nyai dahlan
Pemikiran

Nyai Dahlan: Sang Pelopor Pendidikan Wanita Jawa

Oleh: Krisna Wijaya

 

Mengenal Nyai Dahlan

Kala itu, di tanah Jawa lahir seorang mujahidah hebat yang pernah menggoreskan kilauan sejarah emas di tanah air kita. Kelahirannya mencerahkan peradaban wanita Jawa dari keterpurukan dan keterbelakangan. Namun kilauan perjuangan mujahidah ini kadang kala tertutup oleh semerbaknya kisah R.A. Kartini di negeri ini.    

 

Siti Walidah atau yang biasa dikenal dengan sebutan Nyai Dahlan merupakan salah seorang tokoh mujahidah muslimah yang mengukir sejarah perjuangan dalam pergerakan perempuan di Indonesia, terkhusus di tanah Jawa. Menjadi istri salah satu tokoh pembaharu Islam tentunya merupakan sebuah tantangan sekaligus amanah besar bagi Nyai Dahlan.

 

Siti Walidah nama asli tokoh mujahidah kelahiran Jawa ini dilahirkan di kota Yogyakarta pada tahun 1872.[1] Sejak kecil beliau telah mendapat didikan ilmu yang baik dari ayahnya yang merupakan pejabat agama Keraton Yogyakarta. Terlebih-lebih setelah ia dipingit sesuai adat tradisi Jawa, Siti Walidah hanya mendapatkan ilmu agama saja.[2]

 

Penting ditegaskan bahwa perkawinan Siti Walidah dengan Muhammad Darwis (Ahmad Dahlan) ini merupakan hasil kesepakatan antara kedua orang tua masing-masing. Pernikahan ini kemudian menghasilkan enam orang anak – Djohanah (1890), Haji Siradj Dahlan (1898), Siti Busyra Islam (1903), H. Siti Aisyah Hilal (1905), Irfan Dahlan (M. Djumhan, 1907), dan Siti Zuharah Masykur (1908).[3]

 

Nama Nyai Dahlan ini kemudian menjadi semakin masyhur setelah suaminya berhasil merintis dan menjadi pemimpin pertama organiasi Islam yang bergerak dalam hal pembaharuan pemikiran keislaman di Indonesia.

 

Sang Pelopor di Tanah Jawa

Menjadi istri seorang tokoh pergerakan Islam, Nyai Dahlan kemudian semakin akrab dengan tokoh-tokoh nasional pergerakan yang menjadi teman suaminya. Di antara mereka seperti Bung Tomo, Bung Karno, Jendral Soedirman, dll. Dari hubungan dengan tokoh-tokoh itulah, Nyai Dahlan kemudian tumbuh menjadi pribadi yang cerdas dan berjiwa nasionalis.

 

Berbekalkan wawasan dan pengalaman itu pula, beliau juga berhasil mendampingi suaminya untuk membawa Muhammadiyah menjadi salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia.

Sejarah mencatat bahwa salah satu jasa besar yang dilakukan oleh Nyai Dahlan di samping membantu perjuangan sang suami adalah dengan membangun perkumpulan pengkajian yang diberi nama Sopo Tresno pada tahun 1914.

 

Selain terfokuskan sebagai pusat pengkajian, organisasi Sopo Tresno juga berperan sebagai sebuah wadah pergerakan wanita di tanah Jawa. Masalah yang dikaji bukan hanya mengenai masalah keagamaan saja, namun juga berbagai permasalahan aktual yang terjadi pada masyarakat Jawa saat itu.

 

Sebagai contoh, organisasi Sopo Tresno ini berusaha menyadarkan kaum perempuan mengenai pentingnya pendidikan bagi mereka. Upaya Sopo Tresno dalam memajukan pendidikan wanita Jawa ini merupakan bentuk perhatian mereka terhadap kemuliaan perempuan yang harus dijaga melalui dunia pendidikan.

 

Melihat organisasi Sopo Tresno semakin berkembang dan berdampak, maka suatu hari diadakanlah pertemuan di rumah Kyai Haji Ahamad Dahlan yang dihadiri oleh Kyai Haji Mukhtar, Ki Bagus Hadikusuma, Kyai Haji Fakhrudin, dan pengurus Muhammadiyah lainnya. Mereka sepakat untuk merubah kelompok pengkajian Sopo Tresno menjadi sebuah organisasi perempuan yang dilengkapi dengan anggaran dasar dan berbagai peraturan di dalamnya.

 

Berbagai usulan nama organisasi pun diusulkan oleh anggota-anggota yang hadir waktu itu. Ada yang mengusulkan nama Fatimah, namun tidak diterima. Hingga akhirnya Kyai Haji Fakhrudin mengusulkan nama Aisyiyah sebagai nama organisasinya. Dipilihnya nama Aisyiyah karena terinspirasi dari istri Nabi Muhammad, yaitu Aisyah, yang dikenal cerdas dan mumpuni.

 

Usulan Kyai Haji Fakhrudin pun akhirnya diterima dan disetujui oleh berbagai tamu undangan dan anggota yang hadir dalam pertemuan tersebut. Hingga kemudian pada tanggal 27 Rajab 1335 Hijriah atau 19 Mei 1917 Masehi, Aisyiyah diresmikan bersamaan dengan peringatan Isra’ Mir’aj Nabi Muhammad SAW. yang diadakan oleh Muahmmadiyah untuk pertama kalinya secara meriah dan besar.[4]

 

Aisyiyah kemudian menjadi organisasi resmi yang bergerak dalam bidang pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, dan pemberdayaan masyarakat. Organisasi ini diketuai oleh Nyai Dahlan, dengan anggota-anggotanya merupakan gadis-gadis dan perempuan yang sudah berumah tangga.

 

Nyai Dahlan wafat pada 13 Mei 1946 pada usiannya yang ke-72 tahun. Wafatnya Nyai Dahlan tidak serta merta membuat api perjuangan Aisyiyah padam begitu saja. Sebelum wafat, beliau mewasiatkan sebuah pesan penting pada Muahammadiyah dan Aisyiyah. Beliau sampaikan,

 

“Saya titipkan Muhammadiyah dan Aisyiyah kepadamu sebagaimana almarhum K. H. Ahmad Dahlan menitipkannya. Menitipkan berarti melanjutkan perjuangan umat Islam Indonesia ke arah perbaikan hidup bangsa Indonesia yang berdasarkan cita-cita luhur mencapai kemerdekaan.”[5]

 

Atas jasanya yang besar kepada nusa, bangsa, dan agama inilah, pemerintah pada tanggal 27 September 1971 berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia menganugrahkan gelar Pahlawan Nasional menyusul sebelumnya sang suami yang juga mendapatkan penghargaan Pahlawan Nasional yang serupa.

 

Di akhir, kita akan mengetahui bahwa Nyai Dahlan ini merupakan sosok pejuang mujahidah yang ikut andil dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, terkhusus terhadap kaum perempuan dengan tetap mempertahankan identitas kemuslimahannya. Di samping itu, beliau juga seorang muslimah yang taat dalam membantu perjuangan dakwah sang suami juga.

 

Tokoh Nyai Dahlan ini merupakan contoh identitas seorang muslimah yang sangat luar biasa. Di mana dia tetap bisa berkontribusi memperjuangkan kemuliaan kaum perempuan dengan tetap mempertahankan identitas kemuslimahannya dan ketaatannya kepada agama. Inilah tokoh yang seharusnya dijadikan rujukan oleh kaum wanita generasi muda saat ini, bukannya tokoh-tokoh emansipasi liberal yang memperjuangkan kebebasan wanita namun nyatanya melebihi kadar batas yang ditentukan oleh Sang Pencipta.

 

 

Sumber:

[1] Mirnawati, Kumpulan Pahlawan Indonesia Terlengkap, (Jakarta: Penerbit CIF, 2012), h. 112.

[2] Gamal Komandoko, Kisah 124 Pahlawan & Pejuang Nusantara, (Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2007), h. 243.

[3] Nisa’el Amala, dkk. Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini Perspektif Islam, (Bandung: CV. Media Sains Indonesia, 2022), h. 101.

[4] Mulyono Atmosiswartoputra, Perempuan-Perempuan Pengukir Sejarah, (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2018), h. 128-129.

[5] Jajat Burhanudin, Ulama Perempuan Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 61.

Baca juga people pleaser

Researcher at Centre for Islamic Education and Contemporary Studies (CIECS)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *