perjuangan
Catatan Pena

Sajak Api Perjuangan

Oleh: Krisna Wijaya        

      

Dibangun di atas balok-balok taburan doa dan air mata, UNIDA Gontor berdiri dengan segala kecukupan yang dimilikinya. Para pendiri Gontor pada faktanya adalah sosok-sosok pejuang yang sangat visioner dalam memandang masa depan.

 

Seakan-akan mengetahui betul mengenai investasi terbaik untuk sebuah kebangkitan peradaban adalah melalui pendidikan, beliau-beliau ini telah jauh-jauh hari menyadari pentingnya investasi dalam bidang pendidikan.

 

Hal ini juga pernah ditegaskan oleh Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Rasyid Baswedan bahwa investasi sebuah pendidikan akan dipetik hasilnya tidak dirasakan satu atau dua tahun ke depan, namun beberapa dekade jauh di masa depan. Hal ini merupakan investasi peradaban terbaik yang pantas untuk diperjuangkan.

 

Walaupun saat itu para pendiri pondok (Trimurti) hanya terbatas berinvestasi dalam bentuk cita-cita dan sebuah ide, namun cita-cita dan ide itulah yang di kemudian hari mengilhami berdirinya universitas peradaban, UNIDA Gontor.

 

Prof. Hamid juga menegaskan walaupun mungkin peran para pendiri hanya sebatas menginisiasi ide dan mewariskan sebuah cita-cita yang dianggap hal kecil bagi masa kita sekarang, namun hal itulah yang sebenarnya menjadi dasar cikal bakal lahirnya pondasi universitas peradaban ini.

 

Dalam buku Pekan Perkenalan Universitas Darussalam Gontor 2022 telah disebutkan bahwa, “Pak Sahal membuat pondok ini dari nol di mulai dari keadaan yang sangat sederhana, sampai penandatanganan hari ini, berada seperti yang ada sekarang ini, baik kadernya, pergedungannya, tanah wakafnya. Maka kami ingin tahu dari liang kubur, kami ingin melihat dari jauh, sampai di mana generasi baru melanjutkan perjuangan kami dengan capital yang ada sekarang.”

 

Cita-cita mendirikan perguruan tinggi itu telah ada semenjak Trimurti memulai untuk mendirikan Tarbiyatul Athfal (TA) dan Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyah (KMI). KH Ahmad Sahal telah menyampaikan bahwa ide untuk mendirikan perguruan tinggi telah ada sejak 30 tahun sebelumnya.

 

Kemudian dilanjutkan penjelasannya dalam buku itu, “Maka dari itu, semuanya yang diterangkan oleh Pak Sahal Systhese bermacam-macam Perguruan Tinggi itu baru ide. Ide yang ada, tapi ide itu diserahkan bulat-bulat kepada generasi baru. Bahkan mahasiswa ikut bertanggung jawab untuk kelangsungan kemajuan itu semuanya. Ide-ide ini kita anggap kapital terbesar, lebih besar dari materi.”

 

Ide-ide yang berisi impian dan harapan para pendiri itulah yang kemudian diwariskan dari satu generasi ke generasi setelahnya. Sungguh luar biasa ketika para pendiri pondok benar-benar tidak berpikir mengenai profit dalam pendirian pondok ini kala itu, namun justru terpikirkan untuk mewariskan cita-cita api perjuangan bagi generasi di masa mendatang.

 

Teringat akan pesan perjuangan yang selalu ditegaskan oleh KH Hasan Abdullah Sahal bahwa institusi pendidikan Gontor (pondok yang kemudian melahirkan perguruan tingginya) selayaknya sebuah kereta api, maka beliau tegaskan bahwa, “Kereta api harus tetap berjalan ke depan siapapun masinisnya.”

 

Cita-cita dan api perjuangan inilah yang kemudian menunjukkan hasilnya dengan berdirinya Universitas Darussalam Gontor pada tanggal 4 Juli 2014 setelah melewati perjuangan mewariskan cita-cita dari satu generasi ke generasi setelahnya selama 56 tahun lamanya semenjak Piagam Penyerahan Wakaf dituliskan pada tahun 1958.

 

Tidak hanya bercita-cita menjadi universitas yang bermutu selayaknya universitas-universitas unggul yang bertebaran di luar sana saja, namun juga mencita-citakan diri menjadi universitas yang berarti dalam upaya membangkitkan peradaban Islam di dunia.

