asa
Catatan Pena

Sepucuk Asa Untuk Angkatan 39

Oleh: Krisna Wijaya

 

Jangan bangga dengan title sarjana yang telah didapatkan, namun gelisahlah dengan sejarah yang telah kamu tinggalkan

krisnana

 

Kamis, 29 Juli 2022, kulihat semesta Darussalam saat ini sedang melambungkan asa suka cita atas terselenggaranya sebuah acara sakral yang diselenggarakan hari ini. Suka cita itu benar-benar terukir di wajah para wisudawan-wisudawati angkatan 39 Universitas Darussalam Gontor. 

 

Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa tidak mudah untuk bisa sampai pada titik memakai sebuah toga kelulusan di UNIDA Gontor. Tidak seperti universitas-universitas kebanyakan di luar sana, banyak hal khusus yang harus dilewati oleh mahasantri UNIDA Gontor untuk bisa menyematkan gelar sarjana dalam nama mereka masing-masing.

 

Ujian Tahfidz, ujian bahasa, syarat standarisasi AKPAM, ujian Islamisasi, dll., adalah sekelumit dari kisah duka cita yang tidak akan dilupakan oleh para wisudawan-wisudawati angkatan 39. Sungguh kisah perjuangan yang menguras rasa dan air mata.

 

Membumbungkan Asa ke Angkasa

Wisuda angkatan 39 ini terasa lebih spesial karena beberapa kakak tingkat kami di staf perpustakaan juga turut menjadi peserta di dalamnya. Perjalanan mereka diujung strata 1 ini telah mengingatkanku akan kunjunganku ke rumah Ayahanda, Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi beberapa waktu yang lalu.

 

asa

Di tengah-tengah diskusi hangat bersama waktu itu, beliau memandang kami dengan pandangan penuh harap sambil berkata, “Tinggalkanlah sebuah sejarah yang baik.” Pernyataan beliau ini memberikan makna kepada kita bahwa segala hal yang kita lalui dalam hidup kita akan menjadi sebuah sejarah. Oleh karena itu, tinggalkanlah sejarah yang baik untuk kebaikan kita di masa mendatang.

 

Inilah yang harus menjadi titik refleksi bagi segenap wisudawan angkatan 39 kali ini. Seharusnya di benak teman-teman wisudawan mulai terpikir, apakah aku telah meninggalkan jejak sejarah yang baik? ataukah justru jejak sejarah yang buruk?

 

Bapak Anies Baswedan juga pernah menegaskan bahwa jangan bangga dengan kisah sejarah masa lalu, namun gelisahlah dengan jejak sejarah yang akan kita ukirkan di masa depan. karena setiap kegiataan yang kita lakukan hari ini akan berubah menjadi sejarah, maka sejarah seperti apa yang akan kita tinggalkan? Oleh karena itu, jangan bangga dengan title sarjana yang telah didapatkan, namun gelisahlah dengan sejarah yang telah kalian tinggalkan sebelumnya (gelisah apabila sejarah itu masihlah sejarah dengan corak yang buruk).

 

Pointnya bukan tentang apa telah kita dapatkan, namun tentang kebaikan apa yang telah kita tumbuhkan di jejak perjalanan kita ini. Sekali lagi, jangan selesai dengan kebanggaan memegang ijazah dan toga di hari wisuda, namun gelisahlah akan jejak yang telah ditinggalkan sebelum.

Makna Gelar?

Ingat, jangan terkecoh dengan formalitas sejarah hari ini. Masih teringat dengan jelas salah satu guyonan Prof. Hamid ketika mimbar intelektual di masjid kala itu. Sambil bercanda, beliau menyampaikan bahwa, “Hidup itu penuh akan formalitas.” Upacara pembukaan UTS, UAS, wisuda, dll., adalah rentetan formalitas-formalitas akademik yang tidak terlepas dari hidup kita sebagai seorang akademisi.

 

Begitu juga dengan sebuah gelar, hal itu hanyalah sekelumit dari remah-remah formalitas akademik yang tidak perlu untuk terlalu dibanggakan. Suka cita para wisudawan hari ini akan meniada satu, dua, tiga tahun ke depan dan hanya akan menyisakan sebuah memori di dalam dada.

 

Janganlah kalian berbangga dengan ijazah yang telah kalian genggam di tangan kalian. Perlu kita tegaskan bahwa ijazah hanyalah sebagai bukti seseorang pernah menyelesaikan sebuah tingkatan studi tertentu, dan bukan bukti bahwa seseorang pernah berpikir.

