kebanggaan
Ruang Buku

Sebuah Kebanggaan

Oleh: Krisna Wijaya

 

No Civilization can prosper, or even exist, after having lost this pride and the connecting with its own past

Muhammad Asad, Islam at the Crossroads

 

Membahas mengenai peradaban, saat ini kita akan melihat sebuah peradaban besar yang sedang berdiri memimpin di puncang dunia. Sebuah peradaban yang memimpin dunia karena kemajuan sainsnya, karena kemajuan ilmu pengetahuannya, dan karena kemajuan perkembangan teknologinya, yaitu peradaban Barat.

 

Dengan keadaan peradaban Islam yang saat ini sedang mengalami kemunduran dalam berbagai bidang, di antara kita barangkali mulai bertanya-tanya tentang kehebatan peradaban Islam itu sendiri, apakah peradaban Islam itu benar-benar hebat? Bukankah kehebatan peradaban Islam hanya terlukiskan dalam kisah sejarah saja? Apa yang harus dibanggakan dari peradaban Islam kalau itu hanyalah sebatas kisah sejarah yang tidak berbekas?

 

Terlebih hal itu diperkuat dengan melemahnya kualitas umat Islam yang menjadi pelaku dari berbagai kerusakan yang ada di negeri ini. Korupsi, pembunuhan, pencurian, pemerkosaan, dll., ternyata banyak dilakukan oleh orang-orang yang notabenenya beragama Islam di KTP-nya.

 

Dengan realitas lapangan yang terjadi, wajar rasannya kalau umat Islam, terkhusus yang lahir dari Generasi Alfa saat ini memiliki rasa tidak bangga terhadap sejarah peradaban Islam itu sendiri. Karena kebesaran peradaban Islam seperti tersisa sebatas remah-remah sejarah saja.

 

Sejarah dan Kebanggaan

Berbicara mengenai kebangkitan, Dr. Adian Husaini dalam sebuah forum diskusi di INSISTS menegaskan kembali pemikiran seorang cendekiawan Yahudi bernama Leopold Weiss yang kemudian masuk Islam dan berganti nama menjadi Muhammad Asad mengenai keruntuhan peradaban dunia.

 

Ketika membahas mengenai hal itu, Muhammad Asad dalam karyanya Islam at the Crossroads sampai pada kesimpulan bahwa, “ No civilization can prosper, er even exist, after having lost this pride and the connection with its own past.

 

Merujuk dari kesimpulan analisis di atas, Dr. Adian Husiani kemudian menyimpulkan bahwa kunci kebangkitan sebuah peradaban itu ada dua, yaitu sebuah kebanggaran dan pemahaman mengenai sejarah yang telah berlalu.

 

Tidak bangganya umat Islam terhadap sejarahnya sendiri ini disebabkan oleh berbagai faktor penentu penyebab terjadinya. Namun faktor yang paling jelas adalah terputusnya nilai sejarah yang menggambarkan betapa besarnya peradaban Islam di dunia, terkhusus ketika di Indonesia pada generasi zaman modern.

 

Lagi-lagi permasalahan ini pada pangkalnya adalah bersumber dari dunia pendidikan sebagai akar permasalahannya. Dr. Haidar Bagir dalam karyanya Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia telah menjelaskan panjang lebar mengenai permasalahan ini.

 

Lebih spesifiknya lagi, Dr. Adian Husaini menganalisis masalah ini dan sampai pada sebuah kesimpulan bahwa pendidikan sejarah di Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Umat Islam yang tidak memiliki kebanggaan terhadap sejarahnya sendiri itu sebenarnya akibat dari pengajaran sejarah yang kurang baik ketika di bangku sekolahnya dahulu.

 

Dalam karyanya Pendidikan Islam: Mewujudkan Generasi Gemilang Menuju Negara Adidaya 2045, Dr. Adian mengingatkan kepada kita bahwa adanya sebuah rekayasa sejarah yang berusaha menonjolkan unsur Hindu-Budha daripada Islam itu sendiri.

 

Peringatan serupa juga disampaikan oleh pakar-pakar sejarah yang lain seperti Prof. al-Attas dalam karya beliau Islam dalam Sejarah Kebudayaan Melayu, Juri Lina dalam karyanya Architects of Deception: The Concelead History of Freemasonry, Sun Tzu dalam karyanya The Art of War, dll.

 

Berbagai sejarawan di atas kemudian sampai pada kesimpulan bahwa tidak perlu usaha besar (perang senjata) untuk menghancurkan sebuah bangsa yang besar, tetapi cukup dengan menghapuskan pengetahuan mereka atas sejarah emas para leluhurnya, maka mereka akan hancur dengan sendirinya.

 

John Hold dalam karyanya How Children Fail telah menjelaskan bahwa, “Kegagalan akademisi siswa bukanlah akibat dari tidak adanya/kurangnya upaya yang dilakukan oleh sekolah, melainkan justru akibat ‘ulah’ sekolah itu sendiri.”

 

Dari pernyataan Hold tadi, maka dapat disimpulkan bahwa terputusnya kebanggaan masyarakat Indonesia terhadap sejarah keemasan Islam itu sebenarnya disebabkan dari pengajaran sejarah di bangku sekolah yang berusaha meniadakan jejak-jejak keemasan Islam di dalamnya.

 

Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar sudah mengkritik keras pengajaran sejarah yang berusaha meniadakan unsur-unsur Islam sejak tahun 1960-an dahulu. Beliau menyayangkan pengajaran sejarah di bangku sekolah yang lebih memuja Gajah Mada ketimbang Raden Patah.

 

Seyogyanya pemerintah, terkhusus Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan lebih selektif dan lebih memperhatikan lagi dalam menentukan materi sejarah yang akan diajarkan di kurikulum sekolah.  

 

Guru-guru sejarah di sekolah seharusnya diwajibkan menyusun materi pembelajarannya dengan merujuk buku Api Sejarah karya Prof. Ahmad Mansur Suryanegara yang menggambarkan perjuangan ulama dan santri untuk Indonesia sebagai sebuah sumber rujukan primer dalam menyusun bahan pembelajaran.

 

Dengan upaya perbaikan sejarah di atas, kita berharap bahwa umat Islam generasi sekarang akan paham  dan bangga dengan sejarahnya sendiri tanpa membanggakan sejarah keemasan peradaban bangsa lainnya. Inilah yang akan menjadi salah satu kunci kebangkitan peradaban Islam di masa mendatang, yaitu bangga dan paham dengan sejarah keemasan Islam itu sendiri.

 

 

baca juga LGBT

 

 

 

Researcher at Centre for Islamic Education and Contemporary Studies (CIECS)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *