Pendidikan di UNIDA Gontor Bukanlah Hak Setiap Orang
Oleh: Krisna Wijaya
Sabtu, 14 Mei 2022 kemarin, Alhamdulillah atas izin Allah kudapat berkunjung dan bersua kembali dengan ustadzunaa Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi di kediamannya setelah lama memendam kerinduan tidak berjumpa dengan beliau karena liburan akhir semester. Hal ini kulakukan untuk mengukirkan lebih banyak kisah yang bermakna bersama beliau di universitas peradaban ini.
Kalaulah tidak bisa bertemu dengan intelektual muslim sekaligus pakar peradaban Islam dan Barat, Syed Muhammad Naquib al-Attas secara langsung, maka setidaknya kuharus menggoreskan kisah yang penuh makna bersama murid-murid beliau, termasuk salah satunya adalah Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi.
Perguruan Tinggi Terbaik, Lagi?
Dalam kesempatan ini, kucoba membuka diskusi dengan memaparkan sebuah artikel yang pernah kutuliskan mengenai konsep kampus terbaik. Ketika kupaparkan kesimpulan yang menjelaskan bahwa UNIDA Gontor merupakan kampus terbaik di Jawa Timur, kami sedikit tertawa bersama karena hal ini.
Kami tertawa bersama karena title perguruan tinggi terbaik merupakan sebuah candaan yang lucu kalau asal-asalan diucapkan. Terlebih kata “terbaik” sebenarnya juga perlu diuraikan kembali maknanya agar mendapatkan definisi yang tepat sesuai dengan hakikat kedudukan yang sebenarnya.
Kita sering terbuai dengan definisi-definisi universitas terbaik yang beredar di tengah-tengah kita. Sebagian dari kita memahami bahwa universitas terbaik adalah universitas yang mampu menghasilkan lulusan yang banyak diterima di dunia pekerjaan.
Sebagian lagi juga mendefinisikan universitas terbaik sebagai sebuah universitas yang memiliki riset penelitian yang sangat maju, gedung-gedung pencakar langit yang besar, jumlah mahasiswa yang sangat banyak, dan berbagai definisi lainnya yang sangat bervariasi.
Saking banyaknya definisi mengenai universitas terbaik, akhirnya kita justru bingung dalam menentukan manakah definisi yang paling tepat. Padahal kita harus pahami bahwa universitas terbaik adalah universitas yang visi dan misinya paling sejalan dengan tujuan pendidikan naisonal, yaitu untuk melahirkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Apa gunannya sebuah universitas yang memiliki mahasiswa sangat banyak, gedung-gedung besar, penelitian sains yang begitu maju, namun tidak menjadikan agama sebagai pilar pendidikan universitas tersebut?
Bukan Hak Setiap Orang
Setelah melewati proses analisis yang panjang, akhirnya Prof. Naquib al-Attas kemudian di susul oleh Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud sampai pada kesimpulan bahwa pendidikan tinggi bukanlah hak yang bisa didapatkan oleh setiap orang.
“Pendidikan tinggi bukanlah hak setiap orang” memiliki makna bahwa hanya orang-orang baik (good man) dan beradab (insan adabi) saja yang berhak untuk mendapatkan hak pendidikan tinggi.
Hal ini bukan sebatas gagasan yang rasa-rasanya tanpa dasar semata, namun menimang bahwa perbaikan atas permasalahan kekacauan ilmu di dunia pendidikan harus diselesaikan pertama kali dari ranah perguruan tinggi.
Sebab, kekeliruan dan kerancuan ilmu di pendidikan tinggi itu apabila dibiarkan akan menghasilkan sarjana yang akan menerapkan ilmunya di peringkat pendidikan yang lebih rendah. Oleh karena itu, perbaikan dalam ranah ini akan menjadi penentu keadaan masa depan bangsa kita ke depannya.
Kekhususan hak dalam mengenyam perguruan tinggi ini sebenarnya merupakan turunan yang lebih bersifat aplikatif dari konsep adab yang pernah diinisiasi oleh Prof. al-Attas. Dr. Muhammad Ardiansyah dalam disertasinya menjelaskan sangat detail mengenai penerapan adab dalam pendidikan perguruan tinggi.
Salah satu komponen yang dijabarkan oleh Dr. Ardiansyah dalam disertasinya adalah menjadikan adab sebagai sebuah komponen yang digunakan untuk melakukan evaluasi pendidikan. Dalam disertasinya, Dr. Ardianysah menjelaskan bahwa perlunya memformulasikan sebuah sistem evaluasi pendidikan berbasis adab yang akan menjadi penentu keberhasilan atau kegagalan studi seorang mahasiswa.
Artinya, adab ini akan menjadi penentu dalam keberhasilan studi seorang mahasiswa di universitas tersebut. Alhasil, adab seorang mahasiswa bukan hanya menjadi syarat seorang mahasiswa untuk lanjut ke jenjang yang lebih tinggi lagi, namun juga bisa bersifat sebaliknya.
