pendidikan
Ruang Opini

Landasan Pendidikan Kita

Oleh: Krisna Wijaya

 

Membahas mengenai pendidikan, maka sejatinya kita sedang membahas mengenai masa depan peradaban manusia. Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi juga sering menegaskan mengenai pentingnya pendidikan ini bagi perkembangan peradaban manusia. Beliau menegaskan bahwa pendidikan merupakan pilar utama sebab bangkitnya peradaban-peradaban besar di muka bumi ini.

 

Sebagai sebuah negara yang begitu memperhatikan aspek pendidikan, Indonesia berusaha semaksimal mungkin mengupayakan pemerataan pendidikan bagi segenap rakyatnya. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan nasional (UU Sisdiknas) Pasal 5 telah menegaskan bahwa, “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.

 

UU Sisdiknas ini mengamanatkan kepada pemerintah untuk menjamin pemerataan kesempatan pendidikan di Indonesia. Kemudian membahas mengenai wajib belajar 12 tahun, Direktur Jendral Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah (Paud Dikdasmen) Kemendikbud, Jumeri mengatakan bahwa konsep wajib belajar 12 tahun akan tetap dipertahankan dan dan disingkronkan dengan isi Peta Jalan Pendidikan (PJP) Indonesia 2020-2035.

 

Menyadari begitu pentingnya pendidikan ini, pemerintah Indonesia juga memberikan perhatian besar dalam hal pendanaan pendidikan nasional. Hal ini dibuktikan dengan hasil rapat kerja perdana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bersama Komisi X DPR RI di tahun 2021 menetapkan bahwa 20% dari APBN atau sebesar 550 triliun, dialokasikan untuk dana pendidikan.

 

Upaya-upaya lainnya tentu masihlah banyak, namun poin intinya adalah berbagai upaya di atas menunjukkan bahwa pemerintah benar-benar serius dalam memperhatikan pendidikan nasional. Sayangnya dengan berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah, berbagai permasalahan tanpa henti justru tetap tumbuh subur di negeri kita tercinta.

Dari sini muncul sebuah pertanyaan, apakah pendidikan kita sudah berpijak pada landasan yang tepat?  Apakah tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam UU sudah benar-benar dijadikan landasan pendidikan Indonesia?

 

Adalah menarik bahwa Tujuan Pendidikan Nasional sebagaimana yang tertuang dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 adalah, “… berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menajdi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

 

Dalam UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi juga disebutkan, bahwa salah satu tujuan Pendidikan Tinggi adalah mengembangkan potensi mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa.

 

Tujuan pendidikan nasional yang disebutkan dalam kedua UU tersebut, sejumlah unsur kata kunci adab telah cukup disebutkan. Berdasarkan beberapa UU tersebut, kaum muslimin di Indonesia sebenarnya sudah memiliki landasan yang kuat dalam mewujudkan pendidikan yang berorientasi untuk melahirkan manusia yang baik dan beradab.

 

Terlebih kata kunci iman dan takwa juga disematkan di dalam UU tersebut. Tujuan iman dan takwa ini tidak mungkin bisa dibangun kecuali ada landasan agama yang mendasarinya. Dr. Adian Husaini menjelaskan bahwa ajaran Islam telah memiliki sosok teladan yang sempurna dalam membentuk manusia baik, karena memiliki sosok sempurna yang dijadikan tokoh teladan, yaitu Nabi Muhammad SAW.

 

Sebagai negara yang merdeka atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa (sesuai dengan pembukaan UUD 1945) dan menjadikan aspek ketuhanan sebagai sila pertama dalam Pancasila, Indonesia sebenarnya adalah sebuah negara yang berdiri dengan dasar nilai dan norma agama yang mendasari setiap langkah pergerakannya, terkhusus berdasarkan nilai dan norma dari agama Islam.

 

Terlebih Indonesia merupakan negara dengan populasi pemeluk agama Islam terbesar di dunia. Dengan keadaan yang demikian, seyogyanya pemerintah Indonesia tidak membuat rumusan “manusia baik” yang berbeda dengan rumusan yang telah dirumuskan oleh Islam.

 

Studi kasus dalam pendidikan karakter misalnya, di saat pemerintah membuat kebijakan pendidikan karakter sendiri, dengan mencoba merumuskan rumusan yang diterima oleh semua pihak. Kemendiknas melalui buku paduan pelaksanaan pendidikan karakter menyampaikan bahwa, “Pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila. Hal ini sekaligus menjadi upaya untuk mendukung perwujudan cita-cita sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.”

Lantas apa sebenarnya makna dari akhlak mulia, moral, etika, adab menurut falsafah Pancasila? Bisakah dijelaskan mengenai cara beradab sesuai falsafah Pancasila? Bisakah dijelaskan cara berakhlak mulia berdasarkan falsafah Pancasila?

 

Menjadikan Pancasila sebagai pedoman dan landasan amal, akhlak, dan adab tentunya akan menimbulkan masalah yang serius di kemudian hari. Dr. Adian Husaini dalam karyanya Pendidikan Islam: Mewujudkan Generasi Gemilang Menuju Negara Adidaya 2045 menegaskan bahwa Pancasila seyogyanya tidak dijadikan sebagai ladasan amal, akhlak, ataupun karakter. Sebab, itu sudah masuk ke dalam ranah agama.

 

Kalaupun hal itu tetap dipaksakan, maka pastilah tidak akan berhasil dengan baik. Sebab Pancasila tidak memiliki sosok panutan ideal yang bisa dijadikan tauladan dalam beramal, berakhlak, dan berkarakter yang ideal.

 

Berbeda dengan Islam yang telah memiliki suri tauladan yang jelas dan sempurna, yaitu Rasulullah SAW. Hal ini telah dijelaskan dalam QS. Al-Ahzaab: 21:

 

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

 

 

Artinya, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu uswatun hasanah (suri teladan yang baik) bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”

 

Oleh karena itu, seyogyaya pemerintah Indonesia benar-benar merujuk kepada ajaran agama dalam upaya membentuk manusia yang baik. Kalau Pancasila tetap dipaksakan menjadi dasar falsafah dalam membangun pendidikan nasional, lantas siapa sosok tauladan berpancasila bangsa Indonesia? Apakah Soekarno? Hatta? Atau siapa?

 

Jika pendidikan karakter didasarkan pada landasan falsafah Pancasila, maka pastilah pendidikan karakter itu berpijak pada dasar yang rapuh. Bangsa Indonesia seharusnya belajar dari kegagalan pendidikan di masa Orde Baru karena kala lebih mengedepankan landasan Pancasila dari pada landasan agama.

 

Sekali lagi, sebagai negara yang memegang gelar sebagai negara dengan mayoritas muslim terbesar ini seharusnya benar-benar mendudukkan agama sebagai pilar pendidikan utama, dan bukan malah memisahkan antara pendidikan umum dengan pendidikan agama (dikotomi pendidikan).

Researcher at Centre for Islamic Education and Contemporary Studies (CIECS)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *