Multikultural
Pemikiran

Multikultural: Menerima dan Membatasi Perbedaan

Oleh: Krisna Wijaya

 

Berbicara mengenai pluralitas, Yewangoe Susanto dalam karyanya Indonesia Satu Indonesia Beda Indonesia Bisa menjelaskan bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang terbentuk di atas kemajemukan yang sangat kompleks.

 

Kemajemukan itu dibuktikan dengan keanekaragaman suku di Indonesia (Batak, Jawa, Bugis, dll), berbagai etnis agama yang berbeda (Budha, Kristen, Islam, dll), berbagai ras yang berbeda (baik campuran ataupun asli), berbagai kerajaan yang berbeda (Sriwijaya, Demak, Aceh, dll), dll.

 

Dengan realitas sosial yang terjadi ini, berbagai peneliti kemudian menyimpulkan bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat heterogenitas yang sangat tinggi dan dikatakan sebagai negara paling plural di dunia.

 

Realitas plural ini kemudian menghadirkan sebuah paham yang bernama multikulturalisme di antara kita, sebuah paham di mana orang-orang akan diajak untuk menerima adanya perbedaan dan mengesampingkan perbedaan itu demi sebuah persatuan.

 

Di dalam sumber-sumber literatur yang ada, kita akan dihadapkan dengan definisi-defisini beragam mengenai makna multikulturalisme itu sendiri. Setiap orang berusaha mendefiniskannya sesuai dengan worldview yang dimiliki oleh orang tersebut.

Sebagaimana yang ditekankan oleh Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi bahwa setiap tulisan dibangun atas susunan kata yang saling memaknai. Terlebih setiap makna memiliki sebuah konsep tertentu yang ingin disampaikan dan setiap konsep dihasilkan dari ideologi atau worldview tertentu.

 

Begitu juga dengan konsep kemajemukan atau multikulturalisme ini. Perlu kita ketahui bahwa setiap peradaban memiliki worldview-nya masing-masing yang dibangun dari latar belakang yang berbeda-beda dan tidak bisa disatukan begitu saja dalam merespon dan menanggapi realitas kemajemukan yang terjadi ini.

 

Upaya penyatuan dan pemaksaan paham secara paksa mengenai definisi multikulturalisme ini apabila dibiarkan begitu saja akan berujung pada benturan peradaban. Kholili Hasib dalam bukunya Teologi Kaum Postmodern: Telaah Kritis Atas Pemikiran Mohammed Arkoun mengistilahkannya benturan peradaban ini dengan istilah clash of worldview.

 

Maka dari itu, di tengah-tengah definisi yang beredar di masyarakat, seyogyanya kita mendudukkan makna multikultural ini sesuai dengan timbangan worldview Islam. Permasalahan sering hadir adalah ketika kita memandang dan melihat realitas sosial/alam yang terjadi tidak menggunakan worldview Islam, namun menggunakan worldview sekuler.

 

Memaknai multikulturalisme dengan menggunakan worldview sekuler adalah sebuah kesalahan karena akan menghantarkan kepada pemaknaan yang kurang tepat. Karena apabila dari pemaknaan saja sudah salah, maka akan menghantarkan kepada tujuan yang salah juga.

Merujuk dari berbagai literatur yang ada, multikulturalisme ini biasa dimaknai sebagai sebuah ideologi yang mengakui keberagaman dan mengedepankan asas persatuan tanpa berusaha mendominasi satu dengan yang lainnya di ruang publik.

 

Pada sebagian literatur bahkan disebutkan bahwa multikulturalisme ini merupakan sebuah pandangan yang mengharuskan masyarakat untuk mengapresiasi perbedaan-perbedaan yang ada dan menilai perbedaan itu secara positif apabila ingin menjaga perdamaian dan kesatuan yang ada.

 

Definisi-definisi di atas seakan-akan bercorakkan semangat Bhineka Tunggal Ika, namun sejatinya merusak akidah umat Islam apabila kita tidak berhati-hati. Kita perlu mempertanyakan, apa yang dimaksud mendominasi di ruang publik? Dalam ranah agama misalnya, apakah artinya kita tidak boleh mengklaim kebenaran (truth claim) agama kita di ranah publik? Dan sebatas menyimpan kebenaran agama kita hanya pada ranah pribadi saja?

 

Meniadakan konsep truth claim ini sebenarnya merupakan salah satu tujuan utama yang ingin dituju oleh paham pluralisme agama. Berkaitan mengenai truth claim ini, dalam buku Ketika Makkah Menjadi Las Vegas: Agama, Politik, dan Ideologi dijelaskan bahwa memang pada dasarnya paham pluralisme memandang bahwa tidak ada agama yang berhak untuk disalahkan. Hal ini dikarenakan tidak boleh adanya sebuah agama yang memiliki konsep truth claim dan menganggap hanya agamannya saja yang paling benar.

 

Apabila salah satu tujuan dari paham multikulturalisme ini adalah untuk menekan dominasi kebenaran sebuah agama di ranah publik, maka ini benar-benar berbahaya apabila ini tidak kita respon dengan serius.

 

Di samping permasalahan mengenai truth claim, definisi multikulturalisme yang mengundang permasalahan juga terdapat pada kalimat, “Mengapresiasi perbedaan-perbedaan yang ada dan menilai perbedaan itu secara positif.”

Dari sini kita bertanya-tanya, perbedaan seperti apa yang harus kita apresiasi di negara yang kita cintai ini? dengan mengatasnamakan HAM, apakah memberi ruang kepada LGBT untuk tampil di podcast juga merupakan bentuk perbedaan yang harus dipandang secara positif? Atau pengibaran bendera LGBT di tanah air juga merupakan perbedaan yang harus dipandang dengan positif?  

 

Tentu perbedaan-perbedaan itu adalah perbedaan yang harus kita kecam karena menyalahi nilai dan norma agama yang berlaku di Indonesia. Memang benar bahwa Indonesia bukanlah sebuah negara yang menganut sistem negara Islami, namun perlu dipertegas juga bahwa Indonesia juga bukan negara sekuler. Nilai dan norma agama nyatamenghiasi corak kehidupan masyarakat Indonesia.

 

Dari pembahasan ini, kita kemudian tahu bahwa memang keadaan plural dan majemuk yang terjadi di negara kita adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Namun bukan berarti di tengah-tengah keadaan majemuk ini kita akan menerima setiap perbedaan yang ada di sekitar kita. Karena pada akhirnya, kita tetap harus mengukur kebenaran setiap perbedaan itu dengan menggunakan timbangan agama sebagai timbangan penentuan finalnya.

 

 

baca juga Sebuah Kebanggan

Researcher at Centre for Islamic Education and Contemporary Studies (CIECS)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *