mahasantri
Hamid Corner

Keresahan Sang Guru Besar: Catatan Tentang Pendidikan #2

Catatan Kedua

Oleh: Krisna Wijaya

 

Masih membahas mengenai permasalahan guru, Prof. Hamid pada kesempatan itu juga mengajak untuk berefleksi terhadap permasalahan yang pernah menimpa negara Jepang. Di saat kota Hiroshima dan Nagasaki dibom oleh Amerika Serikat dan sekutunya, respon pertama Kaisar Hirohito tidak menanyakan jumlah kerugian yang dialaminya, namun sang kaisar justru menayakan, “Berapa jumlah guru yang tersisa?”

Seperti memahami betul mengenai potensi yang diperankan seorang guru dalam membangun sebuah bangsa, kaisar Hirohito pada faktanya lebih mengutamakan keselamatan guru yang masih hidup daripada jumlah korban yang berjatuhan. Walaupun dua-duannya merupakan hal yang sama pentingnya.

 

Dengan pilihan itu, kaisar Hirohito telah membuktikan kepada dunia bahwa pilihan mengedapankan kepentingan pendidikan ternyata membuahkan hasil yang manis. Dengan mengedepankan kualitas pendidikan dan kesejahteraan guru, Jepang dalam waktu yang tidak terlalu lama telah membuktikan kepada dunia mengenai kemajuan ilmu dan teknologi mereka.

 

Tahun 1945: Dua Sisi

Tahun 1945 merupakan waktu di mana negara Indonesia dan Jepang sama-sama memulai babak baru dalam sejarah kebangsaan masing-masing. Pada tahun itu, Indonesia menyatakan kemerdekaan bangsannya dan Jepang menyerah kepada sekutu karena bom yang jatuh di kota Hiroshima dan Nagasaki.

 

Perlu diketahui bahwa tahun 1945 merupakan sebuah titik momen yang sama bagi kedua negara untuk memulai babak baru dalam negaranya masing-masing. Momen di mana Indonesia mulai menyatakan kemerdekaannya dan momen di mana Jepang mulai membangun negaranya dari dasar.

 

Namun sayangnya setelah 75 tahun kemerdekaan Indonesia, rasa-rasanya belum nampak bukti yang nyata mengenai tanda-tanda kebangkitan Indonesia menjadi negara yang adidaya di dunia. Berbeda dengan Jepang yang justru dalam kurun waktu yang hampir sama dengan durasi lama kemerdekaan Indonesia mampu berkembang dan menjadi negara yang diakui perkembangannya oleh dunia internasional.

Lantas, apa yang membedakan kedua negara ini? Dengan waktu memulai yang hampir sama, mengapa hasil yang didapatkan begitu berbeda? Jawabannya terletak dari perhatian pemerintah kepada kualitas dan kesejahteraan guru di negara itu masing-masing.

 

Perbedaan kedua negara ini dalam menghargai peran seorang guru ternyata menunjukkan perbedaan yang signifikan pada masing-masing negaranya. Lantas, kapan Indonesia menjadi negara maju kalau guru-guru di Indonesia justru ditempatkan diposisi yang tidak terlalu penting dan tidak dipentingkan di mata pemerintah?

 

Bagaimana bisa guru-guru tersebut memberikan peran yang maksimal dalam mendidik peserta didik kalau dalam segi kesejahteraan kehidupan saja mereka masih belum terjamin kejelasannya oleh pemerintah.  

 

Padalah sudah jelas bahwa anggaran yang digelontorkan oleh pemerintah tidaklah main-main untuk alokasi pendidikan ini, yaitu sebesar 20% dari APBN atau sebesar 550 triliun rupiah. Lantas, kemana dana pendidkan yang begitu fantastis itu? tidak adakah porsi kesejahteraan guru di dalamnya?

 

Peta Jalan Pendidikan Kita

Selain permasalahan mengenai guru yang belum menemui titik jalan keluar yang jelas, permasalahan lain yang juga Prof. Hamid tekankan adalah mengenai kehampaan peta jalan pendidikan Indonesia. Hampa karena frasa ‘agama’ sempat hilang dari draf peta jalan pendidikan Indonesia.

 

Hal ini pertama kali ditemukan dan disampaikan langsung oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof. Haedar Nashir dalam forum FGD Peta Jalan Pendidikan yang diadakan oleh Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) pada tahun 2021 kemarin.

 

Penghapusan unsur agama dalam tubuh pendidikan kita ini tentunya merupakan bentuk perlawanan terhadap konstitusi yang telah ditetapkan oleh para pendiri bangsa ini. padahal telah jelas dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No. 20 Tahun 2003 telah menjelaskan mengenai kedudukan agama sebagai unsur integral yang harus menjadi dasar fundamental pendidikan nasional.

 

Walaupun permasalahan mengenai hilangnya frasa’ agama’ dalam draf Peta Jalan Pendidikan telah diklarifikasi oleh Kemendikbud, namun fenomena ini jelas-jelas menunjukkan kepada kita bahwa upaya-upaya dalam menghapuskan nilai dan corak Islam di negeri ini benar-benar masif dilakukan.

 

Dr. Adian Husaini juga menegaskan bahwa, “Seperti menyadari benar potensi Islam untuk kebangkitan sebuah peradaban, maka selama ratusan tahun telah dilakukan berbagai usaha untuk memperkecil peran Islam, tak terkecuali di Nusantara.”

 

Permasalahan yang berkaitan dengan pendidikan ini tidak bisa kita pandang sebelah mata. “Sebab hal ini merupakan harga sebuah generasi. Kalau pendidikan kita ini gagal menanamkan pendidikan akhlak dan agama, maka satu sampai dua generasi bangsa ini akan rusak,” tutur Prof. Hamid kala itu.

 

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Anies Baswedan juga pernah menegaskan bahwa dampak baik dan buruknya sebuah pendidikan itu tidak akan kita rasakan dalam waktu beberapa tahun ke depan, namun akan kita rasakan dampaknya pada masa dekade ke depan.

 

Oleh karena itu, pembahasan mengenai pendidikan rasa-rasanya tidak akan pernah selesai untuk kita bahas bersama-sama. Karena membahas dan memperhatikan pendidikan itu sama dengan membahas dan memperhatikan masa depan. Hal ini perlu kita kaji dengan serius dan penuh pertimbangan di dalamnya. Demi mewujudkan negara Indonesia sebagai negara adidaya di masa depan kelak.

Junior Researcher at Center for Islamic and Occidental Studies (CIOS) University of Darussalam Gontor

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *