mahasantri
Hamid Corner

Keresahan Sang Guru Besar: Catatan Mengenai Pendidikan

#Catatan Pertama

Baca juga multikulturalisme

 

Keadaan dan Kualitas Pendidik

Oleh: Krisna Wijaya

Jum’at, 04 Juni 2022, merupakan salah satu hari yang bermakna bagiku. Bermakna karena pada hari itu, Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi berdiri di atas mimbar intelektual setelah sholat Jum’at untuk memberikan sedikit kuliah umum mengenai catatan penting dunia pendidikan kita.  

 

Dalam kesempatan itu, beliau menjelaskan bahwa kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) itu akan sangat dipengaruhi oleh kualitas sistem pendidikan yang ada. Kemudian perlu diketahui juga bahwa sistem pendidikan itu ujung tombak keberhasilannya berada di tangan seorang guru.

 

Oleh karena itu, memperhatikan keadaan dan kualitas guru merupakan hal yang harus sangat diperhatikan oleh pemerintah demi terciptanya SDM yang bermutu dan berarti bagi bangsa.

 

Sayangnya, sebagai ujung tombak keberhasilan pendidikan, nasib guru-guru di negeri ini justru tidak dalam keadaan baik-baik saja. Pertahun ini saja misalnya, Ratusan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) mengundurkan diri karena pertimbangan gaji yang tidak sepadan dengan keadaan hidup para CPNS itu.

 

Kejadian itu tentunya memiliki sisi positif dan negatif untuk dikaji bersama, namun dengan kejadian yang terjadi itu, kita setidak-tidaknya mulai bertanya-tanya mengenai perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan seorang pendidik itu bagaimana.

Pendidik yang berstatus CPNS saja keadaanya sudah seperti itu, lantas bagaimana dengan pendidik yang berstatus honorer? Tidak bisa dibayangkan betapa kerasnya perjuangan yang dilalui oleh guru-guru honorer di negeri ini.

 

Seyogyanya kemerdekaan dan kedaulatan guru harus benar-benar diperhatikan oleh pemerintah. Hal ini juga pernah dipertanyakan oleh Ketua Umum Persatuan Guru republic Indonesia (PGRI), Prof. Unifah Rosyidin mengenai kedaulatan seorang guru. Beliau berkata bahwa, “Mereka digaji Rp 200 ribu-Rp 300 ribu gimana mau bicara kompeten. Lalu mereka yang mengabdi puluhan tahun ini untuk bisa dikatakan kompeten harus lulus dengan passing grade sekian, sungguh tidak masuk akal.”

 

Padahal seharusnya pendidik dijamin kesejahteraan hidupnya oleh pemerintah. penjaminan ini dilakukan agar sang pendidik hanya fokus memaksimalkan amanahnya dalam mendidik tanpa harus khawatir mengenai keberlangsungan kehidupannya.

 

Lebih dahsyat dari permasalahan gaji di atas, pemerintah secara resmi akan menghapuskan status tenaga honorer pada tahun 2023 besok. Hal ini sebagaimana yang termaktub dalam surat edaran yang dikeluarkan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) nomor B/165/M.SM.02.03/2022 yang diterbitkan pada 31 Mei 2022.

 

Padahal kita harus menyadari bahwa tidak semua guru yang memiliki potensi dan berkualitas itu akan lolos dalam tes terstandarisasi dari pemerintah. Barangkali ada di luar sana guru-guru yang memiliki potensi, namun tidak lolos di tes CPNS. Sebaliknya, ada juga di luar sana guru-guru yang lolos tes CPNS, namun ternyata memiliki banyak permasalahan yang tidak terduga-duga setelahnya.

Kita musti sadari bahwa setiap guru memiliki potensinya masing-masing yang tidak bisa dipaksa sama antara satu dengan yang lainnya. Pernyataan Einstein mengenai kejeniusan manusia sepertinya tidak hanya berlaku untuk peserta didik semata, namun juga berlaku bagi seorang guru. Perlu diingat bahwa pada dasarnya semua orang adalah jenius dan cerdas dengan coraknya masing-masing.

 

Lantas, apakah seorang guru yang gagal lolos tes CPNS bisa dikatakan sebagai guru yang kurang berkualitas? Apakah guru-guru yang berstatus sebagai PNS sudah pasti lebih berkualitas dari guru non-PNS? Belum tentu!

 

Tes standarisasi bagi guru untuk mendaftar CPNS-pun masih menyisakan PR tersendiri untuk kita bahas bersama. Apakah tes tersebut bisa memahami potensi unik dari masing-masing guru secara holistik? Hal ini penting untuk dibahas karena bisa jadi guru-guru yang lolos itu memang memiliki nilai tes CPNS yang tinggi, namun akhlaknya terhadap sesama atau bahkan kepada Tuhan ternyata bermasalah. Apakah yang seperti ini bisa dikatakan sebagai pendidik yang ideal?  

 

Seyogyanya tes standarisasi CPNS seharusnya kembali berpijak kepada tujuan pendidikan nasional yang telah ditetapkan oleh konstitusi kita. Keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia harus dijadikan tolok ukur utama dalam menentukan keberhasilan tes CPNS ini.

 

Sayangnya pemerintah saat ini rasa-rasanya hanya memperhatikan guru-guru yang telah berstatus sebagai PNS semata. Terlepas dari kualitas keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia yang dimiliki oleh guru-guru itu, asalkan telah lolos CPNS, maka telah dianggap sebagai guru yang ideal. Hal ini tentunya sebuah paradigma yang cacat dalam memandang hakikat seorang guru yang sebenarnya.

 

Lantas, bagaimana dengan guru-guru yang tidak lolos tes CPNS, namun keimanan, ketakwaan, dan akhlak muliannya benar-benar terwujudkan dalam setiap gerak kehidupannya? Apakah yang seperti ini masih dikatakan sebagai guru kurang ideal?

 

Memang benar bahwa aspek akademik itu juga menjadi pertimbangan yang penting, namun lagi-lagi aspek spiritual juga tidak boleh dikesampingkan begitu saja. Menyeimbangkan kedua aspek tersebut adalah sebuah keharusan apabila pendidikan Indonesia ingin menghantarkan bangsa ini menjadi bangsa yang adidaya di dunia.

 

Fenomena yang terjadi ini tentunya menjadi PR bagi kita generasi muda selaku calon penerus estafet perjuangan bangsa. Sebuah PR di mana, “Guru tidak dianggap penting dan tidak dipentingkan di negara Indonesia ini,” tutur Prof. Hamid. Inilah tugas kita bersama, karena kita adalah penentu keadaan peradaban masa depan. Sebuah masa di mana dalam genggaman kitalah, masa depan bangsa ini akan ditentukan.

Researcher at Centre for Islamic Education and Contemporary Studies (CIECS)

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *