Refleksi Jurnal Perempuan: (Sampai Mana Perjuangan Kita)?
Oleh: Krisna Wijaya
Bulan Agustus 2022 ini, sebuah paket buku jurnal datang menghampiri ke tangan sang penulis. Jurnal ini sedikit istimewa karena disebut-sebut sebagai mahakarya jihad intelektual bagi pegiat feminisme. Sebuah jurnal di bawah naungan Yayasan Jurnal Perempuan yang diinisiasi oleh Dr. Gadis Arivia ini kembali kudapatkan untuk yang kedua kalinya.
Sudah satu tahun lamanya penulis menjadi salah satu bagian dari “Sahabat Jurnal Perempuan”, sebuah sebutan bagi siapapun yang menjadi mitra pelanggan tetap jurnal pegiat feminisme ini. Kini, Jurnal Perempuan Vol. 27, No. 2, yang mengangkat tema pembahasan Pengetahuan Feminisme Indonesia: Refleksi, Aksi, Praksis telah bersemayam dengan nyaman di tangan sang penulis.
Keputusan penulis untuk menjadi bagian dari mitra pelanggan jurnal perempuan ini karena penulis merasa bahwa perlu perjuangan ekstra untuk memahami mengenai isu-isu yang selalu menjadi perhatian pegiat perempuan ini.
Musuh-musuh Islam saja berani menggelontorkan uang yang besar untuk memahami dan mendalami kajian keislaman, lantas kenapa kita sebagai umat muslim tidak bertindak hal yang sama dalam memahami mereka para musuh-musuh Islam?
Refleksi Kritis
Jurnal perempuan yang kudapatkan ini benar-benar menjadi sebuah titik refleksi bagiku. Bagaimana tidak, kalau kita mencermati dengan seksama, maka akan kita dapati bahwa di balik keberadaan jurnal perempuan ini terdapat berbagai tokoh-tokoh akademisi besar yang menjadi pilar dalam pergerakannya.
Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang telah mengantongi gelar “Guru Besar” di dalam namanya. Hal ini menunjukkan bahwa mereka benar-benar serius dalam mengawal dan mengembangkan perjuangan suara perempuan secara sungguh-sungguh.
Guru Besar bidang hukum dan gender, UIN Syarif Hidayatullah, Prof. Musdah Mulia bahkan menyebut hal ini sebagai bentuk jihad intelektual bagi mereka. Kini pegiat feminisme tidak boleh lagi hanya berjuang dengan turun secara aksi fisik semata, namun juga harus diimbangi dengan perjuangan secara intelektual di saat yang bersamaan.
Lantas, bagaimana dengan kita saat ini? Sungguh sangat disayangkan ketika banyak pemuda muslim yang menolak bahkan menentang paham feminisme, namundi saat yang bersamaan tidak mendalami isu ini secara ilmiah dan hanya sebatas menolak secara verbal semata.
Sejak tahun 1996, Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) melalui publikasi jurnal perempuannya telah berusaha membangun paradigma keilmuan masyarakat Indonesia dalam memadang dan mendudukkan feminisme .
Walaupun di awal-awal pergerakannya YJP mendapat banyak penolakan dari berbagai elemen masyarakat yang ada, namun perlahan tapi pasti mereka mulai mampu membangun ruang untuk bertumbuh di negara kita ini.
Pembaharuan hukum keluarga Islam yang dicetuskan oleh Prof. Musdah Muliah misalnya. Pada awal tahun 2000-an, muncul gagasan sekaligus upaya untuk merevisi hukum keluarga Islam yang menjadi isu sentral feminisme di berbagai negara Islam kala itu.
Berbagai pegiat akademisi feminis dari berbagai negara beramai-ramai mengkritik atas ketidakadilan gender dalam hukum keluarga Islam. Tidak terkecuali di antaranya Prof. Musdah Mulia yang waktu itu berperan sebagai Ketua Tim Pengarusutamaan Gender di Kementerian Agama RI (2001-2007) juga berperan aktif merespon isu ini dengan merumuskan pembaruan hukum keluarga Islam yang diberi nama Counter Legal Draft Komplikasi Hukum Islam (CLD KHI) pada tahun 2004.
Pada awal perumusannya, CLD KHI ini mendapat banyak penolakan oleh berbagai pihak di tanah air, namun terhitung sejak dipublish pertama pada tahun 2004 sampai dengan sekarang, lebih dari 50 institusi dan lembaga perguruan tinggi, baik di dalam ataupun di luar negeri telah menaruh perhatiannya terhadap draf rancangan hukum ini.
Rancangan draf ini bahkan berkali-kali dibahas di berbagai konferensi internasional dunia tentang feminisme. Titik terangnya adalah ketika rancangan hukum ini mulai diterima dan diaplikasikan di rancangan hukum yang berlaku di Indonesia.
Inilah perjuangan para pegiat feminis yang oleh Prof. Musdah Mulia sebut identik sebagai kerja-kerja intelektual. Walaupun mendapat berbagai penolakan, mereka tetap bergerak dalam kerja-kerja intelektual dengan konsistensinya yang tinggi.
Lantas, di manakah kita di saat para pegiat feminisme mempertanyakan berbagai isu permasalahan yang menyudutkan nilai-nilai agama Islam? Banyak di antara kita yang terang-terangan menolak dan menentang gagasan feminisme, namun kontribusi nyata apa yang telah kita lakukan dalam rangka merespon tantangan feminisme itu?
Sungguh disayangkan ketika penolakan itu ternyata hanya berhenti dalam ranah verbal semata. Kita membutuhkan kerja-kerja intelektual serupa untuk merespon tantangan yang ditunjukkan oleh para pegiat feminis.
Di akhir, kehadiran jurnal perempuan ini benar-benar membuatku sadar akan pergerakan mereka yang benar-benar serius dalam membangun wacana ini. Sekali lagi, di mana kita berpijak ketika masalah-masalah ini datang silih berganti di bumi pertiwi ini? =)
Baca juga universitas pesantren