Body
Pemikiran

My Body My Choice

Oleh: Krisna Wijaya

Dalam sejarah aktivis feminis, tanggal 8 Maret 1975 merupakan salah satu hari yang sangat penting bagi mereka. Pasalnya, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) telah meresmikan hari itu sebagai Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day).

 

Hari perempuan itu kemudian menjadi sebuah ajang peringatan tahunan yang selalu dirayakan sekaligus dijadikan momen menyuarakan tuntutan kesetaraan gender bagi para aktifis feminis di seluruh dunia.

 

Salah Konsep, Kita Atau Mereka?

Paska penetapan tanggal 8 Maret sebagai hari perempuan interasional, dunia maya ataupun nyata menjadi heboh setiap kali tanggal itu hadir dirayakan. Di Indonesia saja, kita akan menemui bahwa berbagai kegiatan, peringatan, diskusi, bahkan aksi masa turun ke jalanan pun juga terjadi dalam rangka memperingati hari perempuan internasional ini.

 

Dalam sebuah momen aksi turun jalanan yang diadakan di Jakarta misalnya, sekelompok perempuan turun ke bahu-bahu jalan sambil menenteng poster-poster yang bertuliskan, “Baju gue urusan gue, birahi lo dibiarin! Aurat gue bukan urusan lo! Bukan salah tubuh atau pakaianku, namun kamu yang melanggar otoritas tubuhku!”

 

Pernyatan yang terpampang di poster ini tentunya menarik untuk kita kaji secara lebih mendalam. Akademisi gender dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Musdah mulia pernah berkomentar bahwa kalimat “Tubuhku adalah urusanku” ini memiliki makna jelas bahwa dalam kehidupan, Tuhan telah memberikan kewenangan kepada manusia untuk mengurusi dan bertanggung jawab dalam mengelola tubuhnya sendiri, missal dalam hal kesehatan diri sendiri.

 

“Jadi kalau kamu sakit [dan berkata], ‘ah itu kan urusan Allah, ini kan bukan badan saya,’ […] di mana mereka taruh akalnya?” jelas Musdah.

 

Pernyataan Musdah ini tentunya menarik untuk kita garis bawahi. Nampaknya Musdah tidak memahami bahwa memang benar Tuhan memberikan otoritas kepada kita untuk menjaga tubuh dalam berbagai hal, termasuk dalam bidang kesehatan. Namun bukan berarti otoritas yang diberikan Tuhan ini bersifat bebas tanpa memiliki batasan yang membatasinya.

 

Sebagai upaya dalam merespon pernyataan “Tubuhku adalah otoritasku”, Aliansi Cinta Keluarga (Aila) Indonesia mengkampanyekan slogan cerdas yang berbunyi “Tubuhku bukan hanya milikku, tapi milik Allah”.

 

Slogan ini tentunya menggambarkan bahwa Allah ternyata juga memberikan aturan dan pembatasan dalam perkara mengatur tubuh dengan cara yang baik dan benar. Bukan mengatur tubuh dalam artian sekuler ataupun liberal (bebas sebebas-bebasnya), namun mengatur tubuh di bawah aturan dan rambu-rambu dari-Nya.

 

Dr. Henri Shalahuddin tatkala membahas mengenai poster-poster yang sering dikampanyekan oleh aktivis gender berkomentar bahwa poster-poster itu di samping tidak bermoral juga tidak rasional secara nalar.

 

Hukum kausalitas antara aksi dan reaksi, objek dan subjek, menutup aurat dengan menundukkan pandangan, bukan hanya dinafikan tapi juga dilecehkan. Dr. Henri kemudian membawakan sebuah analogi yang cerdas untuk untuk mematahkan argumen slogan para aktivis feminis di atas.

 

Bagaimana bila muncul seorang lelaki usil yang menggunakan teropong di depan perempuan berbusana mini dan bersiul kepadanya, lalu ketika ditegur dia berkata, “Teropong dan mata gue, pakaian tubuhmu saja yang salah!”. Tentunya kedua analogi ini sama-sama sebuah perilaku yang tidak beradab dalam kondisi mereka masing-masing.

 

My Body My Choice, Di Mana Kita Melihat?

Beberapa waktu yang lalu, ada dua artikel yang menarik untuk disimak, pertama artikel mengenai “Penghapusan Kekerasan Seksual: Sebuah Kritik” yang diulas oleh Direktur Center for Gender Studies (CGS) dan Ketua Bidang Kajian AILA Indonesia, dan yang kedua “Miskonsepsi (Kesesatan Membaca) tentang Feminisme dan Kekerasan Seksual” oleh seorang mantan Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan.

 

Kedua tulisan di atas sama-sama membahas mengenai masalah kekerasan seksual yang dialami oleh wanita, namun kedua tulisan di atas memiliki corak yang sangat berseberangan. Menariknya adalah kedua penulis artikel di atas sama-sama berjenis kelamin perempuan. Lantas, kenapa mereka bisa memiliki corak yang berbeda dalam memandang hal itu? di sinilah letak pentingya menentukan pijakan pandangan dalam memandang segala sesuatu hal yang terjadi.

 

Memang tidak bisa dipungkiri lagi bahwa sekarang banyak akademisi muslim yang justru mendukung konsep-konsep yang ditawarkan oleh Feminisme. Mereka menganggap bahwa tafsiran al-Qur’an masihlah bias gender, masih bercorak patriarki karena mufassirnya adalah laki-laki, dll.

 

Hal ini lagi-lagi kembali kepada krisis jati diri yang sedang melanda umat muslim di dunia saat ini. Semua hal itu adalah tantangan-tantangan modern yang akan selalu kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari kita. Oleh karena itu, sebagai seorang yang memplokamirkan diri sebagai seseorang yang beragama Islam, apa peran yang akan kita berikan dalam menjawab tantangan-tantangan itu?

 

Pilihan itu ada di tangan kita masing-masing. Apakah kita berniat menjadi seorang yang tak memberikan kontribusi apa-apa pada kemuliaan agama kita? Apakah kita hanya akan menjadi remah-remah sejarah dalam perjalanan kemenangan peradaban Islam kelak? Semua pilihan itu sejatinya ada di tangan kita masing-masing.

 

Baca juga ARTIKEL TERBARU

Punya artikel?

Publish aja di GoresanIlmu 😉

Researcher at Centre for Islamic Education and Contemporary Studies (CIECS)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *