Kurikulum Manusia Takwa
Oleh: Krisna Wijaya
Bulan kemenangan itu telah melewati kita semua. Dia telah berjalan melewati kita dan akan kembali dinanti-nanti kedatanganya pada kesempatan yang akan datang. Bulan yang diberikan title sebagai “Bulan Kemenangan” ini memang Allah siapkan khusus untuk melahirkan manusia-manusia bertakwa. Sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Baqarah Ayat 183:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
Manusia takwa ini adalah predikat terbaik yang bisa diraih setelah melewati proses pendidikan di bulan yang mulia ini. Takwa ini juga merupakan status ideal yang dimiliki oleh seorang muslim. Sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Hujurat Ayat 13:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ
Artinya: “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu”.
Saking pentingnya konsep takwa ini, dalam UUD 1945 Pasal 31 juga ditegaskan bahwa takwa ini adalah inti dari tujuan pendidikan nasional. Pasal itu berbunyi, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dalam undang-undang.”
Idealnya basis takwa ini menjadi sebuah asas rujukan dan pedoman dalam merancang kurikulum pendidikan di Indonesia. Bentuk Ideal itu seharusnya diwujudkan oleh pemerintah dalam bentuk penetapan tujuan, kurikulum, program, evaluasi pendidikan yang berbasiskan aspek ketakwaan.
Hal itu tentunya harus diturunkan dalam bentuk indikator-indikator yang lebih terperinci dan bersifat lebih operasional. Sebagai contoh, dalam QS Al-Baqarah Ayat 2-3 telah disebutkan bahwa kriteria manusia bertakwa adalah seseorang yang beriman kepada al-ghaib, mendirikan shalat, menginfakkan sebagian rizki yang diberikan Allah. Telah tegas dalam ayat ini,
الَّذِیۡنَ یُؤۡمِنُوۡنَ بِالۡغَیۡبِ وَ یُقِیۡمُوۡنَ الصَّلٰوۃَ وَ مِمَّا رَزَقۡنٰہُمۡ یُنۡفِقُوۡنَ ۙ
Artinya: “(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka”.
Seyogyanya pendidikan nasional harus menjadikan kriteria-kriteria takwa di dalam al-Qur’an sebagai target pencapaian tujuan akhir dari pendidikan yang ada. Penyemaian keimanan, pelaksanaan zakat, sholat, dan berbagai ibadah lainnya yang menjadi kriteria-kriteria manusia takwa seharusnya menjadi kurikulum inti pendidikan nasional dan bahkan menjadi standar kelulusan peserta didik yang beragama Islam.
Hal itu tentunya juga berlaku pada kepercayaan agama lainnya yang diakui oleh konstitusi negara kita. Bila hal ini benar-benar diupayakan, maka siswa ataupun mahasiswa yang tidak menjalankan ibadah dengan baik sesuai dengan agamanya masing-masing sepatutnya untuk tidak diluluskan.
Institusi Pendidikan Takwa
Salah satu penyebab kehampaan yang menghinggapi institusi-institusi pendidikan kita saat ini adalah dikarenakan aspek intelektualitas masih sangat berperan dominan daripada aspek spiritualitas dalam tubuh pendidikan kita.
Tolok ukur untuk mengukur sebuah institusi pendidikan salah satunya bisa dilihat dari proses evaluasi pendidikan yang terjadi. Di mulai dengan pertanyaan, apakah unsur ketakwaan itu menjadi pilar aspek evaluasi pendidikan ataukah tidak?
Sebuah institusi pendidikan seharusnya berani bersikap tegas dalam memutuskan sanksi atau bahkan tidak naik kelasnya seorang peserta didik dan mahasiswa apabila benar-benar tidak melaksanakan beberapa kewajiban kriteria manusia takwa seperti yang telah dirumuskan.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Anwar Makarim dalam sebuah pidatonya pernah menegaskan bahwa, “Kita memasuki era di mana gelar tidak menjamin kompetensi; kita memasuki era di mana kelulusan tiak menjamin kesiapan berkarya; kita memasuki era di mana akreditasi tidak menjamin mutu; kita memasuki era di mana masuk kelas tidak menjamin belajar.”
Penjelasan Mendikbud ini benar-benar menyadarkan kita bahwa saat ini kita sedang berjalan di tengah-tengah arus era disrupsi. Lantas, adakah yang bisa menjamin kebaikan di era saat ini? Jawabannya tentu dengan kembali kepada nilai dan ajaran Islam. Tidak terkecuali hal ini juga berlaku di dunia pendidikan.
Kembali mengingatkan bahwa Imam Malik Rahimahullah pernah berkata,
“لا يصلح آخر هذه الأمة إلا بما صلح به أولها”
Artinya: “Tidak akan baik generasi akhir umat ini kecuali dengan apa yang membuar generasi awalnya menjadi baik”.
Oleh karena itu, baik atau tidaknya kualitas dan keadaan pendidikan nasional kita sejatinya tergantung dari keberanian pemerintah dalam menempatkan ajaran agama sebagai pilar berlangsungnya pendidikan di Indonesia.
bersambung …