Beberapa perguruan tinggi di Indonesia sebenarnya telah mencoba mengadopsi konsep adab ini dalam kurikulum pendidikannya. Beberapa di antaranya seperti Universitas Ibnu Khaldun Bogor, Universitas Darussalam Gontor, dll.
Dr. Adian Husaini dalam sebuah kesempatan pernah bercerita mengenai konsep adab yang menjadi tolok ukur evaluasi pembelajaran mahasiswa di UIKA Bogor ini. Seorang mahasiswa UIKA bogor kala itu sedang mempersiapkan persiapan untuk melaksanakan ujian sidang tugas akhir, namun akhirnya dibatalkan dan diundur menjadi semester depan karena memberi tumpangan kepada teman perempuan bukan mahromnya.
Sanksi tegas pengunduran ujian selama 6 bulan lamannya ini dilakukan karena mahasiswa tersebut tidak beradab terhadap perempuan bukan mahramnya. Tidak hanya di UIKA Bogor, evaluasi pendidikan berbasis adab ini ternyata lebih tegas penerapannya di UNIDA Gontor. Hal ini kurasakan sendiri sebagai seorang mahasantri di universitas peradaban ini.
Perlu ditegaskan bahwa Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi selaku Rektor UNIDA Gontor pernah menegaskan bahwa universitas ini adalah tempat bagi orang baik dan hanya melahirkan (meluluskan) orang yang baik juga.
Bahkan walau tersisa satu mahasiswa sekalipun, UNIDA Gontor akan tetap berjalan ke depan untuk berusaha mencetak manusia baik ini. Tidak ada ruang sedikitpun bagi manusia jahat (pelanggar syariat) untuk tetap berada di universitas ini.
Dalam permasalahan dengan lawan jenis misalnya, berkhalwat, bergandengan tangan, dll., barangkali dianggap biasa dan dirasa bukan sebuah permasalahan yang menjadi tanggung jawab kampus untuk mengatur hubungan antara mahasiswa dengan mahasiswnya. Namun hal-hal kecil yang berpotensi melanggar syariat ini begitu ditekankan di kampus Darussalam ini.
Di luar sana, universitas berstatus terbaik, bahkan bercorakkan Islam sekalipun tidak akan terlalu memperhatikan hubungan antara mahasiswa dan mahasiswanya apabila telah berada di luar wilayah kampus. Tidak bisa kita hitung dengan pasti berapa jumlah universitas-universitas yang membiarkan mahasiswa dan mahasiswinya berkhalwat atau jelas-jelas berpacaran di lingkungan kampus.
Berbeda dengan UNIDA Gontor yang begitu memperhatikan permasalahan ini. Tidak ada satupun khalwat ataupun hubungan terlarang antar mahasiswanya yang berpotensi melanggar syariat yang akan dibiarkan begitu saja. Hal ini berlaku bagi S1, S2, atau bahkan S3 yang tidak akan diluluskan apabila terindikasi melakukan perbuatan melanggar syariat.
Fenomena-fenomena pelanggaran syariat itu hanyalah sebuah fragmen dari sekian banyak fragmen bentuk pelanggaran syariat yang sering terjadi di tengah-tengah kehidupan kampus di Indonesia. Hal ini lagi-lagi mengarah kepada sebuah pangkal permasalahan yang oleh Prof. al-Attas, Prof. Hamid, dll., simpulkan sebagai buah dari loss of adab.
Oleh karena itu, UNIDA Gontor sudah sejak dahulu menerapkan konsep evaluasi pendidikan berbasis adab ini guna mencetak insan-insan adabi. Alhasil, UNIDA Gontor tidak akan meluluskan mahasiswa atau mahasiswinya yang terindikasi melanggar syariat Islam dan hanya akan meluluskan insan-insan yang baik dan beradab saja.
Inilah salah satu alasan mengapa pendidikan di UNIDA Gontor bukanlah hak setiap orang. Karena hanya orang-orang beradab saja, yaitu orang-orang yang mampu mendudukkan segala sesuatu hal sesuai dengan harkat martabat penciptaanya saja yang bisa melewati dan memaksimalkan pendidikan di UNIDA Gontor.
Walaupun barangkali belum mendapat hasil yang maksimal, namun setidaknya UNIDA Gontor telah berani mengambil jalan berbeda dibandingkan yang lainnya. Dengan penerapan konsep evaluasi berbasis adab ini, akan lahir darinya orang-orang baik (good man) dan beradab (insan adabi) yang akan memperbaiki keadaan negeri ini menjadi lebih baik. Inilah salah satu corak khas UNIDA Gontor yang bisa dikatakan terbaik apabila mengacu pada konsep pendidikannya yang berbasiskan kepada adab.