Lo Gue Butuh Tahu (LGBT)
Oleh: Krisna Wijaya
Baru-baru ini, isu mengenai LGBT sedang ramai kembali diperbincangkan di tanah air kita. Awal mulanya adalah bersumber dari sebuah podcast Deddy Corbuzier yang mewawancari pasangan homoseksual dalam kanal Youtubenya. Video podcats yang diberi judul “Tutorial Jadi G4y di Indo!!” itu tentunya begitu memprovokasi masyarakat Indonesia yang notabenenya mayoritas beragama Islam.
Setelah beberapa saat menimbulkan kontroversi yang hebat, Deddy akhirnya meminta maaf dan menghapus video berkonten LGBT itu. Dalam klarifikasinya, dia sebenarnya tidak mendukung paham LGBT ini, namun hanya berusaha menunjukkan bahwa keberadaan mereka itu nyata di tengah-tengah kita.
Niat Deddy barangkali hanya sekedar memberi tahu masyarakat bahwa keberadaan mereka adalah sebuah hal yang tidak bisa dinafikan di tengah-tengah kita, namun sayangnya Deddy lupa bahwa latar belakang filosofi bangsa kita tidaklah cocok dengan paham LGBT ini.
Bangsa kita memanglah sebuah bangsa yang kaya akan perbedaan di dalamnya, namun perlu kita tegaskan bahwa tidak semua perbedaan dapat diterima oleh nilai dan norma yang berlaku di Indonesia.
Respon keras masyarakat terhadap podcast LGBT ini menunjukkan kepada kita bahwa ada hal-hal yang itu bisa ditoleransi perbedaannya dan ada hal-hal yang itu tidak bisa ditoleransi keberadaannya. “Kami memang toleransi terhadap perbedaan, namun bukan pada penyimpangan”, adalah respon yang paling sering dituliskan di kolom komentar podcast tersebut.
Ketika isu ini mulai di take down karena mendapat berbagai kecaman keras dari berbagai pihak, Dr. Adian Husaini dalam tulisannya mengajak untuk bersyukur atas fakta bahwa masyarakat Indonesia, terkhusus umat Islam masih memiliki kepekaan terhadap promosi sebuah penyimpangan yang dilakukan secara terang-terangan.
Jangan Sampai Menyesal
Guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Euis Sunarti dalam karyanya Jangan Sampai Menyesal: Lindungi Keluarga dan Generasi penerus Bangsa dari Gerakan Kebebasan Orientasi dan Perilaku Seksual Menyimpang (IPB Press, 2021) memperingatkan mengenai bahaya perkembangan LGBT di Indonesia apabila tidak diperhatikan dengan serius.
Prof. Euis memang dikenal sebagai seorang guru besar ketahanan dan pemberdayaan keluarga di IPB. Melalui karyanya ini, beliau menekankan kepada setiap keluarga agar memperhatikan permasalahan orientasi seksual menyimpang yang berdalihkan kebebasan hak manusia.
Tidak ada yang namanya kebebasan hak asasi manusia dalam memilih orientasi seksual kalau hal itu malah berlawanan dengan fitrah penciptaan manusia. Walaupun di berbagai negara Barat telah melegalkan LGBT sebagai bagian dari HAM, namun kita harus ingat bahwa pemaknaan terhadap HAM itu sangat tergantung pada para penafsirnya.
LGBT yang oleh sebagian negara Barat anggap sebagai bagian dari HAM tidak bisa serta merta disamakan keadaanya di seluruh negara yang ada, terkhusus negara yang meyoritas di dalamnya memeluk agama Islam.
Di Barat, boleh saja LGBT ini dilegalkan menjadi bagian dari hak asasi seorang manusia, namun hal itu tidak serta merta berlaku di Indonesia. Qurrata Ayuni, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia dalam INSISTS Saturday Forum (ISF) menjelaskan bahwa perkembangan konsep HAM di Barat yang terinspirasi dari peristiwa dan nilai-nilai Revolusi Perancis (liberte, egalite, dan fraternite) sangat berbeda dengan konsep HAM di Indonesia.
Konsep HAM yang ada di Barat itu bersifat sangat bebas dan tanpa pembatasan akan norma dan nilai-nilai agama tertentu. Berbeda dengan konsep HAM di Indonesia yang memiliki batasan-batasan tertentu yang didasari oleh norma dan nilai-nilai keagamaan yang disahkan oleh konstitusi.
Para pemikir konstitusi kita telah jelas menetapkan sebuah klausul dalam Pasal 28 J UUD 1945 yang membolehkan untuk memberikan pembatasan terhadap penerapam HAM di Indonesia. Pasal ini menjadi sebuah kunci pembeda yang menegaskan bahwa kebebasan HAM yang ada di Indonesia ini berbeda dengan kebebasan liberal yang ada di Barat sana.
Dalam upaya pembatasan HAM di Indonesia, setidaknya ada empat alat uji yang digunakan untuk membatasi HAM menurut konstitusi. Keempat hal itu adalah dengan pertimbangan agama, keamanan, ketertiban umum, dan pertimbangan moral.
Usaha dalam menjadikan LGBT sebagai bagian dari HAM di Indonesia tentunya adalah sebuah kejahatan yang sangat nyata. Mengibarkan bendera LGBT di Indonesia saja sudah salah, apalagi dengan mengesahkannya menjadi bagian dari HAM.
Berkaca dari tindakan Kedutaan Besar Inggris di Jakarta yang mengibarkan bendera LGBT pada tanggal 18 Mei 2022 kemarin sebagai bentuk peringatan terhadap hari Anti-Homofobia dunia. Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid mengecam keras dan menyebut bahwa tindakan yang dilakukan oleh Kedubes Inggris ini adalah sebuah bentuk imperialisme hak asasi manusia.
Hidayat Nur Wahid menilai bahwa tindakan mengibarkan bendera saja sudah termasuk dalam jenis imperialisme HAM karena memaksakan konsep HAM asing yang dianut Kedubes Inggris di Indonesia, apalagi sampai melegalkannya secara konstitusi. Padahal sudah jelas bahwa HAM di Indonesia memiliki aspek lokalitas yang sangat dipengaruhi oleh faktor spiritualitas keagamaan.
Apabila ada sebagian oknum yang dengan sengaja mengupayakan legalisasi LGBT sebagai bentuk keadilan HAM di Indonesia, maka sejatinya inilah bentuk penjajahan yang sangat kejam saat ini. Mengaku sebagai warga negara Indonesia, namun berusaha membentur-benturkan nilai dan norma yang akan berujung kepada perpecahan.