Kelebihan dan Kekuranganku
Oleh: Krisna Wijaya
Berbicara mengenai kelebihan dan kekurangan dalam diri manusia, maka sejatinya hal ini telah berada dalam tahap self talk. Self talk ini adalah sebuah tahap yang akan menumbuhkan pengenalan-pengenalan terhadap esensi hakikat ciptaan Allah dalam diri seorang manusia.
Sebagai tanda kebesaran-Nya, segala sesuatu yang ada di sekitar kita memiliki sifat saling berpasang-pasangan. Hal ini selayaknya siang-malam, perempuan-laki-laki, neraka-surga, mati-hidup, begitu juga dengan sebuah konsep dalam diri manusia yang bernama kelebihan dan kelemahan.
Manusia memang dalam penciptaanya merupakan makhluk yang dikatakan sebagai makhluk paling sempurna di antara ciptaan Allah yang lainya. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam QS At-Tin ayat 4 yang artinya: “Sangguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.
Dalam penciptaanya, Allah telah menegaskan bahwa kedudukan manusia begitu mulia dengan hadirnya ayat di atas. Namun Allah juga menegaskan bahwa manusia juga berpotensi sebagai mahluk paling rendah derajatnya di alam semesta ini. Hal ini sebagaimana yang tertuang dalam QS At-Tin ayat 5 yang artinya: “Kemudian Kami mengembalikannya ke(tingkat) yang serendah-rendahnya”.
Kedua ayat di atas telah menjelaskan dengan tegas bahwa potensi kebaikan dan keburukan itu selalu berjalan dan beriringan dalam sebuah keterpaduan. Jadi tidak ada satupun makluk di dunia ini yang diciptakan hanya memiliki sisi kesempurnaan saja dalam penciptaannya. Bahkan untuk ciptaan sekelas malaikat sekalipun.
Oleh karena itu, seyogyanya sebagai seorang manusia, hal ini harus dipikirkan dengan baik agar kita mampu menyikapi segala kekurangan yang ada dalam diri kita dengan bijak. Ketidakmampuan seseorang dalam mengenali diri sendiri ini sering menyebabkan seseorang mencampuradukkan ruang fiksi dan ruang nyata untuk menutupi berbagai kekurangannya yang dimilikinya. Hal inilah yang di era Postmodern ini dikenal dengan hiperrealitas (hyperreality).
Hiperrealitas ini adalah sebuah konsep yang muncul dari teori simulasi yang dicetuskan oleh Jean Baudrillard, salah satu pemikir kunci pada tahun 1970-an yang kala itu sedang hangat-hangatnya membahas mengenai era postmodernisme.
Hiperrealitas ini kemudian lebih nampak gejalannya di tengah-tengah arus globalisasi yang terjadi. Di era modern itu, perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) apabila dibiarkan begitu saja tanpa ada rambu-rambu khusus dalam upaya meresponnya akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari. Karena jika hanya menikmati perkembangan IPTEK saja, niscaya kehidupan manusia akan kering dan hampa dalam perjalanannya.
Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia, Prof. Dr. Elizabeth Kristi Poerwandari dalam pidato pengukuhannya juga menegaskan bahwa kehadiran media sosial di tengah-tengah kehidupan kita saat ini akan memberikan dampak terkikisnya jati diri dan eksistensi keberadaan manusia yang sebenarnya.
“Ini karena pengguna media sosial cenderung membandingkan diri dengan teman sebaya yang tampil lebih cantik, kaya, lebih banyak teman, lebih keren, pandai, atau lebih internasional di media sosial. Akhirnya cara manusia mengukur nilai diri menjadi lebih superfisial, permukaan, dan shallow. Penampilan, status sosial, dan kemakmuran menjadi lebih penting daripada spiritualitas, kedamaian diri, ataupun pengetahuan,” tutur Prof. Elizabeth dalam pidato pengukuhannya.
Kondisi seperti ini akan menyebabkan masyarakat tidak mampu membedakan antara kehidupan nyata (real) yang ada di sekitarnya dengan kehidupan yang disajikan oleh media. Apabila fenomena ini terus berlanjut, maka Baudrillard menyebut terjadinya fenomena ecstasy of communication, yaitu fenomena di mana manusia hidup di depan kayar media dan atau bahkan telah menjadi bagian dari kehidupannya.
Fenomena hiperrealitas ini sebenarnya adalah bentuk dari ketikdakmampuan seseorang dalam mendudukkan dirinya dengan baik sesuai dengan harkat dan martabat penciptaannya. Mereka tidak bisa menerima mengenai kenyataan bahwa dirinya memiliki kekurangan yang bersemayam dalam dirinya.
Akhirnya berbagai upaya dilakukan agar kekurangan itu tidak terlihat dan dianggap sebagai seseorang yang sempurna dalam berbagai hal. Fakta ini bisa dilihat dari fenomena anak muda zaman sekarang yang selalu mempost foto dirinya di media sosial setelah melewati berbagai upaya editing sebelumya yang justru terkesan berlebihan dalam penggunannya.
Editing itu dilakukan untuk menutupi berbagai kekurangan-kekurangan yang bersemayam dalam dirinya. Inilah yang oleh Baudrillard dan Prof. Elizabeth disebut dengan fenomena hiperrealitas di era postmodern saat ini.
Fenomena hiperrealitas yang terjadi di tengah-tengah masyarakat ini juga merupakan bentuk kekurang cintaan seseorang terhadap dirinya sendiri. Mereka tidak puas akan apa yang dimiliki oleh tubuhnya saat ini dan berusaha menyempurnakan kekurangan itu dengan cara mencampuradukkan antara realitas maya dan realitas nyata tanpa ada batasan yang berarti.
Kita sepertinya harus kembali mengingat nasihat Prof. BJ. Habibie mengenai hakikat cinta yang sebenarnya. Beliau pernah menyampaikan bahwa, “Cinta sejati itu memandang kelemahan lalu diubah menjadi sebuah kelebihan untuk selalu mencintai.”
Kalau kita melihat berbagai kelemahan dalam diri kita, maka rubahlah itu menjadi sebuah kelebihan untuk menjadi alasan kita mencintai diri kita sendiri 🙂