Bencana Nasional dan Universitas Pesantren
Oleh: Krisna Wijaya
Beberapa waktu belakangan ini, ibu pertiwi lagi-lagi sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Bagaimana tidak, institusi pemerintahan yang seharusnya menjaga kedamaian dan keadilan di negeri ini justru menjadi penyebab ketidakdamaian itu sendiri.
Institusi Kepolisian yang seharusnya bertugas menghukum penjahat, namun justru memerankan peran sebagai penjahat itu sendiri. Alangkah lucunya negeri ini? Lebih hebatnya lagi, pemeran utama adalah sosok yang memiliki pangkat “Bintang 2” dalam tingkatan institusi yang bersangkutan.
Sebuah tingkat yang menggambarkan raihan prestasi dan kontribusi yang telah banyak diberikan kepada negara. Namun tiada yang menduga, ternyata memang benar bahwa tingkat kecerdasan seseorang tidak bisa menjadi jaminan akan kebenaran orang tersebut.
Dalam kasus lain seperti korupsi misalnya, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nurul Ghufron menyatakan bahwa perguruan tinggi merupakan institusi penndidikan yang menyumbang sebanyak 86% koruptor untuk Indonesia.
Hal ini tentunya bukan sebatas bualan semata apabila kita mencermati berbagai kasus korupsi yang terjadi di negeri ini ternyata mayoritas memang dilakukan oleh orang-orang yang cerdas dengan berbagai gelar yang tersemat di dalam namannya.
Terlebih dengan kasus terjeratnya rektor UNILA akan kasus tindak pidana korupsi baru-baru ini, nampaknya hal ini semakin membenarkan pernyataaan Menkopolhukam, Mahduf MD yang menyatakan bahwa korupsi di era saat ini lebih parah daripada era Orde Baru.
Berbagai permasalahan di atas tentunya benar-benar memberikan pesan kepada kita bahwa ibu pertiwi ternyata sedang tidak baik-baik saja. Konsep pendidikan yang dirancang sedemikian rupa sebagai pilar pembangunan bangsa ternyata belum berperan ideal dalam mencetak national builders yang bermutu dan berarti bagi bagi bangsa ini sendiri.
Tanggapan Sang Guru Besar
Tatkala segala permasalahan ini datang menyapa peradaban ibu pertiwi, Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi menyebut semua permasalahan ini sebagai bentuk dari bencana nasional yang sangat membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Prof. Hamid ketika menganalisa segala permasalahan ini kemudian sampai pada sebuah kesimpulan bahwa akar permasalahan dari bencana nasional ini adalah karena konsep Pancasila yang seharusnya berperan sebagai Weltanschauung ini tidak lagi digenggam nilainya secara sungguh-sungguh oleh para pemimpin bangsa saat ini.
bahkan bisa jadi Pancasila sebatas gambar dan teks formalitas semata. Sebagaimana yang pernah disampaikan Sujiwo Tejo beberapa waktu yang lalu, bahwa gambar garuda dan teksnya memanglah ada, namun nilai dan filosofi di dalamnya tidak benar-benar hidup di sanubari bangsa Indonesia.
Di sini kita mulai bertanya-tanya, di mana mereka meletakkan Pancasila dalam kehidupannya yah? Mereka para pelaku korupsi, mereka yang menyalahgunakan kekuasaan, dll., bagaimanakah mereka melihat dan menempatkan Pancasila itu dalam kehidupannya?
Jikalau Pancasila itu menjadi sebuah philosophische grondslag (filosofi dasar) atau dalam kata lain worldview, maka ia juga harus difungsikan sebagaimana mestinya, yaitu sebagai motor penggerak sekaligus asas setiap perilaku masyarakat Indonesia.
Padahal telah jelas bahwa di dalamnya terdapat nilai keadilan, kemanusiaan, ketuhanan, dll. Apakah nilai-nilai itu hanya sebatas formalitas kenegaraan semata? Demi dikatakan pancasilais, namun aslinya adalah sosok yang radikalis.
Para pembelajar seharusnya digambarkan sebagai sosok yang haus akan menegak dalamnya sumur ilmu pengetahuan, namun mengapa justru malah menegak dalamnya krisis identitas? Integritas, loyalitas, dan totalitas seakan-akan memoar tanpa bekas membumbung di angkasa.
Guru Besar Universitas Pertahanan, Prof. Salim Said pernah menegaskan dalam bangsa Indonesia itu merupakan bangsa yang unik karena banyak masyarakatnya saat ini tidak memiliki rasa takut kepada Tuhan YME. Padahal telah jelas bahwa sila pertama dalam Pancasila adalah aspek ketuhanan.
Mereka para pejabat dan pemimpin bangsa disumpah di bawah al-Qur’an dan Bible, namun mereka tidak segan-segan mengingkari sumpah mereka sendiri. “Sebuah bangsa yang tidak memiliki ketakukan akan sesuatu hal tertentu, maka bangsa tersebut tidak akan maju”, tegas Prof. Said.
Beliau bahkan menjelaskan bahwa Indonesia merupakan salah satu negeri di mana orang-orang yang dipilih dan dipercayai oleh rakyatnya ternyata paling banyak melanggar sumpahnya sendiri.
“Tuhan-pun tidak ditakuti”, tegas Prof. Said kala itu. Para pemimpin bangsa kita justru menjadi sosok-sosok yang paling banyak berkhianat terhadap nilai yang terkandung dalam Pancasila itu sendiri, terkhusus nilai ketuhanan.
Padahal mereka semua adalah orang-orang yang terdidik dalam segi pendidikan, namun mengapa kelakuan mereka tidak mencerminkan sebagai insan yang terdidik? Dari sini mulai muncul sebuah indikasi, apakah sistem pendidikan kita ini benar-benar berperan efektif dalam mencetak national builders yang bermutu dan berarti? Atau hanya sebuah formalitas kenegaraan semata?
Di sinilah Prof. Hamid menegaskan bahwa kita membutuhkan konsep pendidikan ideal yang memiliki tujuan memperbaiki segala permasalahan ini. Beliau mensitir konsep pendidikan universitas berbasis pesantren yang berusaha memberikan solusi atas permasalahan yang sedang terjadi di negeri ini.
Tanggapan Sang Guru Besar
Membahas mengenai pendidikan pesantren, mungkin banyak dari kita yang berpikiran bahwa pesantren hanya sebatas sebuah institusi pendidikan dalam tingkat jenjang SD-SMA. Pada faktanya, konsep pesantren ini ternyata sudah diterapkan bahkan dalam tataran perguruan tinggi sekalipun.
Di sinilah penulis akan mencoba menguraikan sedikit pembahasan mengenai konsep perguruan tinggi berbasis pesantren yang ternyata sangat berperan penting dan relevan dengan berbagai konsep yang telah diuraikan oleh pakar-pakar pendidikan yang ada, salah satunya adalah oleh Prof. Naquib al-Attas.