 

Betapa banyak orang-orang yang memiliki gelar S1, S2, bahkan S3, namun tingkat keilmuannya tidak menghantarkan mereka pada meningkatnya tingkat keimanannya. Di sinilah Prof. Hamid sering menyampaikan , “Maniz dada ilman wa lam yazdad hudan lam yazdad minallahi illa bu`dan,” artinya adalah “Siapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah petunjuk atau imannya, maka ia akan makin jauh dari Allah.”

 

Inilah yang seharusnya ditakutkan oleh segenap mahasiswa yang hari ini telah disumpah sebagai seorang wisudawan angkatan 39 UNIDA Gontor. Semakin takut dan semakin gelisah akan tanggung jawab amanah ilmiah yang telah diembannya saat ini.

 

Sebuah Refleksi Impian

Perlu disadari bersama bahwa identitas sebagai seorang mahasantri seharusnya benar-benar digenggam oleh setiap sanubari mahasiswa UNIDA Gontor. Di hari wisuda, apa perbedaan wisuda seorang mahasiswa biasa dengan seorang mahasantri UNIDA Gontor?

 

Kita paham bahwa berfoto di hari wisuda sambil menggengam erat ijazah tentunya adalah hal sangat wajar dan membahagiakan, namun apakah hanya sampai di situ? Apakah perjalanan selama menempuh studi di UNIDA Gontor hanya akan ditutup dengan ceremonial berfoto dengan ijazah dan toga semata?  

 

Penulis melihat bahwa ijazah tertulis di hari wisuda adalah aksesoris yang sangat biasa dan sesungguhnya tidak terlalu memberikan arti bagi sesama. Lantas, apa perbedaan seorang yang dikatakan ulama yang intelek dan beridentitas sebagai mahasantri dengan mahasiswa biasa ketika hari wisuda tiba?

 

Penulis melihat jauh ke depan bahwa akan luar biasa ketika para wisudawan itu mebawa sebuah karya masing-masing di samping ijazah tertulis yang tersemat di tangan mereka. Sebuah karya yang menunjukkan bahwa tingkat intelektualitas mereka sebagai mahasantri benar-benar membuahkan kerya nyata (disamping kewajiban tugas akhir skripsi, tesis, ataupun disertasi) yang bisa dirasakan kebermanfaatannya oleh sesama.

 

Sebuah karya yang memadukan antara iman dan akal di dalamnya. Sebuah karya yang mengajak kita berpikir rasional mengenai kebenaran, tanpa menjadi liberal di saat yang bersamaan.

 

Sungguh luar biasa ketika ±800 wisudawan itu mampu membawa sebuah karya mereka masing-masing dari hasil ciptaan mereka sendiri di hari wisuda. Apabila hal itu benar-benar terjadi kelak, maka UNIDA Gontor benar-benar semakin berhasil dalam membentuk ulama yang juga memiliki kapabilitas intelektual yang teruji membawa dampak kebermanfaatan bagi bangsa dan juga agama.

 

Inilah impian sang penulis. Sebuah impian yang mengajak untuk berefleksi mengenai komitmen kesungguhan dalam dunia literasi. Tidakkah kita ingat bahwa betapa banyaknya sarjana-sarjanawan muslim kita yang ternyata mengidap penyakit tuna baca dan pincang menulis di Indonesia.

 

Mari kita berefleksi diri. Mari kita genggam erat-erat amanat ilmiah para pendahulu kita tentang pentingnya literasi. Demi kemajuan peradaban Islam di masa mendatang. Karena sejatinya peradaban Islam adalah peradaban yang dibangun di atas pondasi-pondasi literasi di dalamnya.

(baca selengkapnya tuna baca pincang menulis)

 

Sekali lagi, selamat telah lahir dari rahim kawah candradimuka. Sumber keluarnya kebijaksanaan “The Foutain of Wisdom

Dr. Khoirul Umam M.Ec

 

 

Di akhir, penulis juga ingin mengingatkan bahwa,

Sebuah gelar tidaklah memiliki arti apabila kamu tidak meninggalkan jejak sejarah yang baik dan sebuah gelar tidak memiliki makna apabila kamu justru meninggalkan jejak sejarah keburukan.

 

 

 

Mohon doakan juga bagi penulis yang sedang menyelesaikan beberapa naskah karyanya. Semoga karya itu lekas selesai dan nampak nyata manfaat dari keberadaanya.

 

Baca juga My Body

Punya artikel?

Publish aja di GoresanIlmu 😉

Atau publish aja di buletin mata air UNIDA Gontor @gerakanmataair

Researcher at Centre for Islamic Education and Contemporary Studies (CIECS)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *