menyebutkan bahwa dirinya adalah seorang Tuhan. Permasalahan mulai bermunculan adalah ketika orang-orang setelah wafatnya Yesus mulai memaksakan konsep Tuhan pada dirinya.
Permasalahan Kompleks
Permasalahan trauma Barat terhadap sejarah yang berhubungan dengan dominasi agama, permasalahan teks Bible, dan permasalahan teologi kekristenan selama beratus-ratus tahun telah membuat dan membentuk sikap ‘traumatis’ masyarakat Barat terhadap agama.
Dari penyebab di ataslah kemudian muncul konsep sekulerisasi di dunia Barat, di mana agama benar-benar berusaha ditiadakan dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat sehari-hari. Tidak hanya itu, mereka juga melakukan proses dekonstruksi dan liberalisasi besar-besaran terhadap ajaran Kristen.
Inilah wajah peradaban Barat yang penuh akan permasalahan di dalamnya. Sebagai seorang muslim yang cerdas, sudah seyogyanya bagi kita semua untuk memberikan perhatian khusus terhadap hal ini. Hal ini dilakukan agar kita mampu bersikap adil dan beradab, dengan meletakkan sesuatu sesuai dengan harkat martabat penciptaannya , tanpa harus terbuai oleh gemerlapnya kemajuan peradaban Barat.