Citayam Fashion Week dan Jejak LGBT
Oleh: Krisna Wijaya
Dewasa ini, Hak Asasi Manusia (HAM) benar-benar telah dijadikan pedoman utama dalam mengutarakan kebebasan berperilaku seseorang. Segala sesuatu yang ada di masyarakat pada ujungnya akan dipertemukan dengan nilai HAM sebagai timbangan atas benar atau salahnya tindakan itu.
Sekilas hal ini memang terlihat baik, namun pada kenyataanya banyak yang tidak menyadari bahwa HAM yang saat ini menjamah seluruh negara dunia adalah model manifestasi pandangan hidup Barat yang dipaksakan untuk diterapkan di segala bidang kehidupan manusia.
Beberapa waktu belakangan ini misalnya, tanah air Indonesia, terkhusus di wilayah Ibu Kota Jakarta yang sedang diramaikan oleh sebuah fenomena bernama Citayam Fashion Week (CFW). Fenomena ini memang benar-benar menarik perhatian berbagai kalangan di awal-awal kemunculannya.
Tidak terkecuali Presiden Jokowi pun juga turut mengapresiasi fenomena CFW yang berlangsung di Ibu Kota Jakarta. Sekilas memang CFW ini nampak seperti ajang anak-anak muda yang mencoba mengespresikan kebebasan berekspresinya di negara demokrasi ini, namun pada kenyataanya hal itu hanyalah bentuk nyata dari rusaknya moral dan krisis identitas generasi muda bangsa Indonesia.
Krisis Identitas?
Perlu disayangkan ketika pihak pemerintah justru membiarkan CFW tetap berjalan dan menegaskan bahwa tidak masalah CFW ini berjalan asalkan saling menjaga kebersihan dan keamanan sesama pengguna jalan di sana.
Salah seorang petinggi di jajaran pemerintah bahkan berkomentar, “Selama satu, jaga kebersihan, jaga ketertiban, hormati orang lain, dan hargai orang lain. Itu yang harus dijaga. Jadi kalau itu dilakukan, maka itulah kebebasan berekspresi.”
Tidak hanya itu, sang presiden pun juga berkomentar bahwa kegiatan semacam CFW ini harus didukung dan didorong selama bersifat positif serta tidak melanggar hukum. Di sini kita seharusnya mulai berpikir kritis, dari manakah kita menilai standar positif atau negatif fenomena ini? Serta hukum seperti apakah yang dimaksud di sini?
Hal ini tentunya harus kita lihat dengan bijak dari berbagai aspek yang ada, terkhusus dari aspek norma dan nilai agama yang berlaku di masyarakat. Walaupun memang benar CFW ini tidak menimbulkan keributan dan menjaga kebersihan lingkungan, namun apa gunanya apabila kegiatan itu justru menjadi ajang pemacu degradasi moral dalam diri anak-anak muda di sana.
Apakah kita akan menganggap bahwa berkumpulnya anak-anak muda di sana sambil merangkul bebas antar lawan jenis, saling bercampur baur padahal bukan mahram, bahkan ada yang dengan bangga memplokamirkan identitas dirinya yang berpakaian laki-laki padahal dirinya adalah seorang perempuan dan sebaliknya adalah sebuah hal yang bersifat positif?
Berdalihkan dengan alasan yang penting saling menghormati sesama tanpa menciptakan keributan, mereka sejatinya berusaha menormalisasikan berbagai penyimpangan-penyimpangan yang bertentangan dengan nilai dan norma agama yang ada di Indonesia. Naudzubillah.
Ajang Promosi LGBT Berdalih HAM
Telah kita ketahui bersama bahwa Indonesia adalah sebuah negara demokrasi yang begitu menjunjung tinggi kedaulatan berekspresi warga negaranya. Termasuk fenomena CFW yang diberikan ruang publik oleh pemerintah sebagai bentuk dari kreativitas atas kebebasan berekspresi anak-anak muda Indonesia.
Fenomena ini selain mendapat apresiasi, pemerintah seharunya juga memberikan pengarahan dan pembatasan atas setiap acara yang digelar di dalamnya. Hal ini perlu dipertegas karena CFW nyatanya dijadikan ajang dalam mempromosikan keberadaan komunitas Lesbian, Gay, Bisexsual, dan Transgender (LGBT) di tengah-tengah masyarakat.
Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia, Buyya Anwar Abbas juga menyayangkan ketika CFW dijadikan ajang promosi LGBT. Beliau berkata, “Yang sangat patut disesalkan adalah ajang Citayam Fashion Week ini juga telah dimanfaatkan oleh gerakan LGBT untuk mempromosikan ide dan gerakannya.”
Beliau juga menegaskan, “Pemerintah jangan membiarkan praktek-praktek tidak terpuji dan anti ajaran agama serta sangat bertentangan dengan falsafah bangsa ini dibiarkan tampil di ranah publik sedemikian rupa. Kita meminta pemerintah agar dalam hal ini harus bertindak tegas untuk mencegah dan melarangnya.”
Selain MUI, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Bidang Keagamaan, KH Ahmad Fahrurrozi juga ikut menyoroti fenomena rancunya identitas laki-laki dan perempuan (laki-laki berpakaian perempuan dan sebaliknya) di ajang CFW itu.
Fenomena itu tentunya dinilai sangat tidak sesuai dengan ajaran agama yang berlaku di Indonesia, terkhusus agama Islam yang menjadi agama mayoritas di sini. Beliau menegaskan bahwa, “Dalam ajaran Islam, berbusana diwajibkan menutup aurat, tidak membentuk lekuk tubuh, tidak transparan dan tidak menyerupai pakaian laki laki dan pakaian non muslim.”
Perilaku LGBT ini adalah bentuk penyimpangan yang ditentang oleh seluruh agama besar di dunia. Mantan Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin juga pernah menegaskan bahwa tidak ada agama yang mentolerir tindak LGBT di dunia ini, apalagi agama Islam yang jelas-jelas ajarannya telah mengecam keras tindak pelaku LGBT.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti juga memberikan perhatiannya terhadap fenomena yang sedang melanda anak-anak muda di negeri ini. Beliau turut menyampaikan bahwa, “Sesuai Undang-Undang Dasar, masyarakat memiliki hak dan kebebasan berekspresi. Akan tetapi hak dan kebebasan itu hendaknya dilakukan dengan tetap menghormati nilai-nilai agama dan budaya bangsa yang mulia.”
Permasalahan ini pada dasarnya akan kembali kepada cara kita memahami konsep HAM yang berlaku di kehidupan kita. di sinilah penulis pada kesempatan selanjutnya akan mencoba menguraikan problematika HAM yang sebenarnya begitu gersang akan nilai-nilai spiritual di dalamnya.
Jangan sampai kejahatan dan penyimpangan terhadap agama itu dianggap sebagai sesuatu hal yang wajar dan normal dengan dalih menghormati HAM yang melekat dalam diri setiap manusia. Karena kejahatan yang dilakukan secara terstruktur itu pada masanya dapat berpotensi mengalahkan kebaikan yang tidak terstruktur.
Baca juga Sepucuk Asa
Punya artikel?
Publish aja di GoresanIlmu 😉
Atau publish aja di buletin mata air UNIDA Gontor @gerakanmataair