 

Menggoreskan visi yang berbunyi, “Menjadi universitas bersistem pesantren yang bermutu dan berarti, sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan yang berbasis Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer dan sebagai pusat kajian bahasa al-Qur’an untuk kesejahteraan umat manusia.”

 

perjuangan

Sampah-Sampah Perjuangan

Di berbagai kesempatan yang ada, KH Hasan Abdullah Sahal sering memberikan ultimatum untuk tidak menjadi penghalang dalam sebuah jalan perjuangan. Beliau selalu tegaskan, “Jangan menjadi sampah-sampah perjuangan.”

 

Harus kita sadari bahwa mereka yang menjadi bagian dari sampah perjuangan ini memiliki berbagai macam karakteristik di sekitar kita. Mereka yang kecewa dan mengajak orang lain untuk kecewa, mereka yang telah menyerah dan mengajak orang lain untuk ikut menyerah, dll., merupakan bagian dari sampah-sampah sebuah perjuangan yang harus menyingkir atau akan tersingkirkan dengan sendirinya.

 

Sudah sejak lama, api perjuangan Pondok Modern Darussalam Gontor, terkhusus UNIDA Gontor ini mendapat upaya pelemahan dari berbagai pihak secara disengaja. Prof. Hamid dalam berbagai kesempatan juga telah menjelaskan bahwa banyak pihak telah mencoba memadamkan api perjuangan ini dengan berbagai cara yang ada.

 

Di saat UNIDA sedang dalam tahap bertransformasi menjadi sebuah universitas, banyak pihak yang mengecam karena menurut mereka mengurus institut saja sudah kuwalahan, apalagi dengan sebuah universitas?

 

Kemudian di saat UNIDA sedang mencoba membuka pendidikan pascasarjana, banyak pihak yang berkomentar bahwa mengurus strata-1 saja masih kuwalahan, apalagi mengurus pascasarjana? Dll.

 

Walaupun banyak sindiran, kecaman, bahkan upaya pelemahan yang coba dilakuakan, UNIDA Gontor telah membuktikan untuk tetap berjalan ke depan dengan segala tantangan yang menghadang di sepanjang jalan perjuangan.

 

Maka dari itu, bagi kalian yang telah mendapat kesempatan tuk bersua di kampus perjuangan ini, sungguh merugi apabila kalian telah mengenyam pendidikan di universitas peradaban ini, sedang ketika ketika lulus hanya mendapat sebuah title gelar dan sedikit keilmuan dari disiplin bidang ilmu yang kalian pelajari.

 

Kalau hanya mencetak orang-orang yang ber-title­ saja, maka banyak kampus-kampus di luar sana yang lebih pantas untuk diunggulkan karena kuantitas lulusannya. Namun bukan itu esensi keberadaan UNIDA di tengah-tengah peradaban ibu pertiwi ini, kan?

 

Di akhir, ayahanda kita, Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi dalam akhir Khutbatu-L-Arsy kemarin telah menggoreskan sebuah sajak api perjuangan yang sangat menggetarkan bumi Darussalam ini. beliau goreskan,

 

 

Hidup adalah perjuangan dan pejuang menyandang kemuliaan

Pejuang sejati pasti berbaju keikhlasan dan ketulusan,

Meski harus berkekurangan dan bahkan kehilangan

Pejuang tidak pernah meminta tapi banyak memberi

 

BONDO BAHU PIKIR LEK PERLU SAK NYAWANE

 

Pejuang itu hidup sederhana dan berpikir sederhana

Pejuang tidak mencari kekayaan apalagi kemewahan

Pejuang itu imannya pasti membara, dan pasti saling merasa bersaudara

 

INAMAL MUKMINUN IKHWATUN

           

Pejuang itu hidup mandiri dan tidak bisa dibeli

Pejuang itu tidak akan dikuasai, tidak dihegemoni

Pejuang itu bebas

 

PEJUANG ITU MANUSIA BENAR,

DI ATAS KEBENARAN SERTA BERANI MENYATAKAN KEBENARAN BUKAN MEMBENARKAN KENYATAAN

 

 

 

Sajak-sajak api perjuangan ini harus benar-benar kita bicarakan, diskusikan, dan rangkaikan maknanya agar bisa kita pahami makna dan esensi kandungan di dalamnya. Jangan sampai dengan api perjuangan yang telah membara jelas di universitas peradaban, kita tidak memahami esensi dan kandungan yang terkandung di dalamnya.

 

Sungguh rugi

Sungguh merugi

Dan sangat-sangat tidak berarti …

 

 

Researcher at Centre for Islamic Education and Contemporary Studies (CIECS)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *