pelita
Pemikiran

Rahmah El Yunusiyyah: Pelita Pendidikan

Oleh: Krisna Wijaya

 

Pelita Pendidikan

Jilbabnya yang lebar nan panjang itu tergerai menjaga kemuliaan dirinya sebagai seorang muslimah. Keinginannya untuk berkontribusi pada negara tidak membuatnya menjadi seorang muslimah yang lupa pada jati dirinya sendiri.

 

Sosok muslimah cerdas itu bernama Syaikhah (Syaikh Wanita) Hajjah Rangkayo Rahmah El Yunusiyyah. Sosok pejuang wanita ini tumbuh berkembang dari tanah Minangkabau, Sumatra Barat.[1] Kehadirannya membawa kebermanfaatan besar di tengah-tengah masyarakat, terkhusus di ranah pendidikan.

 

Ditinjau dari latar belakang keluargannya, Rahmah berasal dari keluarga yang tidak hanya taat beragama, namun juga turut andil dalam memberikan kontribusi terhadap pembaharuan Islam di daerah Sumatra Barat.

 

Sayangnya kehadiran tokoh muslimah ini tidak secemerlang kisah R.A Kartini yang sangat dielu-elukan oleh banyak masyarakat Indonesia, terkhusus kaum perempuan saat ini. Padahal sejarah telah mencatat bahwa kontribusi Rahmah terhadap dunia pendidikan begitu besar bagi Indonesia, terkhusus kaum perempuan.

 

Rahmah adalah seorang guru, pejuang pendidikan, pendiri sekolah Islam wanita pertama di bumi Indonesia, sekaligus seorang pejuang kemerdekaan Republik Indonesia yang telah banyak memberikan kontribusi kebaikan pada negara Indonesia.

 

Rahmah El Yunusiyyah adalah salah satu pahlawan mujahidah yang telah menorehkan prestasi emas dalam sejarah. Dengan tetap mempertahankan identitas kemuslimahannya, ia tetap bisa memberikan kontribusi dalam perjuangannya memperjuangkan Indonesia dan kemuliaan kaum wanita.

 

Nama lengkapnya, Syaikhah Hajjah Rangkayo Rahmah el-Yunusiyyah. Lahir di Kanagarian, Bukit Surungan, Padang Panjang, Jum’at, 1 Rajab 1318 H (20 Desember 1900 M) wafat di Padang Panjang, 9 Zulhijjah 1388 H (26 Februari 1969) dalam usia 68 tahun.[2]

 

Ibunya bernama Rafi’ah, ayahnya bernama Syekh Muhammad Yunus, seorang ahli Ilmu Falak dan menjabat sebagai hakim wilayah Pandai Sikek. Kakeh buyutnya bernama Hafzhah, keturunan Haji Miskin yang juga salah satu dari “Harimau Nan Salapan” tokoh Perang Paderi.

 

Sebagai seseorang yang memelopori pendidikan perempuan di tanah Sumatra, tidak berlebihan bila Rahmah disebut sebagai perempuan muslim pertama di awal abad ke-20 yang secara tegas menyuarakan perlunya kemajuan untuk kaum perempuan, khususnya di Sumatera Barat dalam hal pendidikan.[3]

 

Salah satu kontribusi besar Rahmah adalah mendirikan Diniyah School Putri di Sumatra Barat. Cita-cita ini muncul karena kegelisahan Rahmah akan keadaan kaum wanita yang tertinggal dari segi pendidikan kala itu.

 

Keadaan perempuan yang terbelakang kala itu menyebabkan mereka berada dalam keadaan kejahilan dan kepasrahan pada keadaan dan menganggap bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah dibandingkan dengan laki-laki.[4]

 

Muslimah Peradaban

pelita

Meskipun sudah mendapat pengajaran agama yang mendalam dari lingkungan keluarga ataupun surau di sekitar rumahnya, Rahmah masih belum puas terhadap itu semua. Banyak masalah berkaitan mengenai kehidupan dan keperempuanan yang belum beliau temukan jawabannya.

 

Berdasarkan kondisi permasalahan yang dirasakan ini, Rahmah akhirnya memohon kepada Syekh H Abdul Karim Amrullah (HAMKA) agar memberikannya pembelajaran agama secara pribadi.[5] Di sinilah Rahmah memperdalam pendidikan agamanya sekaligus memahami hal-hal yang berkaitan mengenai masalah perempuan.

 

Dalam pembelajaran privat yang dijalaninya, Rahmah dapat berdiskusi sekaligus menemukan berbagai jawaban atas persoalan yang selama ini dipikirkannya.[6] Termasuk di dalamnya kegelisahan atas permasalahan mengenai pendidikan yang selalu dipikirkannya.

 

Dari berbagai diskusi yang dilakukan bersama Syekh Hamka, Rahmah berkesimpulan bahwa guru laki-laki kurang memiliki keterbukaan dalam membahas masalah agama yang berkaitan mengenai keperempuanan dengan murid perempuan (dalam keadaan murid laki-laki dan perempuan digabung dalam satu kelas).

 

Dari sinilah, Rahmah menganggap bahwa perlu adanya sebuah lembaga pendidikan agama khusus bagi murid-murid perempuan yang terpisah dari murid laki-laki agar pembelajaran agama yang berkaitan mengenai dunia keperempuanan dapat dibahas dengan tuntas tanpa adanya rasa canggung di dalamnya.

 

Aktivis Pendidikan

Sebagai seorang aktivis pergerakan yang memiliki kecintaan pada dunia pendidikan, Rahmah benar-benar berusaha untuk merealisasikan berbagai gagasan yang dimilikinya agar dapat memberikan dampak yang nyata pada masyarakat di daerahnya, terkhusus pada masalah keterbelakangan perempuan saat itu.

 

Istimewanya, Rahmah tidak sebatas memperjuangkan kualitas pendidikan kaum perempuan Indonesia saja, namun juga berusaha mendekatkan nilai-nilai keislaman pada kehidupan perempuan sehari-hari. Di sinilah, Rahmah berusaha benar-benar menjadikan al-Qur’an dan Sunnah sebagai landasan perjuangannya.

 

Dilandasi karena berbagai latar belakang inilah, pada tahun 1923, Rahmah mendirikan lembaga pendidikan khusus putri yang dinamai sebagai Diniyah School Poetri.  Kurikulum pendidikan Diniyah Poetri mencoba menawarkan program pendidikan integral yang memadukan antara pendidikan umum dan agama.

 

Rahmah sangat konsisten dalam upayanya memajukan kaum perempuan, bahkan hingga akhir hayatnya tiba (1969). Saat ini Perguruan Diniyah Putri masih tetap berdiri dalam berbagai jenjang pendidikan, mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi.

 

Berjalannya waktu, keberhasilan Rahmah dalam mengelola perguruan ini juga diapresiasi oleh berbagai pihak. Salah satunya adalah dengan pemberian gelar Doctor Honoris Causa dari Al-Azhar University pada tahun 1957 dan Bintang Mahaputra Adipradana dari Presiden B.J Habibie pada tahun 1999.[7]

 

 Ketika berkunjung ke Al-Azhar sembari menunaikan ibadah haji, Rahmah mendapat kesempatan untuk menjadi perempuan pertama yang mendapat gelar kehormatan “Syaikhah” dari Al-Azhar Kairo.[8] Hal ini tentunya membuktikan bahwa kontribusinya tidak hanya diakui secara nasional, namun juga secara internasional.

 

Di saat penduduk Indonesia begitu terpukau dengan kisah-kisah Kartini yang begitu fenomenal dan tidak terlepas dari campur tangan pihak Belanda, nama Rahmah el-Yunusiyyah justru tidak secemerlang kisahnya RA Kartini, dan bahkan mulai redup belakangan ini.

 

Padahal kontribusi Rahmah tidak sebatas pada bentuk gagasan inspirasi semata, namun telah sampai pada bentuk aplikasi nyata yang bisa dirasakan kebermanfaatannya secara langsung kala itu.  Namun kenapa nama pahlawan mujahidah ini justru meredup dan tidak sedikit memiliki panggung bumi pertiwi.

 

Dari sini dapat kita lihat bahwa seakan-akan terdapat usaha besar yang sengaja dilakukan dalam rangka mengecilkan kilauan kontribusi Rahmah el-Yunusiyyah di Indonesia. Tidak hanya beliau, tokoh-tokoh mujahidah lainnya pun juga bernasib sama seperti beliau.

 

Seharusnya tiap tahun tidak hanya Kartini saja yang mendapat penggung peringatan terhormat, namun seluruh pahlawan mujahidah negara juga sangat layak untuk dikenang jasanya. Nampaknya deislamisasi sejarah di negeri kita benar-benar masih nyata berjalan dan terjadi hingga detik nafas kita sekarang.

 

Daftar Rujukan:

[1] Dina Sulaeman dan Sirikit Syah, A Note from Tehran: Refleksi Perempuan Indonesia tentang Kebangkitan Islam, (Jakarta: Penerbit Citra, 2013), h. 103.

[2] Saiful Amri, dkk, Mengenal Tokoh Pendidikan Dunia, (Jakarta: Rumah Media, 2021), h. 117.

[3] Azhari Akmal Tarigan, Jati Diri HMI-Wati: Menggagas Nilai-Nilai Dasar Kohati (NDK), h. 18.

[4] Jajat Burhanudin, Ulama Perempuan Indonesia, h. 8-10.

[5] Amirah Hanif dan Van Buumen, Jadi Pelajar Harus Berperan, Jangan Baperan, (Yogyakarta: Psikologi Corner, 2019), h. 198.

[6] Tim Penyusun, A Note from Tehran: Refleksi Perempuan Indonesia tentang Kebangkitan Islam, (Jakarta: Penerbit Citra, 2013), h. 107-108.

[7] Tim Penyusun, A Note from Tehran, Op. Cit., h. 110.

[8] Zaky Ahmad Rivai, Jangan Berdakwah!, (Jakarta: Gema Insani, 2014), h. 180.

Researcher at Centre for Islamic Education and Contemporary Studies (CIECS)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *